Perkembangan teknologi, termasuk dalam ranah media massa yang kini
memasuki era digital dan era multimedia, memang tak bisa dibendung
lagi. Cara meliput berita persidangan yang kini lazim disiarkan
langsung melalui media elektronik maupun televisi memang menarik namun
harus segera disikapi agar tak melanggar kaedah hukum.
Mantan Ketua Mahkamah Agung yang juga Ketua Dewan Pers, Prof Bagir
Manan, ketika ditemui usai memberikan materi pada Simposium Nasional
Masyarakat Hukum Pidana dan Kriminologi Indonesia (MAHUPIKI), di
Makassar, Senin (18/3), mengatakan hingga kini Indonesia memang belum
bisa membatasi penyiaran di era digital. Undang-Undang Pers sendiri
seolah tak memberi batasan tentang bagaimana meliput persidangan.
“Kita tak punya undang-undang contempt of court (penistaan/pelecehan
pengadilan) yang bisa membatasi penyiaran dalam proses pengadilan,”
kata Bagir. Karena itu, Bagir setuju jika nanti ada UU contempt of
court, persoalan peliputan media massa di pengadilan ini diatur.
Sebelumnya pernah diberitakan Kompas, Ketua Majelis Hakim Sujatmiko
ketika menyidangkan Angelina Sondakh, pernah memberi komentar soal
persidangan di era digital yang serba disiarkan langsung. Televisi
terbiasa menyiarkan langsung namun hanya sepenggal sehingga ada fakta
yang tak sampai ke penonton dan hal itu pernah dikomplain oleh
penasihat hukum terdakwa.
Media elektronik dalam beberapa menit setelah mendengar sebuah
komentar menarik dari seorang saksi, sudah memberitakannya di media
online lengkap dengan sanggahan dari pihak luar yang disinggung oleh
kesaksian seseorang. Dampaknya, saksi lain yang seharusnya tak boleh
mendengarkan keterangan saksi sebelumnya, akhirnya bisa mengetahui
keterangan saksi sebelumnya. “Baru di Indonesia ada siaran langsung.
Kadang risi juga bagi majelis dan perlu kita kaji, tetapi saya tak
punya kewenangan,” kata Sujatmiko.
Bagir setuju dengan pendapat hanya di Indonesia peliputan persidangan
begitu bebas. Terkait sedang dibahasnya Rancangan Undang-Undang Kitab
Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang kini sudah ada di DPR,
Bagir setuju jika soal bagaimana cara meliput persidangan di era
digital ini diatur di dalamnya.
“Peliputan media massa di pengadilan harus dibatasi. Di negara lain
tidak ada yang seperti itu,” kata Bagir. Walaupun kini tak ada aturan
detail yang mengatur peliputan di pengadilan, namun Bagir berharap
media massa menerapkan kontrol sendiri sesuai dengan kode etik.
Guru Besar Universitas Indonesia, Prof Muhammad Mustofa, menambahkan,
pada prinsipnya pemberitaan dalan proses peradilan tak boleh
memberikan opini dan tak boleh mempengaruhi keputusan hakim. Di
negara-negara lain, jika ada pemberitaan yang berusaha mempengaruhi
keputusan hakim, maka hakim bisa menghentikan pemberitaan itu.
Di Undang-Undang Pers sebenarnya ada klausul yang bisa digunakan untuk
membentuk media watch atau pemantau media yang bisa dijadikan sarana
untuk memantau pemberitaan yang bias dan tendensius. “Perlu peraturan
perundangan yang eksplesit agar pemberitaan yang mempengaruhi
peradilan adalah contempt of court,” kata Mustofa. (AMR)