Kelud Revolusi Gunung Api: Petunjuk Hukum Alam

Share Article

Bagi Surono, letusan gunung api merupakan pertunjukan dari hukum alam, yang bisa berubah sesuai dinamika terbaru. Menyandarkan pada ilmu titen dan ingatan terhadap perilaku gunung api sebelumnya, tidaklah cukup. Apalagi, ingatan manusia ternyata sangat pendek.

”Alam bisa berubah, sebagaimana seharusnya manusia. Letusan gunung api merupakan pertunjukan dari hukum termodinamika yang ideal. Akhir dari proses tergantung dari proses sekarang, tidak harus sama dengan masa lalu,” katanya.

Surono mencontohkan, jika hanya mengikuti saran dari petugas dan pensiunan pemantau Gunung Merapi, penentuan status Awas saat gunung itu krisis pada tahun 2010 pasti akan terlambat dibuat sehingga jumlah korban jiwa pasti akan sangat banyak. Petugas yang telah puluhan tahun memantau Merapi itu memberikan saran kepada Surono agar peningkatan status Awas menunggu hingga munculnya api diam, sebagai penanda bahwa lava sudah sampai di puncak. Biasanya seperti itulah perilaku Merapi sebelum meletus. Namun, pada 2010, Merapi ternyata meletus tanpa memberikan sinyal api diam itu. ”Masyarakat selalu berpegang pada suatu yang sama, padahal alam selalu berubah,” katanya. ”Ada saatnya, evakuasi dengan pemaksaan diperlukan, dan itu yang dilakukan polisi di Kelud tahun 2007.”

Pada Kamis (18 Oktober 2007) petang itu, sejumlah anggota polisi berkeliling kampung dan mengumumkan melalui pengeras suara agar masyarakat mengungsi. Polisi akhirnya juga menjemput Mbah Ronggo ke pengungsian.

Ibu Suronto, warga di Dusun Rejomulyo, Desa Sugihwaras, masih ingat betapa sulitnya mengajak warga mengungsi. ”Diungsikan sebelum ada bencana, eh tahu-tahu tidak jadi meletus. Perempuan-perempuan itu lho, angel-angel (sulit). Mereka disuruh mengungsi malah bilang, alahhh ora ono opo-opo kok ngungsi (tidak ada apa-apa kok mengungsi). Ora. ora ne’ mbledos (tidak…tidak akan meletus),” ujarnya.

Menurut dia, warga terlalu sibuk memikirkan lahan, ternak, dan enggan berada terlalu lama di pengungsian. ”Mereka masih urus sapi perah,” katanya.

Berbeda dengan tetangganya, Ibu Suronto begitu mengetahui ada peringatan untuk mengungsi segera menutup warung nasinya dan pergi mengungsi. ”Orang-orang belum mau turun, saya sudah turun,” ujarnya.

Ketaatannya mengungsi tak lepas dari pengalamannya ketika terjadi letusan tahun 1990 yang membuatnya sengsara. Saat itu, dia tengah mengandung anak pertamanya. Belum lagi letusan selesai, sang bayi sudah lahir. Kerusakan yang diakibatkan letusan gunung itu terbilang besar. Dia terpaksa tinggal di rumah bidan selama satu bulan.

Namun, hingga berhari-hari kemudian, letusan tetap tidak terjadi. Gunung Kelud seperti terdiam. Semakin banyak pengungsi yang mulai bosan di pengungsian bersikeras pulang. Untuk mencegah agar warga tidak pulang kembali ke rumah masing-masing, gerbang pengungsian ditutup dengan barikade pagar berduri atau dikunci.

Surono dan stafnya yang telah bermalam-malam begadang berada dalam tekanan. ”Banyak telepon dan SMS meminta agar saya menurunkan status Kelud. Bahkan, banyak yang memaki, mengatai saya ngotot dan ngawur,” kenang Surono.

Pesawat telepon di pos pemantauan tak berhenti memanggil. Telepon genggam juga tak pernah jeda berdering. ”Saking lelah dan tegang, saya tidak terbangun walaupun dipannya ambruk. Waktu bangun, baru kaget ternyata sudah di bawah,” katanya.

Tekanan semakin bertambah saat Presiden Susilo Bambang Yudhoyono datang ke Kelud pada Rabu (24 Oktober), situasi gunung itu semakin tenang. Sama sekali tak ada geletar gempa. ”Saat itulah saya begitu mendambakan sinyal gempa dari Kelud. Gempa… gempalah… jangan diam saja,” kata Surono.

Namun, Kelud tetap membisu. ”Akibatnya, semakin banyak suara yang meminta agar status Kelud diturunkan,” kata Surono.

