PENGADILAN TIPIKOR: Kasus Mafia Anggaran, Kok, Dicicil

Share Article

“Ini seperti menggiring bola panas kepada majelis hakim. Anggapannya setelah masuk pengadilan, biarlah majelis hakim yang membuktikannya,” begitu komentar seorang hakim dalam sebuah sidang di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Jakarta Pusat. Saat itu, terdakwanya anggota Badan Anggaran (Banggar) Dewan Perwakilan Rakyat, Wa Ode Nurhayati. Wa Ode, yang kini sudah divonis bersalah, waktu itu disidang terkait perkara korupsi pengurusan Dana Penyesuaian Infrastruktur Daerah. Komentar itu dilontarkan dengan dilatarbelakangi persoalan pengungkapan mafia anggaran yang begitu rumit. Bukti-bukti yang belum matang sering kali membuat majelis hakim ekstra keras menggali fakta-fakta di persidangan. Kadang usaha itu berhasil, tetapi lebih banyak gagal karena dibantah oleh saksi-saksi. Para anggota mafia anggaran telah berkoordinasi secara rapi sebelum kasusnya masuk pengadilan sehingga menyulitkan majelis hakim untuk membuktikan. Mafia anggara, apalagi yang melibatkan anggota DPR, merupakan problem terberat pada tahun 2012. Saat bersamaan, sedikitnya jumlah penyidik di Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) membuat para pelaku kejahatan korupsi tak bisa langsung disidangkan. Seolah sudah bukan rahasia lagi, pada kasus-kasus yang ditangani KPK, sering pelaku kejahatan yang sama terpaksa tidak disidangkan dalam waktu bersamaan atau berdekatan. Pelaku-pelaku korupsi tersebut disidang dengan cara dicicil atau menyusul di kemudian hari. Tiga kemungkinan Ahli pidana korupsi Universitas Indonesia, Akhiar Salmi, mengatakan, ada tiga kemungkinan mengapa sidang pelaku korupsi tersebut dicicil. Pertama, karena terbatasnya sumber daya manusia di KPK. Kedua, belum ada bukti kuat. “Yang ketiga, bisa juga karena banyaknya kasus yang sedang ditangani KPK saat ini,” kata Akhiar. Dalam konteks penanganan sidang para pelaku, harus diakui cara kerja kejaksaan lebih terstruktur dan bisa bekerja serempak. Contoh kasus yang ditangani kejaksaan adalah kasus perkara korupsi perpajakan dengan pelaku utama pegawai pajak Dhana Widyatmika. Kini, Dhana sudah divonis bersalah dan dipidana penjara tujuh tahun. Saat menyidangkan Dhana, semua rantai yang terkait kasus Dhana dalam waktu bersamaan atau berdekatan bisa disidangkan. Sebut saja Herli Isdiharsono, rekan Dhana, juga pemberi suap, seperti Direktur PT Mutiara Virgo Jhonny Basuki. Semua bisa disidangkan dalam rentang waktu berdekatan sehingga bisa saling berbagi barang bukti dan saksi. Di KPK, hanya untuk menyidangkan kasus Wa Ode, hingga kini masih menyisakan satu pelaku perantara suap, yaitu Haris Andi Surahman. Kasus mafia anggaran yang strategis itu, hanya menyeret dua nama, yaitu Wa Ode sebagai penerima suap dan pemberi suap, Fahd el Fouz. Padahal, sejak kasus tersebut disidangkan, hakim anggota Pangeran Napitupulu berkali-kali memerintahkan KPK untuk menyeret Haris ke persidangan. Hingga memasuki 2013, Haris adalah pekerjaan rumah KPK yang belum terselesaikan, di samping pihak-pihak lain kolega Wa Ode di Banggar DPR. Pastinya Wa Ode tak bisa bekerja sendirian di Banggar DPR. “Tapi, akan sulit bagi KPK untuk mencari nama baru di DPR. Mafia anggaran itu kerja profesional, sulit dilacak,” ujar Akhiar. Apalagi, jarak persidangan pelaku satu dengan pelaku lain terlalu lama. Rentang waktu yang lama bisa digunakan para pelaku untuk berkoordinasi