Penyelenggara Curang Harus Dipidanakan

Share Article

Hari ini rekapitulasi sudah memasuki hari kedua tingkat Kabupaten/Kota dan besok sudah masuk rekapitulasi provinsi. Para pihak menyerukan agar penyelenggara tak hanya mengoreksi kesalahan tapi juga harus menindak para pelaku kecurangan yang mengakibatkan pembelokan suara.

Demikian diserukan secara terpisah oleh Ketua Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Didik Supriyanto, Election Specialist dan Penasehat Pemantauan Kemitraan Wahidah Suaib, dan Koordinator Nasional Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR) M Afifudin, di Jakarta, Rabu (16/7).

Didik mengingatkan agar para pihak yang masih memiliki ganjalan pada rekap PPK segera menyelesaikannya di tingkat kabupaten/kota. Apalagi jika ganjalan persoalan tersebut sampai ingin mengajukan usulan pemungutan suara ulang atau penghitungan ulang.

Rekap di PPS dan PPK sebenarnya menjadi titik terakhir jika ingin mengajukan pemungutan suara ulang, kecuali jika ada rekomendasi khusus dari Bawaslu/Panwaslu. “Kalau untuk usulan pemungutan suara ulang sebenarnya sudah lewat, yang bisa dilakukan paling penghitungan suara ulang dan rekapitulasi ulang di tingkat bawahnya jika ada persoalan serius,” kata Didik.

Kini, kata Didik, yang harus diingatkan kepada penyelenggara pemilu adalah setelah semua kesalahan dikoreksi, jangan lupa untuk menyeret orang-orang yang diduga terlibat dalam kecurangan. “Yang bisa dilakukan adalah memidanakan para pelaku,” kata Didik.

Election Specialist dan Penasehat Pemantauan Kemitraan, Wahidah Suaib, mengingatkan tentang daluwarsa sebuah kasus yang ditetapkan hanya tiga hari. Karena itu, semua pihak, terutama tim pasangan calon, pemantau, dan masyarakat umum, jika melihat kecurangan, agar segera melaporkan ke Panwaslu/Bawaslu.

Wahidah berharap, Panwaslu/Bawaslu juga responsif terhadap laporan yang masuk. Ia berharap, proses hukum bisa sampai mengungkapkan konspirasi di balik kecurangan tersebut. “Harus sampai membuka siapa dalangnya. Mungkin terkait pejabat setempat atau penguasa setempat dengan kekuatan kades karena rekrutmen KPPS dari desa,” kata Wahidah.

Penegakan pidana pemilu harus dibarengi koreksi hasil perhitungan. Misal jika divonis karena merusak sertifikat hasil perhitungan maka hasilnya juga harus diperbaiki. Begitu sebaliknya, jika ada yang dikoreksi tapi dugaan pidananya tak diproses, maka kasus ini akan terus terulang di tiap pemilu.

Komisioner KPU, Ida Budhiati, menjanjikan penindakan yang berlaku sama untuk semua penyelenggara pemilu yang terbukti melakukan pelanggaran administrasi, etika, dan/atau pidana. “Tak ada toleransi bagi mereka yang ingin berbuat curang,” kata Ida.

Perbuatan nah pidana pemilu ditujukan kepada para penyelenggara dan juga setiap orang. Pidana tetap berlaku bagi yang lalai apalagi dengan sengaja mengakibatkan hilang atau berubahnya berita acara hasil rekapitulasi penghitungan perolehan suara dan/atau sertifikat penghitungan suara. Ancaman pidananya minimal enam bulan, maksimal 24 bulan, dan denda minimal Rp 6 juta dan maksimal Rp 24 juta.

Ancaman pidana paling berat adalah bagi setiap orang dengan sengaja mengubah berita acara hasil penghitungan suara dan/atau sertifikat hasil penghitungan suara, maka ancaman pidananya adalah penjara paling singkat 12 bulan dan paling lama 60 bulan dan denda paling sedikit Rp 500 juta dan paling banyak Rp 1 miliar.

Hingga kemarin malam, pengunggahan formulir rekapitulasi tingkat TPS atau C1 sudah mencapai 98,61 persen, dan rekap tingkat kecamatan atau DA1 juga terus merangkak naik hingga 57,36 persen, dan rekap tingkat kabupaten/kota atau DB1 sudah 43,26 persen. Berbagai aplikasi yang mencoba menghitung perolehan suara real count tidak resmi KPU berdasarkan C1 dan DA1 terus bertebaran.

Di kawalpemilu.org, situs bukan resmi KPU yang merekap berdasar entry C1, untuk sementara posisi Jokowi-Kalla unggul dengan 52,82 persen dan Prabowo-Hatta dengan 47,17 persen, dari total suara yang masuk mencapai 95,69 persen. Dari semua aplikasi di internet, kawalpemilu.org dianggap paling cepat proses rekapitulasinya.

