Peneliti: Biden Lebih Disukai Dibanding Trump untuk Pertumbuhan Ekonomi Indonesia

Share Article
Joe Biden (Wikimedia Commons/Michael Stokes)

Yessar Rosendar, The Conversation

ENDONESIA.com – Indonesia lebih memilih Joe Biden, yang baru saja memenangkan pemilihan presiden Amerika Serikat, daripada petahana Donald Trump, menurut para ahli.

“Jika Biden terpilih, maka ketegangan dalam perang dagang antara Amerika dan Cina akan berkurang, permintaan barang Indonesia akan meningkat dan juga modal atau investasi yang mengalir ke dalam negeri,” kata Bhima Yudhistira Adhinegara, peneliti di Institute for Development of Economics and Finance (INDEF).

Memiliki presiden yang menciptakan kebijakan perdagangan yang menguntungkan bagi Indonesia itu penting, menurut Bhima, karena kontribusi Amerika Serikat terhadap perekonomian Indonesia cukup signifikan.

Pada September, AS menjadi penyumbang ekspor barang dan jasa terbesar kedua dari Indonesia yang dijual ke luar negeri dengan total US$ 1,69 miliar.

Jumlah tersebut setara dengan 12,68% dari total ekspor Indonesia atau sekitar US$ 14 miliar pada September tahun ini. AS berada di urutan kedua setelah Cina, yang menyumbang hampir 20% ekspor Indonesia senilai US$ 2,63 miliar.

Konferensi pers Joe Biden. photonews/flickr, CC BY

Biden menghasilkan lebih banyak sentimen positif dibandingkan Trump

Bhima berpendapat Biden adalah calon yang lebih baik. Dia mengatakan politikus Partai Demokrat itu memiliki pengalaman dalam membangun hubungan yang lebih produktif antarnegara, seperti selama menjadi wakil presiden mendampingi Barack Obama.

Fithra Faisal Hastiadi, peneliti dan dosen ekonomi Universitas Indonesia, juga memproyeksikan Biden lebih memilih kemitraan multilateral atau beberapa negara dibandingkan Trump yang lebih mengutamakan perjanjian bilateral.

Obama dan Biden merupakan penggagas kerangka kerja sama Trans-Pacific Partnership (TPP) tahun 2008 yang merupakan perjanjian perdagangan yang memuat 12 negara. Namun, Trump menarik diri dari TPP pada 2018 dan lebih fokus pada diskusi bilateral.

Baik Biden dan Trump, bagaimana pun, memiliki perspektif yang sama tentang pengaruh Cina di Asia. Jika Obama dan Biden menggunakan TPP sebagai cara untuk mengurangi dominasi Cina di Asia sekaligus upaya penetrasi pasar, Trump jauh lebih agresif dalam mengambil pendekatan yang lebih langsung dengan menggunakan perang dagang.

“Dengan Biden, meski Indonesia tampaknya akan memulai dari awal, potensi untuk memperkuat komitmen antara Amerika dan Indonesia juga tampak terbuka lebar,” kata Fithra.

Di sisi lain, Bhima juga melihat kebijakan stimulus ekonomi di pesta demokrasi akan mendorong pemulihan daya beli kelas menengah di AS dengan agenda Biden menaikkan upah minimum federal hingga US$ 15 per jam.

“Dampaknya permintaan barang dari Indonesia akan semakin besar jika daya beli di AS meningkat,” tambah Bhima.

Bhima juga menekankan tentang pengaruhnya terhadap pasar keuangan Indonesia, Biden akan memberikan angin segar bagi aliran modal asing jika terpilih. Investor AS yang selama ini bermain aman dengan membeli emas, dolar dan yen Jepang akan mulai terjun ke pasar negara berkembang seperti Indonesia.

Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) atau bursa saham Indonesia naik 4,72% bulan lalu mencapai level 5.159.

Salah satu yang dicari investor adalah obligasi pemerintah Indonesia karena menawarkan suku bunga tinggi kepada investor. Investasi dari AS juga akan bertambah besar jika hubungan perdagangan membaik, menurut Bhima.

Donald Trump sedang berkampanye di Arizona. gageskidmore/flickr, CC BY

Trump memiliki banyak kontroversi yang berakibat buruk bagi Indonesia

Menurut Fithra, dengan terpilihnya Trump, kerja sama Indonesia dan Amerika Serikat akan tetap tumbuh.

Salah satu sentimen positif baru-baru ini yang datang dari pemerintahan Trump adalah perpanjangan fasilitas general system of preferences (GSP). GSP merupakan program bebas bea masuk untuk beberapa produk impor asal Indonesia.

Perpanjangan program tersebut merupakan tanda kemitraan strategis antara Indonesia dan AS, karena sebelumnya telah menghentikan program GSP untuk negara lain seperti India dan Thailand.

Kunjungan Menteri Luar Negeri AS Mike Pompeo untuk memperpanjang program GSP juga menjajaki kemungkinan pembukaan perjanjian perdagangan terbatas lainnya; Indonesia dapat memetik hasil yang lebih signifikan pada masa depan.

Namun, ada juga kontroversi Trump yang akan terus menimbulkan sentimen negatif bagi Indonesia.

Menurut Bhima, kebijakan proteksionisme atau pengetatan perdagangan Trump dari negara lain telah merugikan kepentingan ekonomi Indonesia. Hal tersebut terlihat dari lesunya kinerja ekspor Indonesia bahkan sebelum pandemi akibat rendahnya permintaan bahan baku ke Cina dan ekspor langsung ke AS.

Sejak 2018 Trump telah melakukan perang dagang dengan Cina, importir terbesar Indonesia, dengan menaikkan pajak atas barang impor yang berasal dari Cina.

Ekspor Indonesia sepanjang 2019 hanya mencapai US$ 167,53 miliar, angka ini turun tajam sebesar 6,94% dibandingkan pencapaian tahun sebelumnya sebesar US$ 180 miliar.

Bhima juga memprediksi jika Trump menang maka stimulusnya akan lebih fokus pada pengurangan pajak bagi orang-orang kaya. Makanya, permintaan barang dari AS mungkin tidak setinggi jika Biden menang.

Tren positif ke depan

Fithra memproyeksikan setelah pandemi COVID-19 berakhir, Amerika Serikat akan berupaya mengurangi ketergantungannya pada produksi dari Cina dan mencari tempat alternatif. Tren ini setidaknya terlihat dalam beberapa bulan terakhir ketika ekspor Indonesia ke Amerika Serikat meningkat.

Beberapa produk seperti bahan baku pembuatan obat yang sebelumnya diimpor dari Cina dialihkan ke Indonesia. Fenomena ini merupakan tahap pertama relokasi Amerika Serikat ke pasar alternatif. Tahap kedua adalah pengalihan industri strategisnya dari Cina ke ASEAN. Indonesia harus bisa memanfaatkan peluang tersebut, menurut Fithra.

“Berbekal keterampilan negosiasi yang meningkat, ke depan Indonesia akan semakin mendapatkan hasil yang positif,” kata Fithra.

Yessar Rosendar, Business + Economy (Indonesian edition), The Conversation

Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber.

Leave a Reply