Sidang Chevron: “Walkout” di Hari Pembalasan

Share Article

Sidang perkara dugaan korupsi bioremediasi fiktif PT Chevron Pacific

Indonesia (Chevron) di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Jakarta,

pada Senin (25/3) malam mencapai klimaksnya. Perseteruan terbuka

antara kubu penuntut umum dengan kubu terdakwa ditumpahkan lewat

perantara ahli yang dihadirkan.

Malam itu, terdakwanya Direktur PT Sumigita Jaya, Herlan bin Ompo,

menghadirkan ahli yang bisa dibilang “tokoh kunci” yang

didesas-desuskan pihak terdakwa sebagai orang yang berada di balik

pelaporan dugaan bioremediasi fiktif Chevron. Suasana panas sudah

terasa sebelum sidang.

Apalagi, beberapa menit sebelumnya sudah digelar sidang dengan kasus

yang sama namun dengan terdakwa berbeda yaitu Direktur PT Green Planet

Indonesia, Ricksy Prematuri. Di sidang itu, perseteruan terbuka sudah

memuncak dengan dicecarnya ahli yang dihadirkan jaksa penuntut umum

dari Kejaksaan Agung. Ahli yang dimaksud adalah Edison Effendi.

Edison adalah ahli yang digunakan Kejagung untuk mengambil sampel

tanah tercemar di area Chevron yang kemudian digunakan untuk menyusun

dakwaan untuk para terdakwa. Masalahnya, para terdakwa mengenal Edison

sebagai orang yang sakit hati kepada Chevron karena pernah ikut tender

di Chevron namun kalah.

Di persidangan bioremediasi, nama Edison ini seolah “legenda” yang

lama tak pernah mereka lihat namun begitu kuat pengaruhnya, seolah

senantiasa mencekik para terdakwa setiap mereka bersidang. Dengan

level persepsi yang berbeda, nama Edison sering disebut di sidang

sebagai orang yang menjadi peniup peluit terhadap kasus dugaan

bioremediasi fiktif tersebut.

Kebencian para terdakwa itu bisa dibaca dari berbagai arsip

pemberitaan yang dengan leluasa bisa dicari di dunia maya. Hari itu,

Edison datang dan publik mengendus pastilah kubu terdakwa akan

memanfaatkan momentum itu untuk “balas dendam”.

Ternyata benar. Sejak persidangan pertama dengan terdakwa Ricksy

Prematuri, penasehat hukum terdakwa, Najib Ali Gisymar, tak memberi

jeda “bernafas” bagi ahli. Najib menumpahkan segala jurus andalannya

untuk melawan ahli yang dianggapnya tidak independen. Setiap

pertanyaan Najib adalah sengatan bagi ahli, diperparah lagi dengan

pertanyaan menohok hakim anggota Sofialdi yang makin memperberat

reputasi ahli.

Suasana gaduh, saling serang dan adu argumentasi, membuat Ketua

Majelis Hakim Sudharmawatiningsih bekerja ekstra keras memagari agar

Najib tidak “menerkam” ahli dengan cara-cara yang tidak

konstitusional. Hampir setiap menit, Sudharmawatiningsih harus melerai

pertikaian akibat kedua kubu dalam posisi emosi.

Sidang pertama berakhir, dan saatnya sidang kedua dengan terdakwa

Herlan bin Ompo digelar. Satu hal yang ditunggu wartawan, diantara

deretan nama penasehat hukum Herlan, tersua nama Hotma Sitompul,

pengacara yang dikenal lantang bertanya dan ekspresif. “Pasti ahli

akan dibantai Hotma, saya nunggu aksi Hotma,” kata seorang wartawan.

Dugaan itu tidak meleset. Belum sampai mendengar apa yang dikatakan

ahli, mungkin baru membaca riwayat hidup ahli dan membaca Berita

Acara Pemeriksaan (BAP), Hotma sudah lebih dulu mencapai klimaks

emosi. Hotma memilih keluar (walkout) dari ruang persidangan.

Hari itu, jaksa penuntut umum Kejagung sebenarnya menghadirkan dua

ahli yaitu Edison Effendi dan Prayitno. Keduanya disebut sebagai ahli

bioremediasi, namun yang lebih menjadi sumber masalah adalah

ditetapkannya Edison sebagai ahli.

Hotma memprotes isi berita acara pemeriksaan ketiga orang ahli, yaitu

Edison, Prayitno, dan Bambang. Menurut Hotma, ketiga ahli itu (Bambang

tidak dihadirkan dalam sidang) diperiksa dalam waktu bersamaan oleh

penyidik yang sama dan isi BAP-nya juga sama hingga titik koma.

“Kami akan melaporkan ketiga orang ini karena memberi sumpah palsu

waktu di-BAP. Kami keberatan kedua ahli ini didengar kesaksiannya,”

kata Hotma memuncak. Hotma mengutip Pasal 185 Ayat (6) huruf d KUHAP,

yang menegaskan bahwa cara hidup dan kesusilaan saksi sangatlah

penting berpengaruh pada tingkat kepercayaan di persidangan.

“Keterangan tiga orang ini tak bisa dipercaya. Saya tidak mau

dibohongi ahli ini. Saya dengan izin Majelis Hakim akan meninggalkan

ruangan ini,” lanjut Hotma yang dipersilakan Ketua Majelis Hakim

Sudharmawatiningsih keluar persidangan. Hotma pun meninggalkan sidang

namun beberapa orang penasehat hukum terdakwa tetap tinggal sehingga

sidang tetap bisa dimulai.

Entah apa yang dimaksud “cara hidup dan kesusilaan” pada diri Edison.

Namun, dalam persidangan, penasehat hukum Herlan lainnya, Dion Y

Pongkor, mencecar Edison mengapa sekarang tak lagi mengajar di sebuah

universitas. Namun, penuntut umum keberatan dengan pertanyaan itu

sehingga persoalan tersebut tak terungkap di persidangan.

Di hari yang penting bagi terdakwa, yang bisa disebut sebagai “hari

pembalasan” itu, Hotma memilih walkout sebagai bentuk protes. Di

berbagai media sosial, banyak yang menyayangkan aksi walkout itu

karena lebih mementingkan sensasi.

Namun, terlepas dari kritik itu, aksi Hotma ternyata menyedot

perhatian banyak media massa dan pembaca. Dari yang biasanya berita

persidangan Chevron selalu sepi pemberitaan, aksi kontroversial itu

justru memicu publikasi.

Walau demikian, tetap digarisbawahi, majelis hakim tampak tak

terpengaruh dengan model walkout penasehat hukum. Sidang tetap

berlangsung seperti biasanya, hanya memang lebih sengit.

Kasus walkout serupa pernah dilakukan penasehat hukum Neneng

Sriwahyuni yang menolak mendengarkan pembacaan amar putusan

“inabsentia” akibat Neneng tak bisa hadir karena mengaku sakit. Hanya

saja, walkout-nya penasehat hukum Neneng waktu itu tak mendapat

perhatian publik karena publik sudah lama tahu Neneng sering mengaku

sakit dalam beberapa kali persidangan.

Aksi tak mau hadir penasehat hukum di sidang Neneng dan di sidang

Herlan memang menjadi hak penasehat hukum. Namun, publik bisa tahu

mana aksi yang elegan dan mana yang tidak. Karena itu, berhitunglah

sebelum walkout . (Amir Sodikin)

Leave a Reply