Pelajaran dari Perang “Medsos” Pilgub Jabar

Share Article

Hasil Pemilihan Gubernur Jawa Barat memang belum resmi diumumkan oleh

Komisi Pemilihan Umum Jabar. Namun, berbagai survei perhitungan cepat

memprediksikan pasangan Ahmad Heryawan-Deddy Mizwar unggul dalam

pertarungan tersebut.

Bagi warga pengguna internet (netizen), pertarungan antarkandidat

sudah terasa berbulan-bulan sebelum hari H pencoblosan. Pertarungan

sengit antarkandidiat dalam Pilgub Jabar terekam juga dalam media

sosial (medsos) karena tiap kandidat ternyata kini memiliki "pasukan"

juga yang berusaha kampanye di berbagai kanal media sosial.

Hasil akhir setelah pencobloson yang dilakukan pada Minggu (24/2)

kemarin, terungkap pasangan Ahmad Heryawan-Deddy Mizwar unggul di

media sosial mengungguli pasangan Rieke Diah Pitaloka-Teten Masduki

dan Dede Yusuf-Lex Laksamana.

Analis media sosial yang juga Direktur PoliticaWave, Yose Rizal, dan

pakar komunikasi politik Effendi Gazali, di Jakarta, Senin (25/2),

sama-sama sependapat bahwa pertarungan di Pilgub Jabar terpengaruh

juga dengan percakapan di media sosial.

Mereka menyoroti kekalahan sementara pasangan Rieke-Teten akibat

beberapa manuver yang dianggap kontraproduktif di mata pengguna media

sosoal. Kesimpulan mereka adalah bahwa pertarungan Pilgub Jabar telah

memberi pelajaran penting bahwa orisinalitas dan kreativitas di dunia

politik sangat penting dan menentukan.

Jika Anda tak orisinal dan tak kreatif, maka sentimen negatif lah yang

akan dipanen. Bahayanya, di Indonesia, percakapan di media sosial itu

kemudian diduplikasi ke kehidupan nyata sehingga sentimen negatif bisa

ditularkan.

Kesimpulan tersebut menyoroti sentimen yang teramat negatif dan

tiba-tiba dalam sepekan terakhir yang menimpa pasangan Rieke-Teten,

padahal pada tiga pekan sebelumnya mereka berada di puncak

pertarungan. Tiga pekan lalu, Aher-Deddy yang diusung Partai Keadilan

Sejahtera sempat terpuruk di level terbarah karena terimbas sentimen

negatif dari kasus Presiden PKS Luthfi Hasan Ishaaq.

Perangkat lunak PoliticaWave selama berbulan-bulan telah memantau

percapakan warga pengguna internet (netizen) di Jawa Barat dari

berbagai kanal media sosial seperti Twitter, Facebook, Forum, Blog,

Youtube, dan situs-situs berita untuk menganalisa respons netizen

terhadap para kandidat.

Menurut Direktur PoliticaWave, Yose Rizal, sejak semula ada tiga

pasangan yang terekam bertarung sengit yaitu Aher-Deddy, Dede-Lex, dan

Rieke-Teten. Di akhir kompetisi, Aher-Deddy unggul pada total jumlah

percakapan dengan prosentase 35,9%. Untuk total jumlah pengguna

(netizen), pasangan Dede-Lex memimpin dengan prosentase 31,9%.

Sedangkan Rieke-Teten di posisi ketiga di semua kategori dengan

selisih yang tipis.

Terungkap pula, menjelang pencoblosan, elektabilitas kandidat

Aher-Deddy dan Dede-Lex masuk ke dalam kategori positif di media

sosial. Aher-Deddy memimpin dengan poin 8,08 dan Dede-Lex dengan poin

0,68. Sedangkan Rieke-Teten terkena sentimen negatif dengan poin

-15,12.

PoliticaWave mencatat, kondisi tersebut terkait dengan tidak

bekerjanya "efek Jokowi". Joko Widodo adalah seorang figur yang

memiliki popularitas dan citra positif di media sosial. Namun ternyata

tidak semua hal yang berkaitan dengan Jokowi memberikan hal yang

positif.

"Upaya Rieke-Teten membawa Joko Widodo sebagai juru kampanye mendapat

respon negatif dan positif secara bersamaan. Hal ini dikarenakan

Rieke-Teten dianggap menjiplak dan semakin diperburuk dengan

pernyataan Rieke yaitu tidak malu menjiplak Jokowi," papar Yose.

Mengacu dari analisa tersebut, PoliticaWave menyimpulkan pasangan

Aher-Deddy memenangkan pertarungan Pilgub Jabar ini. Kemenangan

Aher-Deddy ini didukung pada dominasi percakapan baik dari segi jumlah

percakapan maupun jumlah pengguna uniknya.

Imbas media sosial

Effendi Gazali mengungkapkan, Pilkada Jabar terimnas juga dengan

percakapan di media sosial karena kebiasaan di Indonesia adalah

membawa apa yang terjadi di media sosial ke media offline. Karena itu,

jika di media sosial ada sentimen negatif, maka sentimen negatif itu

bisa ditularkan di dunia nyata. "Di Indonesia, apa yang ia ketahui di

media sosial akan diduplikasi di media konvensional, misalnya dengan

SMS atau percakapan langsung," katanya.

Di media sosial sangat sensitif dengan sinisme. Karena itu,

gonjang-ganjing pada Partai Demokrat dan PKS akan berpengaruh juga

pada sentimen negatif pada pasangan yang bertarung di Jawa Barat.

Tapi, mengapa akhirnya yang terimbas negatif pasanga Rieke-Teten yang

diusung PDI-P?

"Dalam komunikasi politik, itu terkait dengan recall atau memori yang

pendek dari calon pemilih," kata Effendi. Saat itu, yang baru terjadi

adalah Jokowi yang merupakan sosok yang diduplikasi Rieke-Teten datang

berkampanye dan menjadi perbincangan di media sosial.

"Sejak awal, penggunaan simbol baju kotak-kotak yang berlebihan itu

menjadi tidak pas karena terkesan menjiplak, akhirnya di media sosial

muncul sinisme. Hal itu terjadi karena di media sosial kreativitas dan

orisinalitas itu hal penting," papar Effendi.

Orisinalitas berpolitik tetap menjadi nomor satu di media sosial.

Semakin orisinal semakin bagus. "Di Sulawesi Selatan menjiplak Jokowi

terbukti gagal dan di Jawa Barat walaupun mampu meningkatkan suara

namun belum sesuai harapan," kata Effendi.

Langkah berhasil

Manusia daya ingatnya memang terbatas. Peristiwa tiga pekan lalu bisa

dilupakan oleh pendukung PKS di Jawa Barat. "Langkah yang diambil

Aher, dengan tidak menggunakan simbol-simbol PKS terlalu kental,

ternyata berhasil melokalisir dampak negatif," jelas Effendi.

Sebaliknya, peristiwa yang terjadi beberapa hari sebelumnya yang

terkait Partai Demokrat, dan diputar berulang-ulang di televisi,

langsung berdampak pada sentimen negatif pada calon dari Partai

Demokrat yaitu Dede-Lex. "Dede-Lex tak mengubah pola kampanye karena

di beberapa tempat simbol-simbol Partai Demokrat masih kental terlihat

padahal saat itu sedang ada prahara besar di dalam Demokrat," kata

Effendi.

Ingatan yang sangat terbatas ini sangat berlaku dalam ilmu komunikasi

politik. Karena itu, di Amerika Serikat, yang paling menentukan adalah

hasil debat terakhir menjelang pemungutan suara. (Amir Sodikin)

Leave a Reply