Pemilu Elektronik: BPPT Sudah Siapkan E-Voting

Share Article

Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi telah menyiapkan pemilu elektronik atau e-voting di Indonesia. Secara teknologi, BPPT telah siap jika Pemilu nasional atau pun Pemilu Kepala Daerah di masa datang menggunakan e-voting. Kini, tinggal menunggu Undang-Undang dan Peraturan Pemerintah yang secara eksplisit membolehkan e-voting.

Direktur Program Sistem Pemilu Elektronik BPPT, Andrari Grahitandaru, kemarin, mengatakan, sejak 2011 BPPT sudah menyiapkan e-voting. “Bahkan sejak 2010 ketika e-voting sudah diperbolehkan sesuai putusan Mahkamah Konstitusi, kami sudah menyiapakannya,” katanya.

Hanya saja, tak serta merta putusan MK bisa dipakai untuk e-voting karena perlu aturan yang jelas. Kini e-voting baru bisa dilaksanakan di tingkat Pemilihan Kepala Desa (Pilkades). “Kalau untuk Pilkada aturannya belum memungkinkan, RUU Pilkada yang baru ini sudah mengadopsi e-voting, kita tunggu saja menjadi UU dan sampai keluar PP-nya,” kata Andrari.
.
Dalam RUU Pilkada, e-voting memang sudah dimasukan. Namun, BPPT memahami, tak serta-merta e-voting bisa langsung digunakan setelah RUU tersebut menjadi UU. Perlu dibuat Peraturan Pemerintahnya terlebih dulu.

“Syarat lain, sesuai Putusan MK, e-voting digunakan ketika lima kompenin sudah siap,” kata Andrari. Lima komponen tersebut meliputi kesiapan penyelenggara, teknologi, legalitas, masyarakat, dan pembiayaan.

Walau terganjal peraturan, BPPT tetap bisa bereksperimen menggelar e-voting di tingkat lebih rendah. “Kami pernah melakukan ujicoba e-voting di 42 TPS dalam Pilkada Bantaeng, Sulawesi Selatan (dari total 360 TPS yang ada) pada 2013 lalu, respon masyarakat sangat tinggi dan percaya,” kata Andrari.

E-voting untuk Pilkades pernah diujicoba dalam Pilkades di Boyolali, Pemilihan Kepala Dusun di Jembrana, Bali, dan Pilkades di beberapa desa di Kabupaten Musi Rawas, Sumatera Selatan. November nanti, kata Andrari, Musi Rawas akan menggelar e-voting untuk Pilkades di 14 desa.

Kelebihan e-voting ini kata Andrari, tidak memerlukan kertas suara, langsung menggunakan sistem yang disiapkan. Ketika seseorang masuk ke TPS dan menunjukan KTP elektronik atau surat undangan, maka pemilih diberi kartu token yang digunakan di bilik suara untuk mengaktifkan satu surat suara elektronik.

Kelebihan e-voting yang diusulkan BPPT tidak seperti di India atau negara lainnya. Di India, tidak ada bukti struknya. Pemilih tak bisa memverivikasi pilihannya.

“Sistem e-voting kami menyediakan struk, setelah memilih, dia bisa memperoleh struk untuk memverifikasi pilihanya. Struk ini kemudian dimasukan ke kotak audit yang bisa dijadikan sebagai alat bukti sengketa,” kata Andrari.

Andrari mengakui, tak mudah menerapkan e-voting di negara besar seperti Indonesia, apalagi untuk Pemilu nasional. “Dalam hal ini, yang paling belum bisa menerima justru politisinya, karena pada saat TPS ditutup, hasilnya langsung keluar, tak ada kemungkinan mengondisikan hasil,” kata Andrari.

Jika ada desa/kelurahan yang ingin menerapkan e-voting, BPPT siap memberikan layanan asistensi atau konsultasi. Andrari mengatakan, untuk skala Pilkades di satu kabupaten/kota, e-voting akan mengirit banyak komponen biaya karena tak lagi mendistribusikan berbagai logistik konvensional.

“Namun demikian, jika ingin menggunakan e-voting, daerah yang bersangkutan harus sudah memiliki Peraturan Daerah yang membolehkan e-voting,” kata Andrari.
Andrari menjamin, e-voting yang didesain BPPT bisa diandalkan, aman, dan pastinya mampu mengurangi spekulasi setelah pemungutan suara.

Selama ini, banyak kecurangan akibat pemilu yang dilaksanakan secara manual. Kecurangan pun biasanya dilakukan secara manual, misalnya dengan cara menyediakan surat suara yang terlebih dulu dicoblosi.

Belum lagi ketika ada pihak yang tak puas saat penghitungan suara, selalu dilakukan proses hitung ulang yang memakan waktu berlarut-larut. “Dengan e-voting, tak lagi ada spekulasi, dan tak ada lagi keribetan dalam penghitungan suara,” kata Andrari.

Ketua Komisi Pemilihan Umum, Husni Kamil Manik, mengatakan, KPU sebenarnya juga menunggu aturan soal e-voting. Selama ini, KPU tak bisa menerapkan hal-hal yang berbau teknologi informasi pada saat pemilu dan saat penghitungan karena di aturan yang ada belum memberi peluang untuk penggunaan e-voting.

“Kita menunggu juga aturannya ini, butuh waktu untuk mempersiapkan baik peralatan maupun masyarakatnya,” kata Husni. Menurut Husni, salah satu beban berat adalah, ketika kita menggunakan e-voting, maka semua pemangku kepentingan itu harus menyepakati bahwa e-voting bisa digunakan dan dipercaya.

“Jangan sampai nanti setelah selesai pemungutan suara, lantas ada yang bilang ‘oh, ini tidak bisa dipercaya, ini kan bisa disetting sedemikian rupa untuk pemenangan kelompok tertentu’,” kata Husni. (AMR)

Leave a Reply