KPU: Penurunan Alat Peraga Bukan Pidana

Share Article

Penurunan alat peraga di tempat ilegal oleh warga kini menjadi debat serius. Komisi Pemilihan Umum memberi tafsir bahwa penurunan alat peraga tanpa melakukan perusakan oleh warga bukanlah pidana. Sementara, para aktivis pemilu menganggap langkah itu bisa dituduh merusak alat peraga.

Demikian dikatakan Komisioner Komisi Pemilihan Umum, Ida Budhiati, di Jakarta, Rabu (8/1). Ida menanggapi maraknya penurunan alat peraga di tempat-tempat terlarang menurut undang-undang oleh warga.

“Larangan yang eksplisit di UU itu kalau merusak alat peraga, nawaitunya (niat) sejak awal untuk merusak, bagian dari kompetisi antar kontestan. Asbabul nuzulnya atau asal-usul lahirnya ketentuan itu adalah untuk mencegah kampanye dengan cara-cara kekerasan,” papar Ida.
Melihat banyaknya pelanggaran penempatan alat peraga, harusnya penurunan alat peraga oleh warga itu perlu diapresiasi. Namun, harus dilakukan dengan hati-hati dan tak merusak karena jika merusak bisa dituntut pemilik. Pihak yang bisa menentukan apakah ada niat untuk merusak adalah pengadilan.

“Berarti warga paham soal aturan kampanye dan dia melihat alat peraga itu tak sesuai pada tempatnya, ini adalah bentuk partisipasi warga,” kata Ida. Justru hal itu menjadi bukti masyarakat mendapat informasi yang baik dan berusaha menegakkan aturan pemilu.
Namun demikian, penurunan alat peraga harus dilakukan secara hati-hati jangan sampai merusak. “Menurunkan itu berdasarkan kesadaran hukum akan aturan kampanye yang berlaku. Menurunkan itu beda dengan merusak,” tandas Ida yang menangani masalah hukum di KPU.
Mendorong partisipasi
Kemarin para aktivis pemilu yang tergabung dalam jejaring Paralegal Pemilu menggelar aksi “Rabu Bersih” yang menyisir sejumlah tempat di Jakarta untuk mendokumentasikan alat peraga yang melanggar aturan. Mereka terdiri dari Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP) Jakarta, dan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) daerah.

Aktivis dari Perludem, Veri Junaidi, mengatakan pihaknya hanya mendata dan mendokumentasikan alat peraga yang melanggar, yang kemudian akan dilaporkan ke Badan Pengawas Pemilu.
“Sudah lama alat peraga ini tak ditindaklanjuti oleh para pengawas pemilu di berbagai daerah. Esensi bersih-bersih kali ini adalah bagian dari partisipasi masyarakat,” kata Very. Kegiatan itu juga mendorong pengawas pemilu agar menindaklanjuti laporan dari masyarakat.

Dengan melaporkan, akan muncul partisipasi yang lebih luas dari masyarakat agar melaporkan tiap pelanggaran. “Harapannya, lebih banyak laporan pelanggaran yang masuk dan Bawaslu juga diharapkan siap dengan laporan masyarakat,” kata Very.

Tiap pelanggaran, kata Very, muaranya dilaporkan ke Bawaslu dan eksekusinya baru diserahkan ke Satpol PP di tiap daerah. Very tak mendukung penurunan alat peraga di tempat ilegal karena bisa dilaporkan pemilik alat peraga secara pidana.

“Kita tak boleh membersihkan alat peraga dalam arti menurunkannya, karena pemilik alat peraga bisa berdalih kita merusak alat peraganya,” kata Very. Sikap hati-hati tersebut berkaca para pengalaman Pemilu 2009. “Dulu ada warga yang menurunkan alat peraga di area miliknya sendiri tapi dituduh merusak,” kata Very.

Tak setuju KPU
Direktut Lingkar Madani Indonesia, Ray Rangkuti, tak setuju dengan tafsir Ida Budhiati soal penurunan alat peraga oleh warga. “Kalau pelanggarannya di luar wilayah yang menjadi haknya, itu akan menimbulkan kekacauan, sama saja menyatakan masyarakat boleh membubarkan judi tanpa menunggu polisi,” kata Ray.

Potensi bentrok juga tinggi. Kecuali jika alat peraga itu berada di halaman rumah kita, atau di sekolah di tempat kita memiliki kewenangan. “Tapi kalau alat praganya ada di tempat umum dan kita menurunkannya, ya sama dengan mengundang kemarahan masyarakat,” jelas Ray.

Dalam UU telah ditentukan aparat hukum mana yang berwenang mencabut atau menurunkan alat peraga yang melanggar. “Kewenangan warga hanya menunjukan bahwa sesuatu itu melanggar tapi bukan melakukan penegakan hukum,” kata Ray. (AmirSodikin.com)

Leave a Reply