Politik Anggaran Jokwi-JK Harus Berpihak Rakyat

Share Article

Pemerintahan yang baru di bawah kepemimpinan Joko Widodo-Jusuf Kalla harus segera merombak politik anggaran yang selama ini tak responsif terhadap kesejahteraan masyarakat. Kebijakan relasi pusat-daerah harus dievaluasi, terutama menyangkut mekanisme pemberian dana perimbangan.

Peneliti Utama Indonesia Governance Index (IGI) Kemitraan, Lenny Hidayat, di Jakarta, Rabu (15/10), mengatakan, salah satu cara untuk merombak politik anggaran kuncinya adalah pada pentingnya revisi UU No 33/2004 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah. “Isu pemberian dana perimbangan ini krusial karena 90 persen APBD bersumber dari sini,” kata Lenny.

Selama ini, rumus penghitungan Dana Alokasi Umum dan Dana Alokasi Khusus hanya memperhitungkan indikator fisik. “Hanya didasarkan pada lima hal, yaitu jumlah penduduk, luas wilayah, indeks pembangunan manusia, pertumbuhan ekonomi, dan indeks kemahalan konstruksi,” kata Lenny.

Rumus yang ada sama sekali tak memasukkan unsur kinerja daerah. “Akibatnya, daerah cenderung mengabaikan peningkatan kinerja dan fokus hanya meningkatkan jumlah Pegawai Negeri Sipil untuk mempertahankan angka DAU/DAK, tanpa terlebih dulu menganalisa kebutuhan,” kata Lenny.

Kebanyakan daerah menerapkan trik ini untuk mengakali rumus DAU/DAK. Dampaknya, banyak PNS di daerah yang pekerjaannya tidak jelas. “Ada PNS yang pekerjaannya hanya memutakhirkan dan menjaga satu file data kepegawaian, sementara ada PNS yang harus bertanggung jawab ke semua hal,” kata Lenny.

Salah satu temuan dalam penelitian Indeks Tata Kelola (IGI) adalah dari 34 kabupaten/kota yang diteliti, 70 persen memiliki belanja aparatur 1-3 kali lipat dari belanja program. Itu artinya, untuk menghasilkan produk senilai Rp 1.000, dibutuhkan biaya operasional Rp 1.000 – Rp 3.000.

Direktur Eksekutif Populi Center Nico Harjanto mengatakan, dengan belum masuknya indikator kinerja tata kelola dalam UU, membuat pemerintah baru nanti tidak memiliki sistem reward/punishment bagi daerah yang bagus/buruk. ”Karena itu, saya sependapat agar memasukkan indikator hasil evaluasi kinerja daerah dalam perhitungan dana perimbangan,” kata Nico.

Harapannya dengan menggunakan penilaian kinerja sebagai bagian dari formula, daerah yang baik dapat insentif, dan daerah buruk dihukum. “Kemudian, rekrutmen PNS daerah harus diiringi analisa beban kerja karena penambahan PNS terbukti tidak menjamin pemerataan kesejahteraan,” kata Nico.

Beban Pemda semakin berat sehingga anggaran pembangunan dan kesejahteraan sedikit. “Di beberapa daerah bahkan pernah mengalami ‘kebangkrutan’ karena APBD-nya tdk mencukupi untuk membayar gaji dan belanja operasional. Ini yang harus dirombak,” kata Nico.

Peneliti IGI Kemitraan, Hery Sulistiyo, mengatakan, sejak 2004 memang rumus asumsi dasar perhitungan DAU/DAK didasarkan pada jumlah PNS. “DAU ditentukan berdasar besaran gaji PNS di daerah dan celah fiskal, tujuan awalnya untuk menciptakan pasar,” katanya.

Politik anggaran harus diarahkan untuk kegiatan yang menggerakkan hasil (result-driven), bukan semata-mata menggerakkan proses (process-driven) seperti selama ini tampak dalam biaya operasional dan perjalanan dinas. “Pemerintah Jokowi-JK nanti harus memberi perhatian, supervisi, dan koreksi terhadap perencanaan APBD agar berpihak pada rakyat,” kata Nico.

Nico mengatakan, keinginan Pemerintah Jokowi-JK untuk menggunakan instrumen politik anggaran tentu dapat mengoreksi berbagai ketimpangan alokasi maupun praktek perencanaan dan penggunaan anggaran. “Ke depan, anggaran pemerintah perlu difokuskan untuk infrastruktur, investasi, maupun penciptaan lapngan kerja,” kata Nico.

Namun, Nico mengingatkan, penggunaan politik anggaran dengan mekanisme pengurangan atau penambahan DAU/DAK, tentunya tidak bisa dilakukan secara meluas dan rutin. “Karena rutinitas seperti itu dapat mengganggu realisasi APBN sebagai produk undang-undang yang memerlukan persetujuan DPR,” kata Nico.

Jokowi dalam debat capres Juni lalu pernah melontarkan gagasan untuk penerapan kontrol ketat atas anggaran pemerintah. Jokwi menyebut politik anggaran yang mengusung prinsip reward and punishment agar pemerintah daerah terpacu mengelola anggaran untuk kesejahteraan rakyat. (AMR)

Leave a Reply