Transaksi pembiayaan politik untuk kandidat calon legislatif maupun
untuk partai politik, harus transparan dan bisa dipantau publik agar
korupsi bisa dikontrol sejak dini. Jika tak ada transparansi, harus
ada gerakan bersama di tingkat publik untuk menghukum calon legislatif
dan partai politik yang terlibat.
Hal tersebut disampaikan peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW)
Abdullah Dahlan dan pengamat ekonomi Yanuar Rizky di Jakarta, Senin
(4/3). Abdullah lebih menekankan pada pelembagaan transparansi di
partai, sedangkan Yanuar menekankan sistem keterbukaan keuangan
politik di negara domokrasi.
Abdullah mengatakan, idealnya untuk mengontrol keuangan parpol, tiap
partai harus sudah memformalkan kelembagaan soal pelembagaan
transparansi. Namun kenyataan, transparansi hanya jargon belaka dan
tak pernah diinternalisasi dalam lingkup internal partai, apalagi
kepada publik.
"Sistem keuangan parpol sifatnya masih individual, belum terlembaga
apalagi tersistematis. Relasi antara donor juga masih banyak yang
personal, misal orang kenal Ketua Parpol tersebut, maka dia akan
menyumbang ke ketuanya," kata Abdullah. Karena itu, sebelum
transparansi itu dipublikasikan, jangan percaya ucapan elit partai
yang mengatakan parpolnya telah transparan.
"Keuangan parpol hanya dikuasi elit penguasa partai, misal ketua
partai, bendahara partai, atau para pihak yang ditugaskan mencari
pendanaan partai," kata Abdullah. Bahkan pejabat teras di parpol
banyak yang tak tahu sumber pendanaan partainya, apalagi masyarakat
umum yang akan memilih partai tersebut. Hal itu cenderung tidak
menyehatkan parpol itu sendiri.
Tragisnya, sistem peraturan di negeri kita juga tak mendorong
transparansi itu. Di negara maju, komisi pemilihannya bisa
mengeluarkan indeks transparansi parpol yang ikut pemilu sehingga
publik tahu mana parpol transparan dan mana parpol yang tidak.
Dalam Undang-Undang Parpol, kata Abdullah, juga tak ada sanksi tegas
bagi parpol yang menerima dana haram. Tak ada yang memaksa parpol agar
transparan. Penyumbang dana dari anggota Parpol juga tidak diatur
jelas sehingga ini menjadi celah penyiasatan orang yang menyumbang
lebih suka melalui jalur individu atau anggota partai.
Dampak transaksi pembiayaan politik yang tak transparan tersebut,
menurut Yanuar Rizki, membuat partai sering "main belakang" dengan
pengusaha dan banyak kader partainya yang menjadi mesin pendanaan
partai terlibat korupsi.
Dampak dari laporan keuangan yang tak transparan telah menciptakan
relasi penguasa-pengusaha di Indonesia seolah haram, padahal hal
seperti itu biasa saja di negara demokrasi, bahkan di negara maju.
"Politisi kita banyak yang munafik, butuh uang banyak iya, tapi jumlah
dana dari donor dibatasi. Akhirnya sikut sana sikut sini dan tak
mengakui siapa yang mendanainya," kata Yanuar.
Di negara maju, seperti di Amerika Serikat, yang dibuka laporan
keuangannya tidak hanya penerimaan, tapi juga pengeluaran. "Di website
opensecrets.org, pengeluaran seorang kandidat berapa, dari mana saja,
untuk apa, terlihat di situ. Semakin terbuka, semakin meningkatkan
elektabilitas kandidat tersebut," kata Yanuar.
Opensecrets.org adalah sebuah data tandingan untuk publik yang
disediakan lembaga nonprofit Ceter for Responsive Politics (CRP) di
Amerika Serikat. Dengan keterbukaan yang dijamin UU, CRP bisa
menyediakan informasi kepada publik terkait donor pembiayaan politik,
lobi-lobi politik, pelacakan dana kampanye per individu atau partai,
bahkan soal lobi-lobi pengusaha dan penguasa.
"Di Amerika Serikat, itu bagian dari kewajiban untuk transparan. Di
Indonesia, tak ada kewajiban transparansi, akhirnya pada main belakang
semua," kata Yanuar. Padahal, publik berhak tahu, misalnya siapa saja
yang menyumbang partai-partai tersebut sehingga warga bisa menentukan
pilihannya dengan lebih baik.
Yanuar yang juga aktivis ICW ini juga berharap, Badan Pengawas Pemilu
bekerjasama dengan Pusat Pelaporan Analisis dan Transaksi Keuangan
(PPATK) bisa diberdayakan untuk mengawasi pendanaan politik.
"Menjelang orang butuh uang banyak, Bawaslu bisa berperan. Kalau mau,
ada peran supervisi pencegahan korupsi dari Komisi Pemberantasan
Korupsi sejak awal. Biar ada tracking keuangan pejabat sejak dia belum
menjadi pejabat," jelas Yanuar.
Untuk menjadi negara demokrasi yang besar, harus ada perubahan kultur
orang-orang Indonesia. Orang harus dipaksa untuk terbuka, dari mana
dia mendapatkan dana untuk mencalonkan diri sebagai caleg. Kalau dia
mencalonkan diri dengan dibiayai misalnya oleh Paijo, maka PPATK harus
bisa melacak transaksi tersebut," kata Yanuar. (AMR)