Petisi Tolak Pilkada Lewat DPRD Makin Merebak

Share Article

Penolakan terhadap RUU Pilkada terutama terkait pemilihan kepala daerah yang akan dipilih melalui DPRD, makin mengental. Di laman petisi online Change.org sendiri, terdapat empat petisi yang menolak pengesahan RUU Pilkada. Total tanda-tangan untuk ke-empat petisi tersebut saat ini melebihi 25.000.

Petisi www.change.org/DukungPilkadaLangsung dimulai oleh Perludem (Perkumpulan Untuk Pemilu dan Demokrasi).

Di petisi tersebut, Perludem mengemukakan hak demokrasi rakyat dipangkas DPR melalui RUU Pemilihan Kepala Daerah yang baru. Untuk alasan efisien, tapi hak konstitusional rakyat dibabat. Padahal, setelah 10 tahun pelaksanaan pilkada langsung oleh rakyat telah melahirkan tokoh pemimpin muda yang baru, berani, tegas, cerdas, bertanggungjawab, berkualitas, dan merakyat yang berhasil membangun daerahnya masing-masing. Misalnya Ganjar Pranowo, Ahok, Ridwan Kamil, Bima Arya, Risma, dan pemimpin muda lainnya yang terpilih langsung oleh rakyat karena kinerja mereka yang bagus.

Seorang warga Yogyakarta Tri Agus Susanto Siswowiharjo juga membuat petisi di http://chn.ge/WI7VE4. Dalam petisinya, Tri Agus mengemukakan, “Reformasi di Indonesia ditandai dengan pemilihan umum DPR, DPRD, dan presiden, serta pemilihan kepala daerah secara langsung. Jika ada keinginan dari partai politik yang duduk di DPR RI mengembalikan pemilihan kepala daerah dipilih oleh DPRD berarti ini merupakan kemunduran. Biarkan rakyat sendiri langsung memilih pemimpinnya.”

Petisi terakhir dimulai oleh Elina Ciptadi yang bisa diakses di http://chn.ge/1lT8Cqy. Elina juga menjelaskan lima alasannya menolak RUU Pilkada Ini. Pertama, ia tak sepakat bahwa pemilihan langsung lawan politik uang. Menurut Elina, pelaku politik uang adalah politisi dan parpol peserta Pemilu. Rakyat dalam hal ini hanyalah korban.

“Untuk menghapus politik uang, tidak perlu mengubah sistem Pemilukada Langsung. Yang diperlukan adalah tindakan tegas atas tindakan money politics. Pemilihan Kepala Daerah oleh DPRD justru membuat Pilkada tidak transparan dan memungkinkan lobi-lobi di kalangan anggota Dewan yang belum tentu mencerminkan pilihan rakyat. Pilkada melalui DPRD bukan jaminan mengakhiri praktik korupsi dan money politics, tapi justru memindahkan money politics dari ranah publik ke ruang tertutup yang tidak bisa diawasi rakyat,” tuturnya.

Elina juga menilai alasan biaya Pilkada tinggi dan tidak efisien juga tak masuk akal. Menurutnya, biaya pelaksanaan Pemilu bisa dibatasi dengan adanya Pilkada serentak yang sudah direncanakan KPU mulai tahun 2015. Selain itu, Elina menganggap bahwa pilkada langsung mengurangi potensi konflik sosial.

Pilkada lewat DPRD, lanjutnya, mengembalikan demokrasi Indonesia ke Orde Baru dan menghilangkan fungsi check-and-balance. Saat Orde Baru, para wakil rakyat berpura-pura ‘menyuarakan suara rakyat’ tetapi sibuk mengedepankan kepentingan pribadi dan golongannya saja. Fungsi check-and-balance antara DPRD sebagai kuasa legislatif dan Kepala Daerah sebagai kuasa eksekutif tidak akan berjalan karena DPRD akan cenderung memilih calon yang sejalan dengan kepentingan golongan yang terbesar di DPRD. Lebih parahnya lagi, rakyat tidak bisa berbuat sesuatu untuk mengawasi proses ini atau menghentikan keputusan yang tidak amanah.

“Selain itu, Indonesia menganut sistem presidensial, dimana pimpinan eksekutifnya dipilih oleh rakyat. Seyogianya pimpinan eksekutif di daerah pun dipilih oleh rakyat untuk memastikan bahwa pemimpinnya mengedepankan kepentingan rakyat, bukan kepentginan koalisi partai-partai politik yang memenangkan sang kepala daerah ini,” pungkas wanita yang kini berdomisili di Singapura itu. (adm)

Leave a Reply