Dia membuka-buka kembali catatan dan sifat Kelud di masa lalu. Kenangan kekacauan saat Kelud meletus pada 1990 membuat Surono waspada. ”Kelud itu sangat irit gempa. Kita tak bisa mendasarkan pengamatan Kelud hanya pada aktivitas gempanya,” katanya menyimpulkan.

Apalagi dia juga menemukan catatan bahwa hampir semua gunung api andesit—termasuk Kelud—menjelang meletus justru sangat tenang. Gunung api andesit umumnya ditemukan pada lingkungan penunjaman tektonik dan sifatnya sangat mudah meledak serta tak terduga. Disebut gunung api andesit karena lava yang dikeluarkannya membentuk batuan andesit yang kaya silika.

Surono meyakini, Kelud berada pada fase menuju letusan dan tak bisa kembali normal. ”Meski gempa sedikit, suhu air kawah terus naik. Saya hanya mau menurunkan status jika seluruh parameter pemantauan kita turun,” katanya.

Pengukuran temperatur air danau kawah yang dilakukan di permukaan, kedalaman 10 meter, dan 15 meter menunjukkan adanya kenaikan secara tajam mulai 2 November 2007. Suhu air danau kawah mencapai lebih dari 50 derajat celsius di ketiga sensor itu, temperatur tertinggi yang pernah terukur di Gunung Kelud.

Seiring dengan kenaikan suhu di kawah, gempa tremor vulkanik terus terjadi, mencapai 1.000 kali selama seharian. Surono dan anak buahnya semakin tegang saat menyaksikan munculnya embusan asap dari tengah danau kawah, melalui kamera pemantau (CCTV). Kejadian embusan asap putih tebal merupakan fenomena baru yang belum terjadi dalam sejarah aktivitas Gunung Kelud.

Gempa tremor memuncak pada pukul 16.00, Jumat 3 November 2007, selama sekitar 40 menit. Suhu air danau kawah mencapai 77 derajat celsius. Kejadian puncak krisis tremor vulkanik diikuti oleh semburan abu yang jatuh di sekitar Pos Pengamatan Gunung Kelud, menempel pada dedaunan, kaca mobil, dan atap bangunan.

Saat itu juga, Surono memerintahkan anak buahnya segera meninggalkan pos pengamatan Sugihwaras. ”Saya pergi sambil membawa alat pemantau sinyal,” kata Surono. Tiga mobil yang telah disiapkan bergegas pergi dengan dijejali para ahli gunung api, termasuk Surono. Mereka mengungsi ke Kantor Kepolisian Sektor Ngancar, 15 kilometer dari kawah Kelud.

Namun, letusan besar yang dinantikan dengan cemas itu tak kunjung terjadi. Semua alat pemantauan yang dipasang di sekitar kawah masih terus mengirimkan sinyal. Itu tandanya tidak ada kerusakan dengan alat-alat itu, yang berarti tidak ada letusan besar. Ia semakin diliputi rasa penasaran dan memilih tidak tidur malam itu.

Setelah menunggu sehari semalam, akhirnya pada Minggu (4/11) dini hari, sekitar pukul 02.00 ia mengajak anak buahnya kembali ke pos pengamatan. Ia mengamati puncak Kelud menggunakan kamera inframerah. Terasa adanya anomali panas.

Pukul 04.00 terlihat ada asap hitam menuju ke arah utara. Gunung Kelud tidak pernah melepaskan asap ketika meletus. Rasa penasaran itu akhirnya terjawab ketika pada pukul 08.00 kamera pemantau mengabadikan adanya asap tebal berwarna putih dan material padat muncul dari dalam danau kawah. Namun, letusan besar tidak terjadi, atau setidaknya belum terjadi.

Warga yang sudah tiga minggu mengungsi berucap syukur letusan tidak terjadi, tetapi sebagian lainnya jengkel karena sengsara di pengungsian. ”Tahun 2007, Kelud akhirnya tidak jadi meletus, tapi yang muncul malah anak gunung. Namun, waktu itu saya belum tahu akan seperti itu. Saya pikir kalau nanti ada apa-apa bagaimana? Lebih baik mengungsi saja,” kata Ibu Suronto.

Bagi Surono, perubahan karakter Kelud memang tidak terprediksi sebelumnya. ”Ini sejarah baru bagi Kelud. Efusivitas Kelud belum pernah terjadi sebelumnya. Catatan dunia tentang Kelud sebagai gunung dengan danau kawah mungkin saja terhapus. Kelud kembali membangun tubuh gunung ke bentuknya ribuan tahun silam, yakni strato mengerucut ke atas,” katanya.

”Masyarakat selalu berpegang pada suatu yang sama, padahal alam selalu berubah.”

Sumber: KOMPAS Cetak edisi Sabtu, 21 Jan 2012

Leave a Reply