Perusahaan Penyebab Kabut Asap Didominasi HTI dan Sawit

Share Article

Tingkat polusi di Singapura akibat kabut asap telah memecahkan rekor dan di satu sisi telah membuat posisi Indonesia tampak tak berdaya menghadapi para pembuka lahan dengan cara membakar hutan. Di tengah gempita saling lempar tanggung jawab para politisi Indonesia dan Singapura, para ahli luar justru telah bekerja untuk memastikan siapa saja yang bertanggung jawab dalam pembakaran lahan.

World Resources Institute (WRI) pada Sabtu (22/6) dari kantor pusatnya di Washington DC telah merilis publikasi yang di dalamnya memuat daftar perusahaan yang terlibat. Outreach Officer atau Perwakilan WRI Jakarta, Andika Putraditama, di Jakarta, mengatakan berdasar data WRI, ada pola menarik pada temuan WRI.

Diantaranya sebagian besar titik api pantauan NASA berada di Provinsi Riau. “Terutama dalam batas-batas hutan tanaman industri dan konsesi kelapa sawit,” kata Andika.

Lauren Zelin, Senior Media Officer WRI, memaparkan, pihaknya telah membuat peta interaktif yang memanfaatkan data kebakaran lahan yang dimiliki NASA dengan data kepemilikan lahan konsesi dari pemerintah RI. “Informasi ini memberikan transparansi tentang di mana kebakaran lahan terjadi dan siapa yang bertanggung jawab atas lahan tersebut,” kata Zelin.

Dari data yang diperoleh, tampak bahwa kebakaran yang terjadi relatif sedikit di kawasan lindung dan konsesi penebangan. Mayoritas terjadi di hutan tanaman industry (HTI) dan perkebunan kelapa sawit.

Dengan mencocokkan data NASA dengan data kepemilikan konsesi milik Kementerian Kehutanan, perusahaan yang mendominasi pembakaran lahanhanya  ada dua grup. Kedua grup ini berkontribusi lebih dari 50 persen dari titik api di semua konsesi.

Andika memaparkan data itu berdasarkan data obyektif merujuk pada data konsesi Kementerian Kehutanan tahun 2010. “Saya hari Senin akan ke Kemenhut untuk meminta update data konsesi terbaru jika diizinkan,” kata Andika.

Data titik api NASA itu, kata Andika, tak menunjukkan intensitas dan penyebab kebakaran. Karena itu, perlu dicek ke lapangan lebih detailnya. Hanya saja, WRI tak berencana melakukan pengecekan ke lapangan dan diharapkan ada pihak lain yang bisa melakukannya.

Dalam publikasi yang dibuat para peneliti WRI berjudul “Mengintip Diantara Kabut”, WRI mengumpulkan informasi dari data satelit Titik Api Aktif NASA untuk menentukan lokasi kebakaran secara real time. Data NASA itu kemudian dicocokkan dengan peta konsesi untuk kelapa sawit, konsesi penebangan, dan konsesi HTI dari Kementrian Kehutanan.

Para peneliti WRI lalu menghitung jumlah titik api dari data NASA pada setiap konsesi di Indonesia dan kemudian mentabulasi hasilnya. Data tersebut kemudian divisualisasikan dalam peta interaktif dan ketika diklik titik-titik merah tanda lokasi kebakaran itu akan muncul nama perusahaannya yang memiliki lahan tersebut.

Walau WRI sudah bekerja dengan teknologi terkini, WRI menyatakan tidak dapat memastikan keakuratan informasi yang didapatkan karena perlu pengecekan lapangan. Untuk bisa melihat peta interaktif tersebut bisa membuka link ini.

Dalam daftar WRI, disebutkan daftar 17 perusahaan HTI yang memiliki titik api terbanyak. Untuk perusahaan kelapa sawit, ada 15 daftar perusahaan.

Kehutanan amburadul

Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) Riau, Riko Kurniawan, membenarkan kesimpulan jika perusahaan yang menjadi penyebab kabut asap tersebut didominasi HTI. Walhi juga memiliki data penyebab kabut asap didominasi perusahaan besar.

Bahkan diantara mereka memiliki kantor pusat di Singapura atau setidaknya mendaftarkan sahamnya di bursa Singapura. “95 persen yang membakar lahan adalah perusahaan pemilik konsesi,” kata Riko.

Fakta ini membuktikan tata kelola kehutanan Indonesia yang amburadul. Misalnya, lahan gambut harusnya tak bisa dibuka lahannya, tapi tetap saja diberikan izin untuk dibuka. “Perusahaan banyak yang tak memonitor lahannya dan pemerintah tak pernah tegas dalam menegakkan hukum,” kata Rico.

Dalam Undang-Undang, jelas tak boleh membakar lahan baik di Undang-Undang Lingkungan Hidup, Perkebunan, maupun Kehutanan. “Pemilik konsesi wajib menjaga wilayah konsesinya. Kasus ini selalu berulang tiap tahunnya. Harusnya tiap masuk kemarau mereka lebih ketat mengawasi, jangan sampai api menjadi banyak baru menyadarinya,” jelas Riko.

“Ini bencana buatan manusia, seharusnya bisa dicegah bisa pemerintah tegas,” lanjut Riko. (Sumber: amirsodikin.com)

Leave a Reply