Saksi Djoko Susilo Mencapai 152 Orang

Share Article



Total jumlah saksi dalam berkas perkara dugaan korupsi pengadaan
simulator surat izin mengemudi di Korlantas Polri dengan terdakwa
Irjen (Pol) Djoko Susilo mencapai 152 orang. Mereka terdiri dari dua
bagian yaitu saksi-saksi untuk tindak pidana korupsi dan saksi-saksi
tindak pindana pencucian uang.

Ketua Majelis Hakim Suhartoyo di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi,
Jakarta (14/5), usai pembacaan putusan sela memerintahkan Jaksa
Penuntut Umum agar meringkas jumlah saksi yang akan dihadirkan.
“Kepada penuntut umum, majelis peringatkan apabila ada keterangan
saksi-saksi yang variannya sama maka tak perlu dipanggil secara
keseluruhan,” kata Suhartoyo.

Tanpa mengurangi hak dari terdakwa atau penasehat hukum, apabila ada
saksi yang tidak dihadirkan penuntut umum namun dipandang perlu oleh
penasehat hukum, majelis hakim mempersilakan agar diajukan. “Nanti
akan kami pertimbangkan apakah diperlukan atau tidak,” kata Suhartoyo.

Suhartoyo mengingatkan kepada jaksa penuntut umum Komisi Pemberantasan
Korupsi agar menghadirkan saksi-saksi secara sistematis. Perkara yang
akan dibuktikan dulu yaitu tindak pidana korupsi, baru tindak pidana
pencucian uang.

Menanggapi permintaan majelis hakim, jaksa penuntut umum Pulung
Rinandoro menyatakan setuju dengan saran majelis hakim sehingga
pihaknya tak akan memanggil semua saksi. “Kami tidak akan panggil
semua saksi. Saksi yang kami panggil sekitar 30 orang untuk tindak
pidana korupsinya,” kata Pulung.

KPK juga sepakat untuk membuktikan dulu dakwaan tindak pidana korupsi,
baru dakwaan TPPU. Untuk dakwaan TPPU, belum bisa dipastikan akan
memanggil berapa saksi.

Penasehat hukum terdakwa, Juniver Girsang, tak masalah dengan sistem
yang diajukan jaksa. Hanya saja, pihaknya meminta agar informasi soal
saksi-saksi yang akan dihadirkan bisa segera mereka peroleh
secepatnya.

Eksepsi ditolak

Dalam sidang putusan sela, majelis hakim menyatakan menolak eksepsi
atau nota keberatan penasehat hukum terdakwa dan memerintahkan
penuntut umum untuk melanjutkan persidangan. Banyak nota keberatan
ditolak karena dianggap sudah masuk materi perkara sehingga harus
dibuktikan di persidangan.

Salah satu keberatan penasehat hukum adalah menganggap Pengadilan
Tipikor tak berwenang mengadili TPPU Djoko Susilo. Terhadap nota
keberatan itu, majelis hakim menyatakan Pengadilan Tipikor jelas
berwenang sebagaimana diatur dalam Pasal 6 huruf b Undang-Undang No 46
Tahun 2009 tentang Pengadilan Tipikor.

“Majelis hakim berkesimpulan Pengadilan Tipikor berwenang mengadili
tindak pidana pencucian uang yang tindak pidana asalnya adalah tindak
pidana korupsi,” kata hakim anggota Amin Sutikno.

Terhadap asas retroaktif (hukum berlaku surut) yang dipermasalahkan
penasehat hukum terdakwa, majelis hakim lebih sependapat dengan
penuntut umum. Dengan demikian, KPK berhak mengusut TPPU pada rentang
2003-Oktober 2010.

Berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi, larangan menggunakan
retroaktif hanya untuk hukum materiil dan tak berlaku untuk hukum
formil atau hukum acara pidana. Dalam yurisprudensi, asas seperti ini
pernah diterapkan pada perkara Bahasyim Assifie dan perkara Yudi
Hermawan.

Penasehat hukum terdakwa sebelumnya berpendapat, KPK tak berhak
mengusut perkara TPPU di bawah Oktober 2010. Alasannya karena
kewenangan KPK menyidik perkara TPPU baru ada pada Pasal 74 UU No
8/2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan TPPU.

UU No 15/2002 tentang TPPU hanya menyebut penyidik TPPU adalah
kepolisian atau kejaksaan. Sehingga, ketika KPK mengusut TPPU Djoko di
bawah Oktober 2010 dan apalagi menggunakan UU Tahun 2002, penasehat
hukum terdakwa protes keras. (Amir Sodikin)

Leave a Reply