Profil dan Biodata Sariamin Ismail, Novelis Perempuan Pertama di Indonesia

Share Article
Siapakah Sariamin Ismail? Inilah Profil dan Biodatanya

ENDONESIA.com – Siapakah Sariamin Ismail? Generasi muda saat ini merasa asing dengan nama Sariamin Ismail, terutama bagi mereka yang tak pernah membaca novel-novel karya orang Indonesia. Siapakah Sariamin Ismail? Berikut ini profil Sariamin Ismail dan juga keteladanan Sariamin Ismail yang bisa kita pelajari saat ini.

Sariamin Ismail pernah muncul pada Google Doodle tanggal 30 Juli 2021 yang merayakan ulang tahun ke-112.

Dikutip dari Wikipedia, Sariamin Ismail lahir pada tanggal 31 Juli 1909 dan meninggal pada 15 Desember 1995. Sariamin Ismail adalah penulis Indonesia yang tercatat sebagai novelis perempuan pertama di Indonesia.

Baca juga: Review Pengalaman Berinvestasi di iGrow Setelah 2 Tahun

Ia sering memakai nama samaran Selasih dan Seleguri, atau gabungan kedua nama Selasih Seleguri. Novel pertamanya berjudul Kalau Tak Untung diterbitkan oleh Balai Pustaka pada 1934. Ia menulis untuk sejumlah surat kabar termasuk Pujangga Baru, Panji Pustaka, Soeara Kaoem Iboe Soematra, Sunting Melayu, Sinar Soematra, dan Bintang Hindia. Bersama kepindahannya ke Kuantan sejak 1941, Sariamin duduk sebagai anggota parlemen daerah untuk Provinsi Riau setelah terpilih pada tahun 1947. Ia terus menulis selama sisa umurnya.

Kehidupan Masa Kecil Sariamin Ismail

Sariamin lahir dengan nama Basariah pada tanggal 31 Juli 1909 di Talu, Pasaman Barat. Ia adalah anak kedua, memiliki tiga saudara perempuan dan seorang saudara laki-laki, dari pasangan Sari Uyah dan Lau. Sebagai anak seorang ambtenaar, Sariamin dapat masuk ke Sekolah Gubernemen. Dalam usia sepuluh tahun, ia telah menulis syair dan puisi.

Pada 1921, ia lulus ujian masuk sekolah guru perempuan Meisjes Normaal School (MNS) di Padang Panjang. Di MNS, ia menjalani kehidupan asrama dan menulis catatan dalam bentuk sajak di buku kecil yang ia namakan “sahabatku”.

Baca juga: 250 Gram Berapa Sendok Makan (sdm)

Di kelas, ia sering mendapat hadiah dari perlombaan menulis karangan prosa dan puisi yang diikutinya. Sajaknya yang berjudul “Orang Laut” dibacakan di setiap kelas oleh para guru. Sewaktu kelas tiga, karena dianggap sudah sering mendapatkan hadiah, ia tidak lagi diberi hadiah dari lomba meskipun mendapat juara. Sebagai pengganti, guru bahasa Indonesia-nya, Noer Marliah Moro membawanya berlibur ke Padang, hadiah yang paling istimewa baginya karena ia belum pernah menyaksikan laut walaupun ia mengarang “Orang laut”.

Masih dari Wikipedia, tamat dari MNS, Sariamin mendapat tugas mengajar di Meisjes Vervolg School (MVS) yang ada di Bengkulu. Pada 17 Juni 1925, ia diangkat sebagai kepala sekolah. Selama setahun memimpin, ia mencatatkan kemajuan untuk sekolah dengan pertambahan murid. Setelah itu, ia berpindah-pindah domisili mengikuti tugas mengajarnya dan terus menulis sampai sisa umurnya.

Sariamin kembali ke Sumatra Barat pada 1926 untuk mengepalai MVS yang ada di Matur dan pindah ke Lubuksikaping pada 1927. Di Matur, ia bertemu dengan bekas gurunya di MNS, Noer Marliah Moro yang memberinya dorongan untuk mengirim karyanya ke surat kabar. Ia menggunakan nama samaran Sri Gunung untuk pertama kali yang terus ia gunakan sewaktu di Lubuksikaping.

