Ratna Dewi Umar Divonis 5 Tahun

Share Article

Mantan Direktur Bina Pelayaanan Medik Dasar Kementerian Kesehatan,

Ratna Dewi Umar, akhirnya divonis lima tahun penjara dan pidana denda

Rp 500 juta subsider kurungan tiga bulan. Surat pengajuan diri sebagai

justice collaborator tak meringankan vonis karena surat dibuat

terlambat menjelang vonis.

Majelis Hakim yang diketuai Nawawi Pomolango dalam sidang putusan di

Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Jakarta, Senin (2/9), berkeyakinan

bahwa Ratna terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan korupsi

sebagaimana dalam dakwaan subsider.

Dakwaan subsider berdasarkan Pasal 3 ayat (1) Undang-undang No 31 /

1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah

diubah UU No 20/ 2001 tentang Perubahan UU nomor 31 tahun 1999 juncto

Pasal 55 Ayat (1) ke 1 juncto pasal 65 ayat (1) KUHPidana.

“Menyatakan terdakwa dokter Ratna Dewi Umar M Kes terbukti secara sah

dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi bersama-sama

sebagaimana dimaksud dalam dakwaan subsider,” kata Nawawi.

Ratna dianggap menyalahgunakan wewenang selaku Pejabat Pembuat

Komitmen (PPK) dan Kuasa Pengguna Anggarana (KPA) dalam pengadaan alat

kesehatan (alkes) dan perbekalan dalam rangka wabah flu burung tahun

anggaran 2006-2007 di Kemkes. Total kerugian keuangan negara sebesar

Rp 50,477 miliar.

Dalam dakwaan, Ratna dianggap melakukan korupsi bersama mantan Menkes

Siti Fadilah Supari, bos PT Prasasti Mitra Bambang Rudjianto

Tanoesoedibjo, Direktur PT Prasasti Mitra Sutikno, Singgih Wibisono,

Freddy Lumban Tobing, dan Tatat Rahmita Utami.

Vonis ini sama dengan yang dituntut jaksa penuntut umum Komisi

Pemberantasan Korupsi. Bedanya, majelis hakim berkeyakinan Ratna

terbukti melanggar dakwaan subsider, bukan dakwaan primer Pasal 2 ayat

(1) UU Tipikor.

Dengan demikian, tak ada keringanan sama sekali pada jumlah tuntutan

hukuman walaupun Ratna pekan lalu, sebelum pembacaan vonis yang

tertunda, mengajukan diri sebagai justice collaborator untuk

mengungkap kasus ini. Nawawi mengatakan, surat dari Ratna terlambat

karena seharusnya pengajuan itu dilakukan saat dirinya masih berstatus

tersangka.

Harta disita

Walaupun Ratna tak terbukti menerima uang, namun akibat perbuatannya

negara dirugikan hingga Rp 50,477. Majelis hakim tak memberikan

hukuman tambahan berupa uang pengganti kepada Ratna. Hakim

memerintahkan harta beberapa perusahaan yang digunakan sebagai barang

bukti untuk disita negara.

Barang bukti yang diperintahkan untuk dirampas bagi negara diantaranya

Rp 1,8 miliar dari PT Rajawali Nusindo, Rp 990 juta dari PT Airindo

Sentra Medika, Rp 1,6 miliar saldo rekening milik PT Kimia Farma, Rp

675 juta dari Fredi Lumban Tobing, dan beberapa unit peralatan

kesehatan di beberapa rumah sakit.

Hal yang memberatkan Ratna adalah perbuatannya kontraproduktif

terhadap pemberantasan korupsi. Selain itu juga memberikan citra

negatif terhadap pengadaan barang dan jasa pemerintah.

Sedangkan yang meringankan, terdakwa berlaku sopan selama di

persidangan. Terdakwa juga lebih dari 32 tahun mengabdi sebagai PNS

dan menyesali perbuatannya. Atas putusan ini, Ratna menyatakan

pikir-pikir.

Dalam persidangan, terungkap bahwa Ratna menyetujui usulan Menkes Siti

Fadilah Supari untuk melakukan penunjukan langsung. Caranya dengan

menunjuk pengusaha Bambang Rudijanto Tanoesudibjo sebagai pelaksana

pengadaan alkes tahun 2006.

Sebelumnya, Siti Fadilah yang pernah hadir sebagai saksi, telah

membantah keterlibatannya dalam memerintahkan penunjukan langsung.

Namun, di persidangan sebelumnya, Ratna langsung bereaksi dengan

mengatakan yang ia katakan benar dan ia hanya menjalankan perintah

Siti Fadilah. “Saya sampai kapan pun, sampai menghembuskan nafas

terakhir akan tetap mengatakan ini benar adanya,” kata Ratna waktu

itu. (arm)

Leave a Reply