dan melakukan konsolidasi untuk mengelabui persidangan. Kasus boleh dicicil, tetapi kata Akhiar, “Jelas tak boleh rentang waktunya terlalu lama, ini bisa berbahaya.” Bahaya mencicil kasus ini dialami dalam kasus suap Wa Ode. Majelis hakim, dalam pandangan banyak kalangan, hampir kehilangan keyakinannya terhadap kesalahan Wa Ode karena bukti-bukti yang diajukan di persidangan tak membuat kasus tersebut terang benderang. Keyakinan hakim diduga baru terpupuk ketika menjelang vonis Wa Ode, Fahd el Fouz diajukan ke persidangan untuk pertama kalinya. Dalam sidang tersebut, di luar dugaan, Fahd mengakui kesalahannya dan tak mengajukan keberatan. Sebelum memvonis Wa Ode, karena sidang vonis ditunda akibat kurang siapnya hakim, hakim sempat menyaksikan sidang kedua Fahd dan mendapatkan fakta berharga yang tak ditemukan pada sidang Wa Ode sebelumnya. Banyak pihak menduga penundaan vonis Wa Ode waktu itu merupakan buah dari keraguan hakim, selain memang fakta bahwa banyaknya sidang di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi begitu padat dan membuat para hakim harus kerja ekstra. Keraguan hakim tersebut bisa terjadi karena bukti kurang menguatkan yang didukung kebiasaan mencicil persidangan oleh KPK. Seorang hakim anggota di luar sidang, seusai pembacaan vonis Wa Ode, saat berbincang dengan para wartawan, sempat ngomel dengan strategi KPK. “Jangan jadi kebiasaan kalau mengusut seseorang menunggu nama seseorang itu disebut di persidangan. Itu cara yang keliru. Seharusnya KPK sejak awal mendalami kasus dan mencari bukti untuk menyeret nama-nama yang terlibat, jangan menunggu hakim. Itu salah. Kasus, kok, dicicil,” katanya. Tahun 2013 ini adalah tahun konsolidasi politik. Sayangnya, bisa dipastikan pula konsolidasi tersebut terkait dengan pembiayaan kebutuhan partai politik untuk persiapan pemilihan umum presiden. Kerja mafia anggaran akan semakin terstruktur, rapi, dan canggih. “Di saat yang sama, kendala jumlah penyidik di KPK akan menjadi kendala terbesar,” tutur Akhiar. Laporan PPATK Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) kepada KPK sudah melaporkan 18 anggota Banggar DPR yang memiliki rekening gendut dan terindikasi korupsi. Dari 18 orang itu ada yang akumulasi nilai transaksinya mencapai ratusan miliar rupiah. Diharapkan laporan PPATK itu bisa menjadi modal baru KPK untuk mulai memproses kembali para pelaku mafia anggaran. Hingga Agustus 2012, pola pelaku korupsi sudah terpetakan. KPK menangkap tersangka korupsi dari unsur profesi anggota DPR sebanyak 16 orang, disusul dari unsur pengusaha/swasta sebanyak 15 orang, kemudian dari unsur eselon I/II/III sebanyak 7 orang. Dua unsur teratas, yakni dari anggota DPR dan unsur pengusaha/swasta, seolah berebut posisi juara korupsi. Dari perkara itu harus diakui, yang paling menarik perhatian masyarakat adalah fenomena mafia anggaran yang menggabungkan cara kerja perencanaan anggaran di DPR dengan order dari pengusaha busuk. “DPR kini menjadi episentrum korupsi di negeri ini,” kata Abdullah Dahlan, peneliti Indonesia Corruption Watch. Karena itu, mau tidak mau, KPK harus bekerja terkoordinasi dan meninggalkan kebiasaan mencicil kasus demi menjaga utuhnya sebuah perkara korupsi. Jangan beri waktu mafia anggaran untuk membuat benteng pertahanan. (Amir Sodikin) Arsip tulisan ini dimuat di Kompas 2 Januari 2013tags: korupsi, kasus korupsi, tipikor Visit: http://www.amirsodikin.com

Leave a Reply