Ribuan Netizen Dukung Petisi Soal Penggusuran Suku Anak Dalam

Share Article

Puluhan Suku Anak Dalam dihajar gabungan aparat, sementara pemukimannya diratakan dengan tanah. Atas nama solidaritas masyarakat adat, seorang pemuda Jambi tergerak galang dukungan untuk Suku Anak Dalam lewat petisi www.change.org/SukuAnakDalam.

Sejak sehari diluncurkan, petisi www.change.org/SukuAnakDalam yang dimulai oleh Wobal Kincai mendapat dukungan lebih dari 2.916 orang. Pemuda yang tergabung dalam masyarakat adat Jambi itu kaget ketika mendapati berita tentang pemukulan dan penggusuran Suku Anak Dalam di Jambi. Dalam petisinya ia meminta Gubernur Jambi hasan Basri Agus untuk menghentikan perampasan tanah milik Suku Anak Dalam. Gubernur juga didesak untuk menindak PT Asiatic Persada yang melakukan aksi kekerasan terhadap Suku Anak Dalam.

“Sejak 1980-an, perlahan-lahan hutan mereka mulai diusik. Pemerintah membuat infrastruktur yang bersinggungan dengan wilayah mereka. Atas nama komoditas HTI, HPH pun dengan mudah dikeluarkan untuk “menghancurkan” hutan mereka,” jelas Wobal.

Dalam petisi www.change.org/SukuAnakDalam, Wobal juga bercerita bahwa Suku Anak Dalam sering diusik, bahkan terkadang mendapatkan perlakuan diskriminasi dan teror. Banyak perusahaan yang bergerak di industri HTI mengusir dan merampas tanah adat (hak ulayat) Suku Anak Dalam. Padahal Suku Anak Dalam telah mendiami wilayah itu sejak zaman nenek moyang mereka.

“Perampasan tanah itu seperti dapat legitimasi dari pejabat daerah dan aparat keamaan. Ini terjadi selama puluhan tahun dan tersistematis,” pungkasnya.

Pendiri Change.org Indonesia, Usman Hamid menganggap penggusuran Suku Anak Dalam itu melanggar HAM. “Petisi yang dimulai Wobal Kincai untuk mendukung Suku Anak Dalam mendapatkan keadilan patut didukung. Solidaritas untuk Suku Anak Dalam bukan hanya datang dari masyarakat adat Jambi, tapi juga dari seluruh rakyat Indonesia,” tandasnya.

Sosok terkemuka pemerhati Orang Rimba, Butet Manurung menyampaikan bahwa pemerintah harus mengakui status kepemilikan lahan bukan berdasar legal formal saja. Ada klaim-klaim tradisional dalam sejarah kepemilikan mereka, tertuang dalam memori kolektif dan bukti-bukti fisik seperti makam, tanaman-tanaman yang tertuang dalam cerita-cerita lisan mereka.

“Ini harus terlebih dahulu dipahami, sebelum mengajak mereka berunding atau membicarakan pembangunan ala mainstream. Dalam UNDRIP sudah jelas sekali posisi dan hak-hak mereka. Indonesia sendiri ikut menandatanganinya,” jelas Butet. (*)

Leave a Reply