Seruling Purnama Penataran: Meredakan Amarah Kelud dan Napak Tilas Spirit Majapahit

Share Article

Oleh Amir Sodikin

Tiupan seruling dengan nuansa musik China itu membahana hingga jarak beberapa kilometer di sekitar Desa Penataran, kecamatan Nglegok, Kabupaten Blitar, Jawa Timur. Pusatnya tiada lain tepat di halaman depan Candi Penataran, sebuah kompleks candi Hindu terbesar di Jawa Timur.

Siraman gerimis tak membuat para peserta kehilangan semangat untuk memeriahkan acara bertajuk Purnama Seruling Penataran itu. Acara itu sudah berlangsung setahun terakhir dan mendatangkan duta-duta seni dari berbagai daerah untuk tampil di panggung Candi Penataran.

Pertengahan Novemer 2011, malam itu seharusnya purnama sempurna, namun yang terjadi hujan dan awan yang sesekali berarak. Tata lampu modern berbaur lampu tradisional oncor, ditambah putaran bumi yang terekam dari naiknya bulan, menambah mistis suasana purnama.

Aroma bunga dan dupa, bekas upacara di belakang panggung, membuat suasana pertunjukan terasa unik. Di belakang panggung, candi induk dan semua sisi kompleks candi berhiaskan api lilin yang pelindungnya menggunakan gedebok pisang. Penonton yang merindukan suasana tradisional dengan balutan kebesaran masa Majapahit, terasa tak ingin pulang.

Gado-gado pentas seni dengan aroma Jawa Kuna, Tionghoa, puisi modern, dan pentas-pentas seni yang masuk kategori profan itu sebenarnya menimbulkan tanda tanya mengapa kesakralan Penataran seperti dikorbankan. Namun, anggapan itu dibantah.

“Candi Penataran di panggung depan pun dulu sudah difungsikan untuk pentas delegasi dari kerajaan-kerajaan luar, dari manca negara lah kalau istilah sekarang. Jadi ini seperti napak tilas masa lalu,” kata Wima Brahmantya, Ketua Dewan Kesenian Kabupaten Blitar yang memelopori acara itu.

Kenapa dinamakan Purnama Seruling Penataran? “Ini terkait legenda masyarakat, dulu ketika bulan purnama selalu menyambutnya dengan tiupan seruling. Makanya kita ingin mencoba membangkitkan kembali tradisi yang hilang,” katanya.

“Purnama Seruling Penataran ini panggung persaudaraan dan perdamaian dunia. Kita ingin mengundang kebudayaan dari Nusantara dan dunia untuk pentas di sini, seperti yang dulu dilakukan di era Majapahit,” kata Wima. Walau kalah besar dibanding Borobudur dan Prambanan, Penataran memiliki sisi historis kuat dalam pembentukan Nusantara. Candi Penataran sudah melewati lintas generasi dari masa Singhasari, Kadiri, hingga Majapahit.

Majapahit lah yang menyatukan Nusantara. Bahkan, masyarakat sekitar mempercayai Gadjah Mada mengucapkan sumpah palapanya di candi itu untuk menyatukan Nusantara. “Tapi dulu kan Majapahit menyatukan Nusantara secara militer. Sekarang generasi kita mencoba menyatukan spiritnya, dalam bentuk pagelaran seni budaya, tanpa menodai kesakralan Candi Penataran,” kata Wima.

Candi Penataran yang sakral masih memiliki kelanjutan hingga kini. Masyakat setempat, terutama umat Hindu, masih menggunakan candi ini untuk beribadah. Anak Agung Raka Edi Dewa, yang malam itu mengikuti prosesi sembahyang sebelum acara dimulai, memaknai pentas ini memberi pemahaman atau kesadaran bahwa situs peninggalan nenek moyang ini bukan milik Hindu semata, tapi milik bersama.

“Umat Hindu sendiri merasa bahagia karena bisa membuka diri. Inilah peninggalan nenek moyang yang harus dijaga untuk kepentingan bersama,” kata Edi yang juga Ketua Keamanan Candi Penataran.

Amarah Kelud
Candi Penataran bagi ummat Hindu istimewa karena menghadap ke barat-daya, ke Sanghyang Gunung yaitu Kelud. Salah satu fungsi utamanya untuk menghalau marabahaya yang datangnya dari letusan Kelud.

“Candi ini menghadap ke tempat bersemayamnya para dewa, para wiku, para suci, di Gunung Kelud,” kata Edi. Tahun 1930an, ada hujan abu hingga Penataran. Masyarakat mengadakan upacara di candi ini dengan tujuan meminta berkah keselamatan.

