Kelud Revolusi Gunung Api: Arti Kelud

Share Article

HINGGA sebelum 2007, Danau Kelud di ketinggian 1.114 meter dari permukaan laut itu masih mewujud. Namun, gundukan batuan lava berbentuk kerucut di tengah-tengah kawah menyingkirkan danau seluas sekitar 109.000 meter persegi dan mengeringkan 2,5 juta meter kubik air yang selama ini menjadi ciri khas gunung itu.

Asap masih keluar dari rekahan tubuh gunung baru yang tumbuh cepat itu. Pada tahun 2007, saat baru muncul, kubah Kelud masih setinggi 100 meter dari bekas kawah, kini telah menjulang dua kali lipat tingginya.

Selama lebih dari 1.000 tahun, Kelud dikenal sebagai gunung yang memiliki tipe letusan freatik (phreatic). Letusan ini dipicu oleh masuknya air danau ke kantong magma yang bersuhu sekitar 1.000 derajat. Persentuhan air danau dan magma ini kemudian memicu munculnya uap panas yang segera menjebol sumbat, melontarkan debu, bebatuan, bom gunung api, hingga air. Paduan material padat dan air danau ini menciptakan lahar letusan yang secara historis menimbulkan korban dan kerusakan besar di sepanjang Sungai Brantas, dan sungai lain yang berhulu di Kelud.

Teks Sanskerta, berjudul ”Goentoer Pabanjoepinda” yang ditulis pada tahun 1334 dan diungkap kembali oleh geolog dari Museum Geologi Bandung, Indyo Pratomo dalam disertasinya, Etude de l’éruption de 1990 du volcan Kelud (1992), menggambarkan tentang karakter letusan Kelud di masa lalu itu, ”…. Bumi mengguncang, uap panas dimuntahkan dari gunung api dan banyak abu jatuh, gemuruh guntur, petir besar-besar…, muntahan lahar segera tiba kemudian….”

Deskripsi tentang karakter Kelud itu kini tak lagi berlaku. ”Kelud sudah tidak bisa disebut ’kelud’ lagi. Tidak ada lagi danau kawah yang menyapu saat letusan,” kata Surono. Nama Kelud—dalam bahasa Jawa sapu—dilekatkan ke gunung api ini karena saat meletus menyemburkan lahar letusan, lalu menyapu desa-desa di lerengnya.

Perubahan karakter, bahkan identitas, gunung ini telah membuka masalah baru. ”Sebelumnya kita menggunakan perubahan suhu dan warna air danau Kelud untuk memantau aktivitas gunung ini, sekarang indikator ini telah hilang. Kita harus memikirkan cara lain,” kata Surono.

Gunung ini mengajarkan bahwa karakter dan sifat gunung bisa berubah. Gunung api terus berevolusi. ”Begitu pula seharusnya kita yang hidup di sekelilingnya,” kata Surono.

Menurut Surono, letusan Kelud ke depan pasti akan berbeda. Namun, dia tidak bisa memastikan skenario seperti apa yang akan terjadi. ”Kalau dia melontarkan sumbat yang akarnya sebesar volume danau, tentu akan jadi masalah besar. Kediri pernah dihancurkan Kelud, dan itu bisa terjadi lagi,” katanya. ”Kalau Kelud meletus seperti itu, semoga saya sudah pensiun. Saya tak sanggup membayangkannya.”

Adapun kalau tidak bisa melontarkan sumbat, menurut Surono, dia akan mencari daerah lemah untuk membentuk kawah baru. ”Masalahnya, di mana kawah baru itu akan muncul? Kami masih buta soal itu.”

Kelud merupakan gunung api aktif yang memiliki waktu istirahat hampir ajek, yaitu dari 15 sampai 30 tahun atau 20 tahun rata-rata sejak 1800. Menurut N van Padang dalam Kusumadinata, Data Dasar Gunung Api Indonesia (1979), tiga puluh kali letusan terakhir Gunung Kelud berasal dari kawah, yang kini telah hilang itu. Namun, letusan berikutnya bisa jadi tidak lagi di sana. ”Lalu di mana kawah baru itu akan terbentuk, masih jadi tanda tanya bagi kami,” kata Surono.

Surono hanya bisa berharap, sebelum Kelud meletus lagi, gunung itu akan lebih banyak mengirim gempa. ”Kalau dia pendiam dan minim gempa seperti 1990-2007, maka proses pemantauannya akan sangat susah karena tidak ada lagi air yang menjadi indikator aktivitas gunung ini.”

”Kelud sudah tidak bisa disebut ‘kelud’ lagi. Tidak ada lagi danau kawah yang menyapu saat letusan.”

Sumber: KOMPAS Cetak edisi Sabtu, 21 Jan 2012

Leave a Reply