Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Jakarta, kembali menggelar sidang
perkara dugaan korupsi bioremediasi fiktif di PT Chevron Pacific
Indonesia (Chevron), pada Jumat (1/3/2013). Kali ini, sidang
menghadirkan terdakwa Kukuh Kertasafari,Koordinator Tim EIST
(Environmental Issue Settlement Team atau Tim Penyelesaian Isu Sosial)
Sumatera Light South Minas PT Chevron.
Dalam sidang yang dipimpin Ketua Majelis Hakim, Sudharmawatiningsih,
saksi dari Analyst Facility Engineer Chevron, Muhammad Adib, yang
dihadirkan memberi keterangan yang meringankan bagi terdakwa. Adib
mengungkapkan terdakwa Kukuh Kertasafari tak bertanggung jawab dalam
pekerjaan bioremediasi. Kukuh hanya mengetahui peta sampel lahan
terkontaminasi minyak. Kukuh ternyata juga bukan berada di divisi
bioremediasi.
Penasehat hukum Kukuh, Tarwo Hadisajuri, mencecar Adib dengan
pertanyaan yang terkait dakwaan jaksa penuntut umum dari Kejaksaan
Agung. "Apa pekerjaan bioremediasi salah satu yang dikoordinasi Tim
EIST, yang dikoordinasi terdakwa?" tanya Tarwo yang dijawab tidak oleh
Adib.
"Bioremediasi di bawah tanggung jawab siapa?" tanya Tarwo. "Di bawah
tanggung jawab REM (Reliability, Engeenering, and Maintenance)," jawab
Adib.
Adib juga menjelaskan, pimpinan REM tak bertanggung jawab ke EIST dan
terdakwa juga tak pernah ikut menentukan dalam proses bioremediasi.
Memang ada rapat-rapat yang dipimpin Kukuh selaku Koordinator Tim
EIST. Dalam rapat tersebut dibahas perkembangan pengambilan sampel
tanah tercemar.
"Saya beritahu ke terdakwa, bentuknya gambar lokasi tanah tercemar.
Saya menginformasi saja ke terdakwa mana yang disurvei. Hasil survei
diberi ke bagian pertanahan, bukan ke terdakwa," kata Adib.
Soal ganti rugi lahan, Adib mengatakan terdakwa hanya mengetahui
lokasinya di mana saja dan apakah sudah diberikan ganti rugi atau
belum. Namun, pembayaran ganti rugi bukan dilakukan Kukuh melainkan
divisi keuangan di Chevron yang telah mendapat laporan dari tim
pertanahan.
Jaksa Febru Mahdi dan hakim mendalami apakah Kukuh terlibat dalam
pencampuran tanah tercemar minyak dengan TPH (Total Petroleum
Hydrocarbon) lebih dari 15 persen dengan tanah yang TPH-nya kurang
dari 4 persen. Menurut ketentuan Keputusan Menteri Negara Lingkungan
Hidup No 128 Tahun 2003, tanah tercemar yang boleh dibioremediasi
maksimal TPH-nya 15 persen. Pemrosesan tanah dengan TPH di atas 15
persen harus mempertimbangkan ketersediaan teknologi lain yang ada.
"Ketika dapat tanah dengan TPH di atas 15 persen, maka akan kita
campur dengan TPH di bawah 4 persen," jawab Adib. "Apa pekerjaan
pencampuran TPH di atas 15 persen itu masuk dalam order pekerjaan?"
tanya Ketua Majelis Hakim Sudharmawatiningsih yang dijawab iya oleh
Adib.
Pencampuran tersebut sudah termasuk pekerjaan dalam proses
bioremediasi yang dikerjakan PT Sumigita Jaya dan dibiayai oleh
Chevron. Adib menjelaskan, ketentuan yang ia anut sesuai standard
operational procedure Chevron, yaitu TPH di atas 15 persen harus
dicampur dengan TPH di bawah 4 persen agar nantinya kadar TPH tanah
tercemar berada di kisaran 4-15 persen. Kisaran itu merupakan syarat
tanah tercemar bisa masuk ke fasilitas pemrosesan bioremediasi.
"Di bioremediasi itu, tak ada peranan Kukuh. Kukuh hanya tahu saat
ambil sampel tanah tercemar," kata Adib. Adib memberikan hasil laporan
survei sampel tanah ke tim pertanahan bukan ke tim EIST karena terkait
proses selanjutnya yaitu ganti rugi tanah yang akan ditangani tim
pertanahan.
Penasehat hukum terdakwa, Tarwo Hadisajuri, kembali mengkonfirmasi
dakwaan jaksa kepada Adib, apakah 28 lokasi lahan yang ditetapkan
sebagai lahan tercemar benar-benar tercemar atau tidak. "Pasti
tercemar," jawab Adib.
"Dari mana Saudara tahu kalau itu tercemar," tanya Tarwo. "Dari yang
saya kontrol di lapangan, tampak minyak-minyaknya sudah jelas
tercemar," jawab Adib.
Adib juga menjelaskan, dalam rapat Tim EIST yang dipimpin Kukuh, tak
pernah menelurkan sebuah keputusan yang sifatnya mengikat, misalnya
bisa membatalkan status tanah yang telah tercemar. Rapat Tim EIST
sifatnya koordinasi dan tidak struktural. "Tanggung jawab hanya kepada
atasan masing-masing," kata Adib.
Jaksa mendakwa Kukuh berperan dalam proyek bioremediasi antara Oktober
2009 sampai 2012, dengan secara tak sah telah menetapkan 28 lahan tak
terkontaminasi minyak sebagai tanah terkontaminasi. Apa yang dilakukan
Kukuh dianggap telah mengakibatkan PT Sumigita Jaya melakukan
bioremediasi fiktif.
Menurut dakwaan jaksa, setelah menetapkan 28 lokasi yang seolah-olah
tercemar, Kukuh lalu memberitahu Direktur PT Sumigita Jaya, Herlan bin
Ompo, dan kemudian bersama-sama dengan tim membersihkan tanah dari
beberapa sumber lokasi. Padahal, menurut uji lab yang dilakukan
penyidik terhadap beberapa sampel pada Juli 2012, tanah tersebut tak
terkontaminasi minyak sehingga menurut dakwaan jaksa, tanah tersebut
tak perlu dibioremediasi. (AMR)