“Bagi kami, pentingnya menghadap ke gunung adalah untuk mengingatkan benang merah antara kita dengan leluhur yang ada di Kelud,” kata Edi.

Penyakralan candi yang sempat terhenti kini berlanjut. “Pada era Soeharto, tempat-tempat ini tak boleh untuk persembahyangan, sekarang bisa digunakan dan tak hanya umat Hindu saja. Ini jadi simbol cinta kasih sesama,” kata Edi.

Arkeolog Universitas Negeri Malang, Dwi Cahyono, mengungkapkan, Penataran dibangun sebagai sarana meredakan amarah Kelud. Bisa dibilang, Penataran ini mirip Pura Besakih yang difungsikan menghalau amarah Gunung Agung.

Adanya candi juga sebagai bukti masyarakat kuno waktu itu sudah menyadari bahwa mereka tinggal di daerah yang rawan dengan bencana gunung api. “Ini adalah mitigasi bencana di era itu dalam bentuk religio-magis,” kata Dwi.

Hal itu bisa dilihat dari salah satu fragmen relief di candi induk, Ada dua relief cerita utama yang dipahatkan di candi induk. Di teras pertama cerita Ramayana dengan tokoh Rama, teras kedua Kresnayana dengan tokoh Kresna. “Mengapa tokohnya Rama dan Kresna? Keduanya dalam mitologi Hindu adalah penyelamat dari rasa takut atau dari bencana,” kata Dwi.

Wisnu menyelamatkan manusia dari keangkaramurkaan yang ditimbulkan raksasa Kalayawana.

Di relief, digambarkan Kalayawana mengejar Kresna dan dalam pengejaran itu menginjak seorang pertapa Vishwamitra. Pertapa marah besar.

Pada relief berikutnya, pertapa mengacungkan tangannya ke arah raksasa, dari tangannya keluar api yang membakar Kalayawana dan anak buahnya. “Ini menggambarkan peristiwa erupsi Kelud,” kata Dwi.

Dari kepercayaan masyarakat sekitar, kata kelud diartikan bersih-bersih, atau menyapu. “Yang dibersihkan apa? Sesuatu yang kotor. Angkara murka itu kotor dan harus dibersihkan. Karena itu dalam Negarakertagama, dikatakan orang-orang yang hina meninggal karena letusan Kampud atau Kelud,” katanya.

Dewa Nasional
Di Candi Penataran juga, perdebatan soal adanya dewa nasional di masa Majapahit berlangsung sengit antara peneliti. Asal mula perdebatan itu dari Prasasti Palah yang ada di samping Candi Penataran.

Disebut Palah karena pokok isinya penetapan Desa Palah, yaitu desa kuno yang sekarang bernama Penataran, sebagai desa perdikan untuk suatu bangunan suci. “Bangunan suci di Palah diperuntukkan bagi pemujaan Batara Palah,” kata Dwi.

Siapa Batara Palah ? Penjelasannya baru kita dapatkan di Negarakertagama. Disebutkan pada tahun 1361, Hayam Wuruk berziarah ke Palah memuja Hyang Acalapati.

Siapa Sang Hyang Acalapati? “Sang Hyang ini sebutan dewata, sedangkan acala berasal dari kata syaila artinya gunung, sedangkan pati itu gunung atau penguasa gunung,” papar Dwi.

Pertanyaan berlanjut, siapa penguasa gunung itu? Kata Dwi, pendapat pertama mengatakan Dewa Siwa. Pendapat kedua, Sang Hyang Acalapati ini bukan Siwa tetapi Dewa Gunung dalam konsepsi masyarakat Jawa, konsepsi dewa Nusantara.

Lalu pendapat mana yang mendekati kebenaran? Kata Dwi, bisa jelaskan dengan keberadaan arca-arca di candi induk. “Dewa Siwa tidak ditempatkan di bilik utama, tapi bersama dewa-dewa lain yaitu Wisnu dan Brahma, lalu siapa yang ditempatkan di bilik utama? Itulah Hyang Acalapati,” kata Dwi.

Dwi cenderung berpendapat Acalapati adalah dewa gunung yang melindungi Kelud. Inilah yang memberi petunjuk Candi Penataran yang dibangun sejak Kadiri dan berlanjut pada masa Majapahit akhir, setidak-tidaknya pada tahun 1454, secara khusus dipergunakan untuk memuja dewa gunung di Kelud agar gunung api itu bisa diredakan murkanya.
Sumber: http://ekspedisi.kompas.com/cincinapi/index.php/detail/articles/2012/02/08/23464319/Seruling.Purnama.Penataran.Napak.Tilas.Spirit.Majapahit

Leave a Reply