UU Pilkada : KPU Siap Dilibatkan dalam Revisi

Share Article

Komisi Pemilihan Umum menyambut baik ditetapkannya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No 1/2014 untuk menjadi Undang-Undang. Itu berarti, kerja KPU selama ini yang telah mempersiapkan rancangan Pilkada serentak tak sia-sia. KPU siap dilibatkan dalam pembahasan revisi UU jika diinginkan DPR.

Ketua KPU, Husni Kamil Manik, usai menggelar konferensi pers di Media Centre KPU, Jakarta, Selasa (20/1), mengatakan pihaknya menyambut baik diterimanya Perppu sebagai UU. Hadir dalam acara tersebut komisioner KPU lainnya yaitu Hadar N Gumay dan Ferry Kurnia Rizkiyansyah.

Husni menyadari, KPU tidak dalam posisi mengkritisi apa yang terjadi di parlemen karena posisi KPU hanyalah sebagai pelaksana UU. “Namun yang jelas, UU ini akan segera ditindaklanjuti KPU,” katanya.

Dengan disetujuinya Perppu menjadi UU, KPU bisa berlega hati karena persiapan yang digeber tiga bulan terakhir tak sia-sia. “Kami tiga bulan terakhir sudah menjalankan tugas. Dengan penetapan UU ini, kami tinggal melanjutkan pekerjaan. Jadi kami tidak tiba-tiba bekerja, tapi tinggal melanjutkan yang sudah ada,” kata Husni.

Persiapan KPU yang telah dibuat misalnya pembuatan 12 rancangan Peraturan KPU. “Kami juga sudah rakoordinasi dengan KPU provinsi dan KPU kabupaten/kota secara nasional. Kami juga sudah koordinasi dengan pihak terkait, misalnya dengan Kementerian Dalam Negeri dan Mahkaham Agung,” kata Husni.

Terkait kemungkinan perubahan atau revisi UU Pilkada, KPU menyatakan tak punya wewenang untuk menanggapinya. “Namun, jika DPR menginginkan, KPU akan senang sekali jika diajak membahas perbaikan atau penyempurnaan UU,” kata Husni.

Terhadap perubahan di UU nantinya, selama UU memerintahkan KPU, maka KPU pasti akan melaksanakan isi revisi UU tersebut. “KPU bekerja dengan hukum positif yang berlaku.

Masak UU berubah, KPU enggak berubah. Pasti kami akan menyesuaikan dengan revisi UU yang ada jika memang akan direvisi,” kata Husni.
Komisioner KPU, Hadar N Gumay, mengatakan, memang ada beberapa hal dalam Perppu, yang sekarang sudah menjadi UU, tak relevan atau sulit untuk dilaksanakan dalam waktu pendek. “Beberapa tahapan yang terlalu panjang waktunya itu mungkin bisa dipangkas,” katanya.

Misalnya, ada tahapan yang waktunya panjang. Seperti soal pendaftaran bakal calon yang harus enam bulan sebelum pendaftaran calon, dan uji publik yang harus tiga bulan sebelum pendaftaran calon. Juga penyebutan waktu yang disebut dengan hari kerja, ternyata dalam penghitungannya sangat rumit karena harus mengeluarkan hari libur agar tak masuk hitungan.

Bahas uji publik

Kemarin, KPU juga menggelar pertemuan tertutup dengan sejumlah pakar hukum. Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Andalas Saldi Isra mengatakan, pihaknya diundang untuk mendiskusikan kira-kira apa saja yang perlu untuk direvisi.

Saldi mengusulkan agar KPU mencari hal-hal yang terkait langsung dengan kewenangan KPU. Misalnya, waktu yang dibutuhkan mulai dari persiapan sampai sengketanya, yang sampai sekitar 17 bulan. “Ini kan terlalu panjang, KPU harus mengusulkan bagian mana yang harus dipersingkat, misalnya uji publik,” kata Saldi.

Seharusnya, uji publik tak menjadi tahapan dalam pilkada dan lebih cocok jika menjadi urusan internal parpol. “Kalau saat ini, uji publik dibentuk oleh institusi khusus dengan orang-orang yang ditunjuk khusus. Itu artinya apa? Parpol dianggap tidak bertanggung jawab dalam mengusulkan orang, mestinya parpol didorong melakukan uji publik sendiri,” kata Saldi.

Poin lainnya yang harus diperhatikan, soal sengketa pilkada. MA keberatan jika sengketa dilimpahkan kepada mereka. “Karena itu harus dicari formula penyelesaian sengketa yang lebih baik. Saya mengusulkan baiknya pemerintah, DPR, KPU, dan MA, ketemu untuk membicarakan masalah sengketa ini,” kata Saldi.

Ahli hukum tata negara Universitas Parahyangan, Bandung, Asep Warlan Yusuf, mengatakan, jika akan ada revisi terhadap UU, hendaknya revisi jangan sampai terjadi perubahan hal-hal fundamental. “Perubahan fundamental itu misalnya nanti di revisinya ternyata pemilihannya diubah jadi sistem paket, sengketanya tidak di MA tapi di MK, hakimnya tidak hakim khusus tapi hakim biasa saja,” katanya.

Hal-hal seperti itu hendaknya dieliminasi. “Jika hal fundamental direvisi, sebenarnya tidak masalah, namun kan persoalannya akan timbul di KPU sebagai lembaga yang akan menjalankan UU,” kata Asep.

Uji publik juga menjadi hal yang fundamental dalam UU. Karena itu, walaupun uji publik ini harusnya menjadi pekerjaan parpol, namun sebaiknya keberadaannya tidak perlu direvisi. “Uji publik kan syarat pencalonan, kalau dihilangkan akan menjadi fundamental,” kata Asep.

Di luar konteks revisi UU, Asep sependapat jika uji publik harusnya menjadi tugas parpol dan tak seharusnya jika menjadi beban KPU. “Jadi partai yang bentuk tim uji publik lalu serahkan ke KPU. Jangan KPU mengangkat orang-orang untuk melakukan uji publik karena itu urusan internal partai sebetulnya,” kata Asep.

Secara prinsip, ide adanya uji publik tetap penting, supaya jangan sampai partai hanya jadi kendaraan tokoh tertentu yang punya uang atau dekat dengan elit parpol. “Uji publik sejak awal jangan sampai masyarakat disodorkan oleh tokoh-tokoh tidak bermutu, karena hal seperti itu yang menyebabkan golput pilkada banyak,” kata Asep. (AMR)

Leave a Reply