Baca juga: Konversi 1 Galon Berapa Liter Air ?

Ketika mengepalai MVS di Lubuksikaping, Sariamin sempat bertengkar dengan schoolopzinener yang menyalahkan keputusannya membeli alat-alat dapur sekolah dengan uang pembeli bangku dan meja. Buntutnya, ia dipanggil oleh inspektur di Bukittinggi pada Mei 1928 dan mendapat hukuman penurunan pangkat menjadi guru di Meisjes Leer School (MLS) di Bukittinggi, sekolah untuk murid pindahan MNS Padangpanjang yang gedungnya hancur akibat gempa bumi 1926.

Aktivitas dan Karya-karya Sariamin

Sewaktu di Bukittinggi, Sariamin aktif mengikuti kegiatan organisasi. Dari tahun 1928 hingga 1930, ia mengetuai perkumpulan pemuda Islam Jong Islamieten Bond (JIB) bagian wanita untuk wilayah Bukittinggi. DI JIB, ia bertemu dengan kepala sekolah tempatnya mengajar, Syarifah Nawawi yang merupakan Ketua Serikat Kaum Ibu Sumatra (SKIS).

Setelah gedung baru MNS Padangpanjang selesai pada 1930, Sariamin kembali ke kota itu bersama kepindahan kegiatan belajar mengajar MLS ke sekolah tersebut. Di Padangpanjang, Sariamin mengetuai cabang SKIS dan menulis untuk majalah Soeara Kaoem Iboe Soematra, majalah yang dikelola oleh perempuan.

Baca juga: Panduan Lengkap Mencegah dan Membasmi Kutu Busuk atau Kutu Kasur di Tempat Tidur

Selain itu, ia membagi waktunya untuk mengajar di sekolah swasta Diniyah School dan menjadi pengasuh tetap “Mimbar Putri” di Harian Persamaan. Pada era 1930-an, ia sudah menjadi wartawan dan penulis yang cukup vokal di majalah perempuan Soeara Kaoem Iboe Soematra. Ia mengutuk poligami dan menekankan pentingnya hubungan keluarga inti di Minangkabau lewat Soeara Kaoem Iboe Soematra. Sementara itu, Sariamin dalam Harian Persamaan mengkritik ketidakadilan peraturan gaji bagi pegawai wanita, terutama guru wanita.

Selain menulis di surat kabar dan majalah lokal, Sariamin juga menulis untuk Poedjangga Baroe dan Panji Pustaka. Ia menulis untuk menambah penghasilan sehari-hari dan membiayai kegiatan organisasinya. Ia menggunakan beberapa nama samaran untuk mencegah kemungkinan ia ditangkap akibat tulisan-tulisannya oleh Politieke Inlichtingen Dienst (PID).

Dari sejumlah nama samaran yang ia gunakan, ia lebih dikenal dengan nama Selasih yang ia gunakan dalam novel pertamanya. Sejumlah nama samaran lain yang pernah ia gunakan yaitu Seleguri, Sri Gunung, Sri Tanjung, Ibu Sejati, Bundo Kanduang, dan Mande Rubiah.

Baca juga: Panduan Beli AC, Cara Menghitung dan Menentukan Daya PK Berdasarkan Luas Ruangan

Pada 1933, ia menerbitkan novel pertamanya, Kalau Tak Untung yang menjadikannya sebagai novelis perempuan pertama dalam sejarah Indonesia. Diterbitkan oleh Balai Pustaka milik pemerintah, konon inspirasi novel ini adalah beberapa kejadian nyata dalam hidupnya yaitu tunangannya yang menikahi wanita lain, dan kisah dua sahabat kecilnya yang saling jatuh cinta namun tak bisa bersatu. Ia kembali menerbitkan novel pada tahun 1937 berjudul Karena Keadaan.

