Malang benar nasib terdakwa Herlan bin Ompo, kontraktor proyek
bioremediasi PT Chevron Pacific Indonesia yang menjadi Direktur PT
Sumigita Jaya. Selain mendapat tuntutan hukuman dari jaksa penuntut
umum Kejaksaan Agung yang fantastis, yaitu pidana penjara 15 tahun
penjara, ia harus menghadapi istrinya yang histeris karena tak terima
dengan perlakuan itu.
Selain pidana penjara 15 tahun, Herlan juga dituntut membayar denda Rp
1 miliar subsider 6 bulan kurungan. Selain itu, Herlan juga diwajibkan
membayar uang pengganti kerugian negara 6,9 juta dollar AS, dan jika
tak dibayar hartanya akan disita, dan jika tak mencukupi akan diganti
dengan pidana penjara 5 tahun.
Mendengar tuntutan itu, keluarga dan kolega Herlan banyak yang
berteriak histeris dan sebagian memekikkan takbir. Istri terdakwa,
Sumiati, tak bisa menahan tangis. Ia juga histeris sambil mengucapkan
takbir.
Usai pembacaan tuntutan, Herlan tampak menahan emosinya. Majelis hakim
sempat memutuskan untuk agenda pembelaan atau pledoi terdakwa
dilakukan pada Senin pekan depan. Herlan protes dan mengajukan
perpanjangan waktu untuk membuat pledoi sendiri.
"Opini dan rekayasa ini luar biasa bagi saya. Mohon beri waktu
perpanjangan saya membuat pledoi.
Dari fakta persidangan banyak bukti yang tidak disampaikan jaksa
penuntut umum ke majelis hakim, jadi saya akan memberikan apa-apa yang
akan kami diberikan kepada majelis hakim. Jadi mohon diberi waktu
hingga hari jumat," pinta Herlan.
Sudharmawatiningsih akhirnya mengabulkan permintaan itu dan agenda
pembelaan atau pledoi akan dijadwalkan pada Jumat, 3 Mei 2013 sekitar
pukul 14.00.
Di luar persidangan, penasehat hukum Herlan, Lindung Sihombing,
mengatakan tuntutan jaksa ini keterlaluan dan tidak manusiawi. Jelas
terungkap di fakta persidangan bahwa kontraktor tak harus memiliki
izin pengolahan limbah, yang harus mendapat izin adalah Chevron,
perusahaan penghasil limbah. "Dari fakta-fakta di persidangan, jelas
tak mendukung tuntutan itu," katanya.
Istri histeris
Usai sidang, Herlan menghampiri istrinya. Sambil memeluk istrinya,
Herlan menatap para jaksa penuntut umum penuh emosi sambil mengepalkan
tangannya. Dari kerumunan pengunjung terdengar teriakan, "Mending tak
usah disidangkan di pengadilan, di bawa ke hutan saja pakai hukum
rimba."
Sumiati lemas tak mampu berdiri. Herlan pun membopong istrinya sambil
keluar ruangan. Di depan pintu keluar, ia berhenti sejenak sambil
mengarahkan pandangan ke para jaksa yang sedang bersiap keluar.
"Saksikan ini semua, biar puas kalian. Ini koruptor, biar puas kalian.
Hai jaksa dengerin," teriak Herlan yang badannya bergetar menahan
emosi.
Para awak media yang berada di dekat Herlan mengurungkan niatnya
memotret suasana mengharukan itu, tak kuasa memandang drama yang
berlangsung tak seimbang itu. "Subhanallah, Allahu Akbar," begitu
teriak seorang pengunjung,
Tanpa penasehat hukum
Terdakwa Herlan tampil menghadapi tuntutan tanpa didampingi penasehat
hukumnya. Penasehat hukum memutuskan keluar dari persidangan atau walk
out sejak sidang sepekan sebelumnya sebagai protes kepada majelis
hakim yang diketuai Sudharmawatiningsih yang dianggap tidak adil.
Herlan juga sempat protes dengan cara menolak diperiksa sebagai
terdakwa dan memilih bungkam ketika ditanya. Pangkal protes berasal
dari keputusan Sudharmawatiningsih yang hanya memberi waktu sepekan
bagi terdakwa untuk mengajukan saksi atau ahli meringankan, sementara
jaksa penuntut umum diberi waktu hingga empat bulan.
Protes serupa juga dilakukan terdakwa lain yaitu Ricksy Prematuri,
Direktur Green Planet Indonesia yang juga kontraktor Chevron. Protes
ini sebenarnya sudah berlarut-larut sejak tiga persidangan sebelumnya.
Tuntutan para terdakwa ini sebenarnya sederhana dan hanya menuntut hak
dasar sebagai terdakwa yaitu diberi kesempatan yang sama dengan jaksa
untuk menghadirkan saksi dan ahli meringankan.
Namun, majelis hakim tak mengabulkan permintaan itu dengan alasan
semua sudah sesuai jadwal. "Jadwal majelis hakim tidak adil bagi
saya," kata Herlan pada sidang sebelumnya.
PT SGJ dianggap tidak memiliki izin pengolahan bioremediasi dan tak
memenuhi kualifikasi sebagai kontraktor pekerjaan sipil bersifat
khusus. "PT SGJ bukan perusahaan pengolah limbah melainkan perusahaan
yang bergerak di bidang konstruksi," kata jaksa Surma.
Kerugian negara akibat kegiatan bioremediasi ini menurut jaksa
mencapai 6,9 juta dollar AS. Uang tersebut menurut jaksa sudah
diajukan PT CPI ke BP Migas sebagai dana cost recovery. "Total
kerugian 10,2 juta dollar AS, dari jumlah itu yang dibayarkan ke PT
SGJ 6,9 juta dollar AS," kata jaksa.
Kasus bioremediasi ini menyeret dua orang dari pihak kontraktor dan
tiga orang dari pihak PT CPI. Kejaksaan Agung dianggap memaksakan
perkara ini masuk ke ranah pidana korupsi karena berdasarkan
keterangan saksi dari KLH, izin bioremediasi Chevron tak menyalahi
aturan yang ada.
(Amir Sodikin)