Adapula yang membuat aplikasi berdasarkan data tingkat kecamatan atau DA1 yang terverifikasi dengan alamat url di goo.gl/3w8Lcy. Dari 2.563 DA1 yang masuk dari total 6.995 DA1, atau dengan total suara 46.335.580, Jokowi-Kalla unggul sementara dengan 50,73 persen, dan Prabowo-Kalla dengan 49,27 persen.

Kedua aplikasi di atas sama-sama bukan hasil resmi KPU yang mendasarkan pada data resmi bersifat sementara dari KPU yang diunggah di http://pilpres2014.kpu.go.id.

Masih tertutup
Imbauan agar rekapitulasi di setiap jenjang digelar di tempat terbuka dan bisa diakses oleh para pihak, ternyata tak semuanya sesuai harapan. JPPR melaporkan, banyak relawannya yang ditolak oleh KPU kabupaten/kota dengan alasan yang tidak jelas. Padahal, JPPR adalah pemantau terakreditasi.

“Beberapa kabupaten/kota awalnya tak membolehkan relawan kami menghadiri acara rekapitulasi, tapi setelah kami protes akhirnya diperbolehkan, seperti di Bogor dan Surabaya,” kata M Afifudin, Koordinator Nasional JPPR.

Di Kabupaten Jember, Jawa Timur, relawan JPPR sama sekali tidak diperbolehkan masuk dalam rekapitulasi tingkat kabupaten. Afifudin tak habis mengerti mengapa hal itu bisa terjadi, padahal UU dan peraturan KPU sudah menginstruksikan agar rekapitulasi dilakukan secara terbuka.

Rekapitulasi yang tertutup justru akan menimbulkan kecurigaan dari masyarakat. “Apapun hasil rekap, selisih sedikit atau banyak, kalau dilakukan dengan transparan tidak akan menimbulkan pertanyaan publik. Dengan demikian kepercayaan publik akan hasil pemilu juga tinggi,” kata Afif.

Ajukan keberatan
Wahidah Suaib mengingatkan kepada saksi kedua pasangan calon dan juga panitia pengawas, agar mengisi formulir keberatan jika ada sesuatu keberatan yang tak ditanggapi. “Harus dipastikan mengisi form keberatan. Karena itulah dokumen yang bisa digunakan di tingkat atasnya bahwa pernah ada yang keberatan tapi tak diakomodasi,” kata Wahidah.

Banyak kasus di lapangan, saksi atau panwas marah-marah tak terima keberatannya dibantah, kemudia walk-out, dan lupa lupa menulis keberatan di formulir yang disediakan. “Jangankan saksi, panwaspun sering WO karena marah dan lupa tak mengisi form keberatan,” kata Wahidah.

Wahidah mengingatkan, hanya saksi yang kredibel dan memiliki pengetahuan bagus yang mampu mengajukan keberatan yang logis dan bisa berargumentasi dengan penyelenggara. Saksi yang abal-abal dipastikan tak akan bisa berbuat banyak menghadapi berbagai trik kecurangan di tingkat kabupaten/kota, apalagi provinsi.

Karena itu, Wahidah mewanti-wanti, agar tim pasangan calon kedua kubu benar-benar memperhatikan mutu saksi. Dari penelitian Kemitraan, Wahidah terkejut ternyata tim paslon telah abai dalam menyediakan saksi yang bermutu. Ternyata tak ada konsolidasi para partai pendukung untuk menyiapkan saksi.

“Dari 952 PPS yang data hasil pemantauannya telah masuk, terdapat 40 PPS yang rekapitulasinya tidak dihadiri oleh saksi Prabowo-Hatta dan terdapat 53 PPS yang tidak dihadiri oleh saksi dari Pasangan Calon Jokowi-JK,” kata Wahidah. Kondisi ini patut disayangkan mengingat KPU gencar mengingatkan pentingnya saksi.

Paslon telah kehilangan kesempatan menyelamatkan suara di tingkat PPS dan PPK dari kemungkinan manipulasi. Diharapkan, kasus yang sama tak lagi terjadi di tingkat kabupaten/kota hingga provinsi nanti.

Wahidah mengingatkan agar KPU kabupaten/kota akomodatif terhadap keberatan yang sesuai aturan yang disampaikan saksi. “KPU Kabupaten/Kota harus memberi kesempatan yang adil kepada para saksi untuk menyampaikan keberatannya terhadap proses dan hasil serta segera melakukan perbaikan apabila keberatan saksi sesuai aturan,” kata Wahidah.

KPU Kabupaten/Kota juga harus memberi kesempatan kepada panwaslu untuk menyampaikan keberatannya dan segera melakukan pembetulan berdasarkan rekomendasi Panwas apabila rekomendasi tersebut sesuai aturan. (AMR)

Leave a Reply