Tiga Kabupaten Siap Pilkada E-Voting

Share Article

Tiga kabupaten di Indonesia, yaitu Musi Rawas Sumatera Selatan, Boyolali Jawa Tengah, dan Jembrana Bali, menyatakan siap menggelar pemungutan suara elektronik atau e-voting pada Pemilihan Kepala Daerah. Tiga kabupaten ini merupakan pioner dalam pelaksanaan e-voting tingkat pemilihan kepala desa.

Di Indonesia, baru tiga kabupaten itu yang telah memiliki pengalaman di bidang penyelenggaraan e-voting. Mereka berbagi pengalaman di acara Dialog Nasional “Stretegi dan Implementasi E-Pemilu” di Gedung Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), Jakarta, Kamis (13/11).
Hadir dalam diskusi tersebut Bupati Boyolali Seno Samodro, Bupati Musi Rawas Ridwan Mukti, dan Bupati Jembrana I Putu Artha yang diwakili Kepala Dinas Perhubungan, Komunikasi, dan Informatika Kabupaten Jembrana Ngurah Putra Riyadi, Direktur Program Sistem Pemilu Elektronik BPPT Andrari Grahitandaru, Kepala Program Studi Ilmu Komputer Universitas Hasanuddin Armin Lawi, dan Boedi Hasmanto mewakili Direktorat Jenderal Pemberdayaan Masyarakat dan Desa Kementerian Dalam Negeri.

Andrari Grahitandaru mengatakan, tiga kabupaten yaitu Boyolali, Jembrana, dan Musi Rawas, adalah pelopor demokrasi e-voting di Indonesia, walaupun masih tingkat Pilkades. “Kita tetap berjuang ingatkan Pilkada dengan e-voting. Mungkin bukan Pilkada 2015. Tapi perlu segera ada uji coba Pilkada e-voting,” kata Andrari.

Andrari mengusulkan untuk uji coba satu hingga maksimal lima daerah untuk e-voting, sebelum nantinya digelar Pilkada e-voting serentak. “Sudah diakomodasi dalam Perppu, tapi masih menunggu Peraturan KPU,” katanya.

Seno Samodro mengatakan, Boyolali menargetkan sebagai kabupaten pertama di Indonesia yang akan menggelar e-voting di Indonesia. Dari sisi aturan, e-voting memang sudah diakomodasi dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No 1/2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota.

“Kami telah menyediakan dana Rp 16 miliar untuk e-voting. Kami akan memotori pilkada elektronik pertama,” kata Seno. Di Boyolali diperkirakan ada 2.500 TPS. Jika satu TPS membutuhkan tiga bilik e-voting, maka perlu 7.500 unit komputer untuk menjalankan e-voting. Bagi Boyolali, angka itu bukan persoalan karena komputer nantinya tetap bisa digunakan untuk keperluan lainnya.

“Tak ada yang susah untuk persiapan e-voting. Kami sudah siapkan dananya. Golkar tidak takut, PDI-P tidak takut (dengan e-voting),” kata Seno. Seno merasa ada yang kurang pas ketika sebuah gelaran Pemilu Presiden dengan dua calon tapi dua-duanya sama-sama mengklaim sebagai pemenang.

Hal itu terjadi karena proses pemilu manual yang berlarut-larut tak berdasarkan teknologi informasi. “Bagaimana dengan kabupaten lain? Bohong kalau tidak bisa menggelar e-voting. Boyolali saja bisa, hanya Rp 16 miliar butuhnya,” katanya.

Dobelnya undangan pemilih, yang sering disalahgunakan, tak akan terjadi lagi karena otentifikasi diganti dengan sistem kartu chip yang aman. “Yang buta huruf lebih mudah e-voting daripada mencoblos, karena ada gambarnya di situ tinggal sentuh,” kata Seno.

Bupati Musi Rawas, Ridwan Mukti, yang saat ini sedang menggelar e-voting Pilkades di 102 desa secara bertahap, tak mau kalah dengan Boyolali. Ridwan membuktikan, desa-desa di pelosok negeri, yang jaraknya 570 kilometer lebih dari Kota Palembang, ternyata bisa menggelar e-voting.

Pilkades e-voting pertama kali di Musi Rawas digelar di Desa Tabarena pada 2013 lalu. Kemudian dilanjutkan dengan desa-desa lainnya, yang kini sudah mencapai 13 desa dari 2013 hingga 2014.

