"Kalian nanti tunggu saja di sidang-sidang saya. Saya akan ungkap
semuanya siapa yang terlibat. Ini kasus besar kalau diungkap. Akan
saya beberkan nama-nama besar yang terlibat. Saya sudah siap segalanya
termasuk nyawa saya," kata Kosasih Abbas kepada wartawan sekitar akhir
2012.
Kosasih adalah mantan Kepala Subdirektorat Usaha Energi Baru dan
Terbarukan Ditjen Listrik dan Pemanfaatan Energi (LPE) Kementerian
Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM). Ia bersama atasannya, mantan
Dirjen LPE Jacob Purwono didakwa korupsi pengadaan dan pemasangan
listrik perdesaan atau solar home system 2007-2008 yang dibiayai
Kementerian ESDM.
Media sempat meremehkan koar-koar Kosasih karena kasus ini tidak
menyangkut orang penting. Saat pemeriksaan saksi-saksi, Kosasih selalu
mencoba menjelaskan lebih gamblang, termasuk mau menyebutkan
siapa-siapa yang terlibat. Tapi, kesempatan itu selalu dipotong
majelis hakim karena memang belum pada tempatnya. "Nanti kalau pas
pemeriksaan terdakwa, silakan manfaatkan sepuasnya," kata Sujatmiko,
Ketua Majelis Hakim.
Berbulan-bulan telah lewat, sampailah pada pemeriksaan terdakwa dan di
situlah akhirnya Kosasih menyebutkan beberapa nama penting yang
menitipkan perusahaannya agar dimenangkan dalam ternder. Orang-orang
besar mulai dari jenderal polisi, aparat Badan Intelijen Negara,
anggota DPR, dan keluarga pejabat (menteri) ia sebut tanpa rasa takut.
Semangat untuk mengungkapkan "kertas kuning" yang berisi catatan
nama-nama orang penting beserta nama perusahaan yang harus dimenangkan
itu begitu kuat. Padahal, ia tahu risiko bagi dirinya dan keluarganya
sangat tinggi.
Saatnya tiba
Rabu (6/2), adalah hari terakhir bagi di Pengadilan Tipikor, Jakarta.
Ia sedang menghitung detik demi detik yang sangat bersejarah baginya
karena hari itu Majelis Hakim akan memvonis dirinya bersama
atasannya, Jacob.
Semangatnya masih ada namun tampak tertutupi kegelisahannya. Saat
pledoi sepekan sebelumnya, ia "diserang" kubu Jacob. Ia dianggap tak
layak menyandang predikat rekan keadilan karena dianggapnya pelaku
utamanya adalah Kosasih bukan Jacob, juga seharusnya rekan keadilan
penetapannya harus dari awal kasus, bukan ketika kasus sedang berjalan
di pengadilan.
Kosasih sudah ditetapkan sebagai rekan keadilan oleh Komisi
Pemberantasan Korupsi dan juga Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban.
Karena itu, publik berharap, hari itu akan ada yurisprudensi tentang
bagaimana sebuah vonis seorang rekan keadilan.
Sidang akhirnya dimulai setelah molor 5 jam lebih. Jacob mengenakan
baju serba putih dengan peci warna putih pula. Sementara Kosasih
sepeti biasa mengenakan baju batik.
Ketua Majelis Hakim Sujatmiko mulai membacakan putusan. Di luar dugaan
banyak pihak, majelis hakim menyatakan mereka tak terbukti melanggar
dakwaan primer (Pasa 2 ayat 1 UU Tipikor), melainkan melanggar dakwaan
subsider (Pasal 3 UU Tipikor).
Di belakang barisan pengunjung, para wartawan sibuk melihat
pasal-pasal tersebut. Tersua fakta menarik yaitu pada ketentuan Pasal
3, hukuman maksimal adalah 20 tahun sedangkan minimalnya 1 tahun.
Untuk Pasal 2, maksimal 20 tahun dan minimalnya 4 tahun.
Seorang wartawan pun tersenyum sambil bicara lirih kepada
teman-temannya. "Wah, ini skenario menurunkan hukuman Kosasih agar
lebih minimal. Hakim mempertimbangkan justice collaborator," begitu
seorang wartawan. "Ada pertimbangan kemanusian," bisik rekan lainya.
Hakim pun sampai pada vonis dan di luar dugaan semua yang hadir,
hukuman untuk Kosasih tetap 4 tahun, sama seperti tuntutan jaksa KPK.
Sementara, Jacob hukumannya turun dari 12 tahun menjadi 9 tahun. Dari
1.200 halaman putusan hakim, tak ada satu kata pun terkait justice
collaborator.
Semangat pupus
Malam itu, suasana usai sidang hening. Tak ada suara derai tangis dari
keluarga para terdakwa. Para wartawan juga tenang, seolah kehilangan
judul berita mereka. Ketika majelis hakim menanyakan tanggapan para
terdakwa, lama sekali para terdakwa berkonsultasi dengan penasehat
hukumnya hingga diperingatkan hakim untuk segera.
