Persidangan: Maaf, Surat Dakwaan Habis…

Share Article

Selasa (15/1) lalu adalah sidang pertama yang mendakwa Pembantu Rektor III Universitas Negeri Jakarta. Keesokan harinya, berbagai media massa menuliskan nama terdakwa tersebut dengan cara yang berbeda-beda. Ada yang menulis Fahrudin, Fahruddin, Fachrudin, Fachruddin, Fakhrudin, hingga Fakhruddin.

Kasus ini terjadi bukan semata kesalahan wartawan. Ketika usai sidang, jaksa penuntut umum dari Kejaksaan Negeri Jakarta Timur tak bersedia memberikan fotokopi surat dakwaan, bahkan enggan ditemui untuk sekadar ditanya soal nama terdakwa. Para wartawan menghampiri penasihat hukum terdakwa, tetapi hasilnya sama, mereka langsung pergi sambil bilang, ”Kami saja juga cuma dapat kopian dari jaksa.”

Ternyata, nama terdakwa baru terang ejaannya ketika sidang kasus yang sama tetapi dengan terdakwa lain, yaitu sidang dakwaan untuk terdakwa Tri Mulyono. Seperti sidang terdahulu, jaksa dari Kejaksaan Negeri Jakarta Timur juga enggan memberikan fotokopi surat dakwaan. Wartawan lalu menghampiri penasihat hukum terdakwa dan ternyata kali ini penasihat hukumnya berbaik hati dan memberikan fotokopi surat dakwaan.

Maka, baru diketahui kemudian jika kejaksaan menulis nama terdakwa PR III UNJ tersebut sebagai Fakhruddin Arbah. Kasus pelitnya jaksa dalam memberikan informasi dasar soal dakwaan ini bukan hanya kali ini. Wartawan mencatat, setiap kasus perkara korupsi yang ditangani kejaksaan selalu berujung pada sulitnya mengakses detail dakwaan secara valid.

Perilaku itu ternyata berbeda dengan jaksa dari Komisi Pemberantasan Korupsi yang justru memanfaatkan media massa untuk menyosialisasikan surat dakwaan dengan benar. Jika ada jaksa KPK yang pelit di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, setidaknya wartawan bisa ”menodong” juru bicara KPK di kantor KPK. Namun, ketika berurusan dengan kejaksaan, persoalan menjadi tidak sesederhana itu.

Pengadilan Tipikor Jakarta selama ini menjadi barometer ”prestisius” di Indonesia untuk memperkarakan kasus-kasus korupsi besar di negeri ini.

Transparansi melalui pemberitaan berbagai media adalah salah satu penyebab terjaganya Pengadilan Tipikor Jakarta dari keputusan pengadilan ”di bawah tangan”. Kalaupun akhir-akhir ini publik menyoroti putusan Angelina Sondakh, wartawan di Pengadilan Tipikor lebih melihatnya pada lemahnya penyusunan dakwaan dan pembuktian yang dilakukan jaksa penuntut umum pada KPK, bukan karena integritas para hakimnya.

Namun, di balik logika transparansi media yang seharusnya tak ada masalah di Pengadilan Tipikor Jakarta, tetap saja berbagai praktik tak sehat yang kontraproduktif dalam upaya mengawal kasus-kasus korupsi menyeruak. Contoh sepele tetapi cukup signifikan adalah sulitnya mengakses surat dakwaan terutama pada kasus-kasus yang ditangani kejaksaan.

Namun, entah mengapa, dalam banyak kasus, jaksa dari kejaksaan lebih menarik diri dari media massa. ”Nanti saja kalau kita sudah akrab, bisa komunikasi lebih lanjut,” begitu ketika seorang jaksa dari kejaksaan negeri ditanya.

Para penasihat hukum terdakwa juga tak semuanya ramah kepada wartawan. Namun, ada juga pengacara kasus lain yang justru memanfaatkan media untuk menjelaskan posisi kliennya. Pengacara Angelina Sondakh, misalnya, tetap melayani tanya jawab dengan wartawan. Siti Hartati Murdaya dengan segala kelebihan dan kekurangannya bahkan selalu rajin meluangkan waktu untuk media massa demi menjelaskan setiap tahapan persidangan dengan cara yang lebih mudah dipahami semua pihak.

Di era transparansi dan demi mengawal setiap perkara korupsi, tak sepantasnya lagi kejaksaan negeri menyingkir dari pemberitaan. Apalagi, hanya dengan alasan ”fotokopi dakwaan habis”. (Amir Sodikin)

Leave a Reply