“Desanya itu di balik bukit barisan, terpencil. Sampai di sana kekhawatiran terhadap masyarakat desa yang tak mengenal teknologi, ternyata jadi berubah. Kita selama ini terlalu menyepelekan mereka, ternyata mereka lebih cerdas dari kita,” kata Ridwan.

Di musi rawas yang masih ada warga primitifnya, begitu istilah Ridwan, ternyata sukese menggelar e-voting. “Musi Rawas saja mampu, apalagi di daerah lain yang maju. Kami tak ingin masuk dalam wacana, kami sudah mempraktikkan warga desa yang tak melek teknologi ternyata bisa,” katanya.

Seandainya nanti DPR menyetujui Pilkada langsung, maka Musi Rawas akan sama seperti Boyolali memilih e-voting. Dalam e-voting, tidak ada suara yang rusak karena semua suara sah. Partisipasi masyarakat juga meningkat menjadi 80-91 persen. “Di Boyolali bisa 100 persen, di tempat kami tak bisa 100 persen karena jarak rumah ke TPS jauh, melewati hutan,” kata Ridwan.

Bupati Jembrana I Putu Artha, juga menyampaikan presentasi terkait pengalaman Jembrana yang pernah menggelar e-voting tingkat desa. Presentasi ini diwakili Ngurah Putra Riyadi.

Jembrana menjadi kabupaten kedua setelah Boyolali yang menggelar e-voting tingkat desa. Namun, Jembrana adalah kabupaten yang pernah menggugat ke Mahkamah Konstitusi terkait keabsahan memilih dengan e-voting, dengan amar putusan MK No 146/PUU-VII/2009 tanggal 30 Maret 2010.

“Akhirnya diakui, memilih itu tidak hanya mencoblos dan mencontreng, tapi juga boleh nyentuh dengan e-voting , sudah dibawa gugatannya ke MK dan dikabulkan,” kata Ngurah. Jembrana menjadi contoh pertama untuk e-voting yang menggunakan otentifikasi berbasis KTP elektronik. Boyolali dan Musi Rawas sudah e-voting namun otentifikasi menggunakan kartu pintar.

“Kami sudah menggelar e-voting untuk memilih Perbekel, ada 10 TPS yang ditempatkan dari gunung hingga pantai,” kata Ngurah. Dari pengalaman itu, Jembrana menyatakan siap menggelar Pilkada dengan e-voting, dengan syarat sudah disetujui dan ada Peraturan KPU-nya.

Lebih murah
Kepala Program Studi Ilmu Komputer Universitas Hasanuddin, Armin Lawi, yang pernah menjadi Ketua Tim Pelaksana Teknis Unhas untuk simulasi e-voting Pilkada Kabupaten Bantaeng, Sulawesi Selatan, mengatakan e-voting jauh lebih efisien dibanding pemilu manual.

Bupati Bantaeng Nurdin Abdullah sebenarnya menginginkan e-voting waktu itu, namun dari sisi aturan belum bisa dipenuhi. Akhirnya hanya digelar simulasi e-voting untuk 48 TPS. “Kami juga gelar simulasi dari daerah yang tak memiliki akses listrik, kami menggunakan aki, ternyta tak ada masalah,” kata Armin.

Dengan demikian, e-voting mampu bekerja di daerah terpencil tanpa listrik. “Mudah digunakan, masyarakat usia lanjut malah tertarik. Sifatnya stand alone atau berdiri sendiri sehingga tak terkoneksi ke jaringan manapun, jadi aman tak riskan diretas,” kata Armin.

Pemilih hanya membutuhkan waktu rata-rata 55 detik, sedangkan jika manual 5-6 menit. Biaya mesin e-voting juga sudah dihitung Tim Unhas dan ternyata satu unit hanya Rp 7-8 juta, termasuk investasi awal perangkat sistem.

Dibanding pemilu manual, kata Armin, lebih hemat 73 persen. “Penghematan bisa 80 persen jika inventaris perangkat dimanfaatkan sebagai aktiva tetap.
Hasilnya bisa dipercaya, akuntabilitas dapat dipertanggungjawabkan,” kata Armin. (AMR)

Leave a Reply