Palu DKPP Yang Siap Membuat Malu

Share Article

“Di Maluku Utara, ada kabupaten yang menyusun daftar pemilih berdasar abjad, bukan berdasar RT/RW. Misal jumlah pemilih di TPS 1 itu ada 600 orang, ya isinya nama-nama yang diawali dengan hurug A semua. TPS 2 isinya huruf B saja,” begitu Ida Budhiati, Komisioner Komisi Pemilihan Umum berkisah.

Implikasinya, kata Ida, pemilih sulit mengakses TPS karena satu keluarga ada yang namanya diawali berbagai huruf. Kasus ini pun memicu pengaduan ke Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu dan ke Mahkamah Konstitusi (MK).

Jika kasus itu dirunut dalam risalah putusan MK, dampak dari persoalan sederhana itu menjadi serius. Jumlah pemilih yang berbasis abjad di Kabupaten Halmahera Utara sebanyak 20.245 pemilih. Dari jumlah itu yang menggunakan hak pilih hanya 9.374 pemilih.

Penggugat merasa, akibat kecerobohan itu membuat ia kehilangan 10.000 suara dalam Pilkada di Kabupaten Halmahera Utara. Walaupun pengaduan ini tak dikabulkan MK, namun menjadi catatan tersendiri bagi KPU.

Dalam sebuah diskusi yang dihadiri para anggota KPU se-Indonesia, para peserta terkekeh-kekeh mendengar paparan Ida Budhiati. Ida bercerita beraneka ragam penyebab sengketa Pemilu di berbagai daerah yang mengakibatkan anggota KPU atau Panwaslu harus menghadapi sidang.

Ada yang terjadi karena ketidaktahuan sang penyelenggara Pemilu, ada pula yang memang ada indikasi keberpihakan kepada pihak tertentu. Namun, Ida menggarisbawahi, kebanyakan kasus di daerah terjadi karena ketidaktahuan.

Ada kasus yang terjadi karena penyelenggara pemilu dianggap tak membuka akses informasi, ada yang karena dimulai dari dukungan ganda, kepengurusan Parpol ganda, dan berbagai penyimpangan kode etik. “Yang paling banyak karena ketidakpahaman dan bagaimana harus menyelesaikannya,” kata Ida.

Ida mencontohkan, ada KPU Tapanuli Utara yang memverifikasi empat pasangan calon kepala daerah dari empat kepengurusan parpol yang ganda. Tapi, dalam verifikasi timbul persoalan mendasar.

“KPU Tapanuli Utara memverifikasi, yang sah dua pasangan calon. Tak tampak motif keberpihakannya tapi cara menyelesaikannya menimbulkan ketidakpastian hukum. Kalau tidak paham berkonsultasi lah,” kata Ida.

Soal keberpihakan anggota KPU daerah terhadap calon tertentu memang tak bisa dibantah. Pekan lalu tiga komisioner KPU Kabupaten Kepulauan Talaud, Sulawesi Utara, akhirnya diberhentikan tetap dalam sidang kode etik DKPP.

“Menjatuhkan sanksi berupa pemberhentian tetap kepada Teradu I, Teradu II, dan Teradu IV atas nama Melky Buatasik (Ketua KPU Kepulauan Talaud), TH Pinilas, dan Magdalena Anaada. Merehabilitasi Teradu III atas nama Mexny Tamaroba,” kata Ketua Majelis DKPP Nur Hidayat Sardini.

Komisioner KPU Talaud dalam perkara ini diadukan tiga bakal calon Bupati Talaud yang tidak diloloskannya. Mereka adalah Eben Haiser Sasea (Pengadu I), Noldi Tuwoliu (Pengadu II), dan Alex Riung (Pengadu III).

Ida Budhiati memaparkan, para Teradu terbukti melanggar kode etik penyelenggara Pemilu karena dianggap tidak cermat, tidak profesional, dan terindikasi berpihak. “Para teradu terbukti tidak melakukan verifikasi dan rekapitulasi data perihal dukungan calon perseorangan,” kata Ida.

Ketua KPU Luwu Sulawesi Selatan, H Andi Padellang, juga diberhentikan tetap dalam sidang kode etik DKPP. Andi Padellang dianggap menggelar rapat pleno tertutup untuk penetapan pasangan Calon Bupati dan Wakil Bupati. Panwaslu Luwu sempat mencoba mengikuti rapat pleno, namun diusir KPU Luwu.

Dalam rentang satu tahun, menurut Nur Hidayat Sardini, DKPP telah memutus 140 perkara sengketa Pemilu. Dari angka itu, penyelenggara Pemilu yang diberhentikan tetap sebanyak 102 anggota. Jumlah itu meliputi komisioner KPU berbagai daerah dan komisioner Panwaslu berbagai daerah.
“Anggota yang diberhentikan sementara 13 orang, dan yang diberi sanksi peringatan 124 orang,” kata Sardini. Jumlah tersebut merupakan hasil rekapitulasi sejak DKPP berdiri tanggal 12 Juni 2012 hingga 3 Oktober 2013.
Beberapa kasus itu terjadi akibat konflik internal di tubuh KPU atau Panwaslu. Ketua DKPP Jimly Asshiddiqie mencium gelagat yang tak sehat terhadap berbagai konflik internal penyelengara pemilu ini.

“Jika dibiarkan, penyelenggara pemilu bisa masuk angin, dimanfaatkan untuk kepentingan pihak-pihak tertentu,” kata Jimly. Sampai-sampai, DKPP harus memberikan putusan ultra petita (putusan yang melebihi permohonan) terhadap dua kasus Panwaslu Samarinda Kalimantan Timur, dan KPU Kabupaten Kepulauan Sula, Maluku Utara.

Terhadap dua kasus yang dilatarbelakangi konflik internal itu, DKPP akhirnya menjatuhkan putusan berupa peringatan kepada teradu maupun pengadu.

Pada kasus KPU Sula, Pengadu dan Teradu sama-sama komisioner KPU Kabupaten Kepulauan Sula. Pengadu Sunadi Buamona yang merupakan Pengadu I adalah Ketua. Sedangkan, Teradu I Joni Pura, Teradu II Basri Buamona, dan Teradu III Bustamin Sanaba adalah Anggota.

Sunadi mengadukan anggotanya sendiri karena mereka dianggap telah melanggar kode etik penyelenggara Pemilu. Kedua pihak sama-sama menciptakan iklim kerja yang tidak sehat.

DKPP juga memberikan sanksi peringatan kepada Pengadu dan Teradu dalam sidang kode etik Panwas Kota Samarinda. Mereka adalah Asmadi Asna sebagai ketua Panwaslu Kota Samarinda sebagai Teradu dan Noor Rahmawanto, anggota Panwaslu Kota Samarinda yang juga sebagai Pengadu.

Keduanya terbukti melakukan pelanggaran kode etik penyelenggara Pemilu karena sama-sama andil atas terjadinya persoalan internal Panwaslu. Putusan peringatan tertulis memang bukan putusan berat, namun setidaknya para penyelenggara pemilu itu tahu malu. (Amir Sodikin)

Leave a Reply