Kepindahan ke Kuantan

Pada 1939, ia berhenti mengajar di Padangpanjang karena dituduh aktif dalam politik oleh PID. Selama dua tahun berikutnya, ia hanya menjadi guru bantu di MVS Payakumbuh. Pada 1941, ia menikah dan mengikuti suaminya ke Teluk Kuantan, Riau. Meskipun rencananya semula berencana menjadi ibu rumah tangga di sana, ia merasa “tenaganya sangat dibutuhkan” ketika melihat pendidikan di daerah itu jauh tertinggal dibandingkan daerah tetangganya, Sumatra Barat.

Pada 1942, ia menjadi kepala sekolah MVS yang pertama dan baru berdiri di Teluk Kuantan—bahkan Riau. Sekolah ini membuka asrama untuk murid dari luar daerah yang berada di samping rumah Sariamin, dan ia sekaligus menjadi pembimbing asrama.

Setelah Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya pada 1945, Sariamin menghabiskan dua tahun sebagai anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah wilayah Riau. Ia tetap menulis dan mengajar di Riau hingga 1968. Hingga tahun 1986, ia telah menelurkan tiga antologi puisi dan sebuah cerita anak-anak. Ia menulis novel terakhirnya, Kembali ke Pangkuan Ayah pada tahun 1986. Sebelum wafat pada tahun 1995, ia menerbitkan dua antologi puisi lagi dan sebuah film dokumenter tentang kisah kehidupannya.

Baca juga: 1 Sendok Makan / Teh Berapa Gram? 100 Gram Berapa Sdm / Sdt ? Cek Konversi Takaran Sendok ke Gram

Tema sastra Sariamin Ismail

Kritikus sastra Indonesia Zuber Usman menulis bahwa, tidak seperti karya kontemporer lainnya, karya-karya awal Sariamin, Kalau Tak Untung dan Pengaruh Keadaan tidak menyinggung konflik antargenerasi atau perbenturan nilai-nilai adat dan modern. Ia mendapati bahwa novel-novel Sariamin fokus mengenai kisah kasih tak sampai akibat keadaan sekitar misalnya adat dan agama; bertemu pada masa kecil, jatuh cinta, tetapi tidak pernah berhasil bersatu. Ia mencatat bahwa, berbeda dengan novel-novel awal lainnya seperti Sitti Nurbaya (1923) oleh Marah Rusli, karya Sariamin tidak menyoroti anak dari keluarga kaya. Kalau Tak Untung mengisahkan seorang anak dari keluarga miskin di pedesaan, sementara Karena Keadaan menggambarkan seorang anak tiri jatuh cinta dengan gurunya.

Kritikus sosial Bakri Siregar berbeda pendapat dengan Usman dan menyebut karya Sariamin sebagai sesuatu yang menolak tradisi. Ia mencatat bahwa novel-novelnya menggambarkan sebuah perkawinan bahagia yang didasari cinta, ketimbang yang diatur oleh orang tua dan dikangkangi oleh tradisi.

Ahli literatur Indonesia asal Belanda A. Teeuw menganggap, watak laki-laki di karya-karya Sariamin adalah laki-laki lemah yang menyerah pada nasib. Ia membandingkan Karena Keadaan dan dongeng Barat “Cinderella”, menyatakan bahwa watak utama di kedua cerita memilih mengorbankan dirinya tetapi mendapat ganjaran yang setimpal pada akhirnya. Penulis Juliette Koning mengklasifikasikan Kalau Tak Untung sebagai bagian dari “serangkaian karya yang mewakili pendapat-pendapat dari wanita-wanita pribumi yang terpelajar” bersama Kehilangan Mestika (1935) karya Hamidah dan Manusia Bebas (diterbitkan dalam bahasa Belanda pada 1940) karya Soewarsih Djojopuspito.

Baca juga: Ghosting Adalah…Arti Kata Terpopuler 2020 Google

Karya Sastra Sariamin Ismail


Kalau Tak Untung (1933)
Pengaruh Keadaan (1937)
Puisi Baru (1946; antologi puisi)
Rangkaian Sastra (1952)
Seserpih Pinang Sepucuk Sirih (1979; antologi puisi)
Panca Juara (1981)
Nahkoda Lancang (1982)
Cerita Kak Murai, Kembali ke Pangkuan Ayah (1986)
Ungu: Antologi Puisi Wanita Penyair Indonesia (1990)

Leave a Reply