Setelah pembacaan vonis sempat ditunda sepekan karena terdakwa mengaku
sakit, Neneng Sri Wahyuni kembali mengajukan penundaan dengan alasan
sama. Namun, Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Jakarta,
pada Kamis (14/3), menolak permohonan itu dan tetap membacakan putusan
walau tanpa dihadiri terdakwa (inabsentia) dan penasehat hukum.
Di bawah pimpinan Tati Hadianti, majelis hakim dalam putusannya
akhirnya menjatuhkan pidana penjara selama enam tahun dan denda Rp 300
juta subsider kurungan enam bulan. Tuntutan jaksa adalah tujuh tahun
penjara dan denda Rp 200 juta subsider kurungan enam bulan.
Neneng juga divonis membayar uang pengganti Rp 800 juta
selambat-lambatnya satu bulan setelah putusan memiliki kekuatan hukum
tetap. Jika tak bisa membayar, hartanya akan disita dan dilelang untuk
negara dan jika tidak mencukupi akan dipidana selama satu tahun.
Neneng adalah terdakwa dari pihak swasta dalam proyek pemasangan dan
pengadaan Pembangkit Listrik Tenaga Surya yang dibiayai APBN-P 2008
dari Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi. Sebagai Direktur
Keuangan PT Anugrah Nusantara, Neneng dianggap punya andil dalam
intervensi penetapan pemenang PT Alfindo Nuratama Perkasa.
Alfindo adalah perusahaan pinjaman yang dikelola PT Anugrah
Nusantrara, anggota Grup Permai. Dalam lelang, Anugrah mengajukan
beberapa perusahaan, salah satunya PT Alfindo. Hakim berkeyakinan,
Neneng terlibat dalam merancang Alfindo sebagai pemenang dan
perusahaan lain sebagai pendamping saja.
Menurut hakim anggota I Made Hendra, Neneng juga dianggap
menegosisasikan pengalihan pekerjaan dari PT Alfindo ke PT Sundaya
Indonesia. Dari nilai kontrak Rp 8,9 miliar, setelah dialihkan ke PT
Sundaya hanya Rp 5,274 miliar. Negara telah dirugikan sekitar Rp 2,72
miliar.
Neneng pula yang membuat rekening PT Alfindo tanpa sepengetahuan
Direktur Alfindo, Arifin Ahmad. "Terdakwa yang kelola dan cairkan uang
dalam rekening tersebut," kata Made.
Negosiasi yang kolutif dengan Pejabat Pembuat Komitmen dianggap telah
menghancurkan persaingan sehat dan merusak iklim usaha karena sarat
praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme. Perbuatan Neneng dianggap
tercela.
Neneng terbukti melanggar dakwaan pertama Pasal 2 Ayat (1) juncto
pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang
nomor 20 Tahun 2001 juncto Pasal 55 Ayat (1) ke-1 Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana.
Bersama suaminya, Muhammad Nazaruddin, Direktur Administrasi Grup
Permai Marisi Matondang, Direktur Pemasaran Grup Permai Mindo Rosalina
Manulang, Direktur PT Alfindo Nuratama Perkasa Arifin Ahmad, dan
Pejabat Pembuat Komitmen Timas Ginting telah melakukan perbuatan
melawan hukum untuk memperkaya diri sendiri, orang lain, atau
korporasi sehingga merugikan keuangan negara sekitar Rp 2,72 miliar.
Keuntungan pribadi untuk Neneng mencapai Rp 800 juta.
Jaksa penuntut umum dari Komisi Pemberantasan Korupsi, I Kadek
Wiradana, menyatakan pikir-pikir atas vonis tersebut. Hakim
memerintahkan penuntut umum mengumumkan keputusan itu di papan
pengumuman pengadilan atau pemerintah daerah atau bisa langsung
diberikan kepada penasehat hukum terdakwa.
Diare lagi
Neneng sempat hadir dalam sidang. Namun, setelah ditanya apakah sehat
hari ini, Neneng mengaku sakit. "Sakit apa lagi?" tanya Tati Hadianti
yang dijawab sakit diare dan mag.
Pekan lalu, Neneng juga mengaku sakit yang sama dan menurut Tati dua
hari setelahnya sembuh. "Nanti masuk rumah sakit lagi, tapi nanti
malam sudah sembuh lagi," sindir Tati.
Dokter KPK sempat dihadirkan dan berkesimpulan pasien bisa mengikuti
persidangan. Namun, penasehat hukum keberatan dengan hasil pemeriksaan
tersebut.
"Beliau mengatakan diare, mag akut, kemudian pendengarannya berkurang.
Dengan kondisi yang saya lihat pagi ini tidak mungkin bisa mengikuti
sidang panjang ini. Kami mohon sidang diundur menunggu kesehatan
terdakwa membaik," kata Rufinus Hutauruk, penasehat Neneng.
Namun, majelis hakim yang biasanya selalu mengabulkan permohonan
terdakwa, kali ini berpendapat lain. Tati memutuskan menggunakan UU No
48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman Pasal 12 Ayat (2).
"Sesuai Pasal 12 Ayat (2), dalam hal terdakwa tidak hadir dan
pemeriksaan telah selesai, maka putusan bisa dibacakan tanpa kehadiran
terdakwa," kata Tati. Penasehat hukum sempat mengajukan keberatan
namun keberatan hanya akan dicatat.
Majelis hakim kali ini tegas karena menurut Tati sudah berkali-kali
dalam sidang sebelumnya Neneng selalu mengajukan penundaan karena
sakit. Sementara, masa penahanan dan waktu persidangan hampir habis.
Penasehat hukum yang merasa keberatannya ditolak majelis hakim,
akhirnya memilih keluar ruangan (walkout).
"Silakan penuntut umum untuk membawa terdakwa ke rumah sakit. Yang
lain tinggal untuk pembacaan putusan. Penasehat hukumnya di luar
sidang juga ya kalau tidak mau hadir di persidangan," kata Tati. (AMR)