Politisasi Media Digital Makin Marak

Share Article
Photo: Endonesia.com

Jelang Pemilu 2014, pemilih muda yang gemar memanfaatkan media sosial makin menjadi target pasar yang serius untuk kampanye partai politik dan calon legislatif. Parpol akan berupaya mendekati anak muda dengan segala cara, termasuk pendekatan semu dan palsu.

Politisasi media sosial untuk kepentingan politik tak terhindarkan lagi dan anak-anak muda rentan terpapar kampanye halus. Karena itu, mereka harus disadarkan.

Demikian benang merah dalam diskusi “Proyeksi Aktivisme Netizen di Tahun Politik 2014” yang digelar Change.org, Public Virtue Institute (PVI), dan Pamflet, di Jakarta, Selasa (7/1). Hadir dalam acara tersebut Pendiri Change.org Indonesia Usman Hamid, Pendiri Change.org Indonesia Arief Azis, Pendiri PVI John Muhammad, dan Koordinator Website Pamflet Raka Ibrahim.

Raka sebagai calon pemilih muda mengatakan, anak-anak muda kini memang menjadi incaran parpol. “Sebanyak 30 persen pemilih adalah dari kalangan anak muda berusia 17 – 30 tahun dan jika mereka datang ke TPS untuk Pemilu 2014, mereka dipastikan bisa menentukan kemenangan,” kata Raka.

Parpol dan caleg sudah banyak yang melancarkan kampanye secara halus di media sosial yang bisa memikat anak-anak muda, tanpa peduli apakah kampanye itu tulus atau palsu. “Mereka membangun identitas melalui media sosial, mengikuti dan merangkul anak-anak muda,” kata Raka.

Mereka sebenarnya tak terjangkau dengan kampanye politik, namun kini parpol dan caleg tahu apa yang diinginkan dan disukai anak-anak muda. Usman Hamid menambahkan, seiring dengan matangnya sosial media, anak-anak muda harus menyadari adanya interaksi palsu dan partisipasi palsu yang sengaja diciptakan untuk pencitraan identitas.

Berbagai cara dilakukan untuk mendekati anak-anak muda. Mesin-mesin politk digital dikerahkan oleh para parpol dan caleg untuk memoles identitas mereka agar bersinar di mata anak-anak muda. Jumlah follower (pengikut) di media sosial bisa diakali, komentar di media sosial juga bisa diset otomatis.

“Miliaran rupiah dikeluarkan oleh mereka yang ingin akun digitalnya dikelola pihak ketiga,” kata Usman. Realitas di dunia digital akhirnya bisa begitu berlimpah dan harus dipilah-pilah secara arif.

John Muhammad percaya, anak-anak muda yang suka dengan media sosial seharusnya sudah tak perdcaya dengan “direct selling“ yang kasar. “Model seperti itu sudah ditinggalkan. Kultur baru politik adalah transparan dan jujur. Mereka diharapkan jujur menjelaskan latar belakangnya,” katanya.

John mengingatkan agar parpol dan caleg tak hanya sekadar berfikir bagiamana bisa menjadi viral yang dibicarakan oleh warga pengguna internet atau netizen. Namun, bermainlah dengan tujuan untuk tampil lebih baik. “Viral saja tak cukup, di dunia nyata perlu melakukan, mendengarkan publik dan langsung menjawabnya dengan tindakan. Bukan sekadar follower dan viral,” katanya.

Netizen yang “menyetir”
Belajar dari pengalaman platform petisi online Change.org, Arief Azis mempertegas bahwa anak-anak muda ternyata mengendalikan dan memiliki isu tersendiri yang berbeda dengan tren arus media utama. Dari kategori isu yang dibuat petisi, posisi pertama justru didominasi kesejahteraan satwa (337.907 orang) dan lingkungan hidup (134.635).

Petisi-petisi online merupakan salah satu bentuk partisipasi politik yang didominasi anak-anak muda. Tak semua isu yang menurut media massa penting, menjadi topik penting pula di Change.org. “Ini menunjukkan adanya desentralisasi isu, sekarang isu tak lagi hanya didikte oleh elit politik, tapi juga bisa berasal dari netizen,” kata Arif.

Arief juga mengingatkan, tujuan aktivitas di media sosial atau online bukanlah untuk memobilisasi orang ke jalanan. “Melainkan untuk membuat perubahan sosial seperti yang telah dicapai ratusan petisi online yang berhasil. Aktivitas online memberi energi untuk offline, begitu sebaliknya,” katanya.

John Muhammad menambahkan, netizen juga menunjukkan gejala unik dalam merespons kasus. Tak semua kasus penting dan mendesak mendapat respons paling banyak. Misalnya, petisi untuk membela Wilfrida Soik, TKW yang terancang hukuman mati di Malaysia, direspons 13.000 lebih netizen.

Petisi tolak tambang di Pulau Bangka mendapat respons 17.000 netizen lebih. Sementara, petisi menolak program acara di televisi swasta, yang tidak mendesak untuk ditangani, dalam seminggu direspons 31.000 netizen lebih.

“Pengguna petisi online punya sensitivitas unik. Ini adalah tantangan, seperti apa masa depan netizen ke depan,” kata John.
(AmirSodikin.com)

Leave a Reply