"Kami pikir-pikir," begitu kata Jacob dan Kosasih.
Sidang pun ditutup. Beberapa wartawan mendekati Kosasih untuk
menanyakan tanggapannya. Lama sekali Kosasih keluar dari area dalam
sidang. Ia keluar tanpa ada semangat seperti biasanya. Kekecewaannya
tak bisa ia tutupi.
"Ketika hakim lebih memilih Pasal 3, dalam hati saya sudah gembira.
Pasti hakim akan mempertimbangkan posisi saya sebagai justice
collaborator. Ternyata, tak ada apresiasi untuk justice collaborator,"
kata Kosasih lesu.
"Coba bayangkan, terdakwa 1 (Jacob) yang tidak kooperatif vonisnya
malah turun. Saya malah tetep. Dia turunnya tiga tahun, banyak itu,
saya tetep saja segitu. Okelah kalau pakai Pasal 2 kan minimumnya 4
tahun, tapi kalau yang dipakai Pasal 3 kan minimumnya 1 tahun,
harusnya hukuman saya bisa turun minimal 2/3 dari tuntutan 4 tahun,"
kata Kosasih.
Sampai di situ, Kosasih yang tampak lelah tak mau dimintai komentarnya
lagi apakah akan banding atau tidak. Semangatnya dulu yang berapi-api
ketika diajak bicara sudah tak tampak lagi. "Tanyakan saja ke
penasehat hukum saya," katanya.
Penasehat hukum Kosasih, Hudy Jusuf, mengungkapkan kekecewaannya juga.
"Sangat kami sayangkan, kok yang mau berkolaborasi dengan penegak
hukum, dari awal mulai penyidikan sampai ke proses persidangan, ikut
membantu membuktikan dakwaan-dakwaan jaksa tapi sama sekali tak
diapresiasai," kata Hudy.
Namun ternyata majelis hakim tak mempertimbangkan justice
collaborator. "Kosasih itu dari proses awal mulai penyidikan hingga ke
persidangan selalu kooperatif dengan aparat penegak hukum untuk
mengungkap kasus ini. Tapi itu tak ada apresiasi sedikit pun dari
majelis hakim," kata Hudy.
Bukankah 4 tahun itu jauh lebih ringan dari hukuman Jacob yang 9
tahun? "Iya kalau dibandingkan Jacob. Tapi kan Jacob itu memiliki
wewenang yang kuat sementara Kosasih ini boneka saja yang memang patuh
dan loyal kepada pimpinan," kata Hudy.
Padahal, salah bukti yang penting adalah kertas kuning yang diamankan
Kosasih yang berisi catatan perusahaan yang harus dimenangkan. "Yang
mengungkap nama-nama besar yang menitipkan perusahaan-perusahaan
pemenang tender itu kertas kuning itu. Kertas itu yang mengusahakan
Kosasih," katanya.
Sebelumnya, kubu Jacob Purwono memang memprotes penetapan Kosasih
sebagai justice collaborator karena penetapan itu tidak dilakukan
sejak awal, melainkan ketika yang bersangkutan sudah menjadi terdakwa.
Bahkan, surat penetapan terkait justice collaborator itu bernomor
bulan Desember 2012 untuk versi KPK, dan Januari 2013 versi LPSK.
Namun, Juru Bicara KPK Johan Budi SP yang dihubungi wartawan usai
sidang, menyatakan jika Kosasih sudah menjadi justice collaborator
sejak penyidikan. Keterangan Johan Budi juga sama dengan keterangan
penasehat hukum Kosasih, Hudy Jusuf. Bahkan, dakwaan yang disusun
jaksa bisa dikatakan merupakan versi pengakuan Kosasih.
Peneliti Pusat Kajian Antikorupsi Universitas Gadjah Mada, Oce Madril,
menjelaskan, untuk menjadi rekan keadilan tak harus dari awal. Bisa
saja ia ditetapkan sebagai rekan keadilan saat di penyidikan, saat
masuk persidangan, saat menjelang tuntutan, bahkan ada juga yang sudah
dihukum baru bersedia menjadi rekan keadilan.
"Jadi sangat terbuka kemungkinan di semua proses penegakan hukum, ia
tak harus di awal kasus itu akan diungkap," kata Oce.
Hudy berharap, kejadian yang menimpa kliennya tak akan terulang lagi.
"Ini pelajaran yang sangat berharga bagi dunia peradilan kita. Ini
bukan masalah justice collaborator-nya, tapi karena hakim belum
memiliki perspektif soal justice collaborator," kata Hudy.
Hudy belum memutuskan untuk banding, namun jika akan banding pihaknya
sudah siap dengan banyak bahan. Ia yakin, seandinya akan banding,
lebih mudah menjelaskan soal justice collaborator ke MA karena MA lah
yang mengeluarkan surat edaran tersebut. "Tunggu saja nanti, kami
masih pikir-pikir dulu," katanya. (AMIR SODIKIN)