Mimpi Netizen dalam Revolusi Perubahan Sosial

Share Article

Diantara gegap gempita untuk menambang keuntungan dari berbagai

aktivitas bisnis di dunia internet, Sabtu (19/1) lalu sebuah kelompok

warga internet (netizen) berduyun-duyun ke Gedung Energy, Jakarta,

untuk membicarakan soal gerakan sosial. Kegiatan itu diberi tajuk

Digital Nation Movement (Dinamo) 2013.

Tampil pertama menyapa peserta adalah orator lapangan ulung Usman

Hamid. Usman yang biasa membakar semangat demonstran soal hak azasi

manusia atau soal antikorupsi di mimbar demonstran yang terik panas,

kini menguasai panggung adem di hadapan anak-anak muda yang

bergelimpangan dengan tablet dan telepon pintar.

Usman adalah aktifis gerakan sosial yang real di dunia nyata dan saat

bersamaan ia juga gencar menjadi corong aktivis gerakan dunia maya,

tepatnya Direktur Kampanye Change.org Indonesia. Ia dikenal memiliki

jaringan luas untuk menghubungkan para aktivis dunia nyata di dunia

maya, mulai dari jaringan di Twitter hingga di Change.org.

Change.org adalah sebuah situs global yang menawarkan platform petisi

online. Siapapun bisa membuat petisi dan mencari pendukungnya agar

bisa tercapi jumlah penandatangan petisi.

Tak hanya di dunia nyata, provokasi ala demonstran di mimbar netizen

berhasil dilakukan Usman. Usman mengistilahkan, Change.org adalah

website globaluntuk memberdayakan orang dalam ikut serta setiap

perubahab sosial yang diinginkan.

Ia mencontohkan keberhasilan petisi online melalui change.org. Hasna

Pradityas, misalnya memulai petisi untuk memprotes jalan rusak di

Jalan Raya Muncul, Kota Tangerang Selatan yang masuk wilayah kekuasaan

Walikota Airin Rachmi dan Gubernur Atut Chosiyah.

Setelah tiga bulan sejak petisi dimulai, jalan mulai diperbaiki dan

layak dilewati. Terkumpul 221 tanda tangan yang masuk melalui email ke

Walikota Airin dan Gubernur Atut. "Kami mendapat konfirmasi bahwa

Walikota menerima banyak email dan membahas petisi di kantornya," kata

Usman.

Kemenangan petisi lainnya misalnya soal sirip ikan hiu yang akhirnya

dilarang diperjual belikan di restoran Bandara Soekarno Hatta.

PT Angkasa Pura memutuskan melarang penjualan sirip hiu di Bandara

Soekarno Hatta sejak 23 September 2012 sebagai respons dari petisi

yang dibuat warga Singapura, Glenton Jelbert.

Jelbert sedih melihat sirip hiu dijual di bandara internasional.

Padahal keindahan hiu di laut Indonesia adalah aset yang tak bernilai

harganya.

Usman mengatakan, gerakan seperti Change.org merupakan

persimpanganantara media sosial dan perubahan sosial. Menurut Usman,

gerakan ini merupakan gerakan tentang kita semua, tentang kelompok dan

komunitas untuk mendukung perubahan.

Change.org sebagai wadah para pendamba perubahan berkembang pesat

secara global. Sejak sembilan bulan lalu ketika diluncurkan di

Indonesia, jumlah anggota di Indoneisa mulai 8.000 anggota dan dalam

sembilan bulan kini sudah mencapai 140.000 anggota. Belum lagi jumlah

anggota secara global.

Di statistik change.org, wadah petisi online ini telah menjangkau 196

negara dengan total tanda tangan petisi mencapai 128,8 juta tanda

tangan dengan ribuan kemenangan telah dicapai para netizen di seluruh

dunia. "Ini bukan karena Change.org, melainkan karena kalian lah

dinamo-dinamo perubahan yang menginginkan setiap perubahan," kata

Usman.

Setiap kemenangan di Change.org adalah potensi terbukanya demokrasi

partisipatoris. Demokrasi yang bukan disitir oleh penguasa dan

segelintir elit politik, melainkan demokrasi yang diinginkan oleh

warganya.

Indonesia adalah salah satu pengguna media sosial terbesar di jagat

raya ini sehingga bukan hal berlebihan jika para aktivis dunia nyata

berharap pada platfomr media sosial. Maka, acara yang dianggap sekadar

lifestyle para netizen itu ternyata didukung institusi serius seperti

Institut Kebajikan Publik, Indonesian Future Leaders, Leaf-Plus,

Kontras, dan Indonesia Corruption Watch.

Direktur Komunikasi Change.org Indonesia, Arief Azis mengatakan ketika

mendengar Change.org masuk Indonesia, itu merupakan timing yang tepat

karena Indonesia dikenal sebagai bangsa digital. "Selalu saja

menduduki peringkat 5 besar dalam jumlah anggota di berbagi situs

media sosial," katanya.

Bukan hal yang mengada-ada jika harapan ke depan untuk mengawal setiap

perubahan sosial nantinya akan berawal dari media sosoal. Kita punya

sejarah people power yang panjang dan di saat yang sama kita punya

kekuatan suara yang begitu berlimpah di media sosial.

Kesuksesan yang diraih dalam setiap petisi online, Arief yakin, itu

merupakan sebuah puncak gunung es semata. Di dasar persoalan yang

sebenarnya, masih tertimbun masalah besar yang sama dan belum

tersentuh untuk diselesaikan.

Karena itu, kolaborasi aktivis perubahan sosial dengan kampanye media

sosial merupakan sebuah keniscayaan zaman yang harus dilewati. Sineas

Indonesai ternama, Mira Lesmana yang hadir sebagai pembicara, ternyata

juga mengandalkan media sosial untuk menggarap film "Atambua 39

Derajat Celsius".

Film itu menyorot persoalan di Atambua yang sudah terlupakan kita

semua. "Untuk film seperti ini, awalnya saya kesulitan mencari dana.

Dalam setiap film saya merasa bertanggung jawab untuk mengingatkan

yang terlupakan," kata Mira.

Ia kemudian memasukkan proyek film tersebut di situs Wujudkan.com

untuk mendengarkan pengunjung apakah film itu layak dibuat atau tidak,

sambil mencari dukungan dana dari para netizen. Akhirnya, di luar

dugaan, dana terkumpul hingga Rp 319 juta dan jumlah itu sudah

mencapai 30 persen dari total pendanaan.

Maka, dalam setiap ide perubahan yang awalnya terasa berat dilakukan,

atau bahkan mustahil dikerjakan, ternyata ketika dilontarkan ke para

netizen, peruabahan yang didambakan itu bisa diwujudkan. Mari lakukan

perubahan, jangan takut bermimpi untuk membuat revolusi kembali. (Amir

Sodikin)

Leave a Reply