KASUS KORUPSI: Profesor Hukum dan Gratifikasi Seks

Share Article
Bulan ini, media massa di Singapura diisi berita sidang perkara korupsi profesor hukum di National University of Singapore (NUS), Tey Tsun Hung (41). Perkaranya cukup unik. Profesor ini didakwa menerima gratifikasi seks dari mantan mahasiswanya, Darinne Ko Wen Hui (23). Guru besar ilmu hukum NUS ini, Jumat (11/1), didakwa enam tuntutan oleh Komisi Antikorupsi Singapura (CPIB). Dari berbagai media dilaporkan, Tey mendapatkan hadiah dari seks sebanyak dua kali hingga beberapa barang lain, seperti pena Mont Blanc, iPod Apple, dan kemeja, dari Ko. Terungkap juga, Ko membayar tagihan Tey, 1.278 dollar Singapura (sekitar Rp 10 juta). CPIB mendakwa gratifikasi diberikan agar Tey memberikan nilai bagus. Ko melakukan ini karena ingin bekerja di firma hukum terkemuka. Kisah terungkap karena Ko bercerita kepada rekannya soal bagaimana ia mendapatkan nilai bagus. Kasus ini dikategorikan perkara korupsi karena dengan hadiah itu, Tey melakukan sesuatu dengan kewenangannya dengan cara yang melanggar hukum. CPIB menganggap korupsi tidak sekadar soal uang, tetapi bisa dalam bentuk hadiah dan hubungan seksual. Di Indonesia, gratifikasi seks kembali diwacanakan Komisi Pemberantasan Korupsi untuk bisa diusut dan diperkarakan. Direktur Gratifikasi KPK Giri Supradiyono mengatakan, pengusutan gratifikasi seksual diatur dalam UU No 20/2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Guru Besar Hukum Pidana Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Eddy OS Hiariej mengatakan, bisa saja hadiah layanan seks diusut. “Istilah gratifikasi menyangkut pemberian hadiah secara luas. Jadi, bisa saja hadiah berupa wanita atau laki-laki penghibur,” katanya. Hal yang penting, kata Eddy, gratifikasi itu membuat seseorang melakukan atau tidak melakukan sesuatu yang bertentangan dengan kewajiban atau kewenangannya. Soal sulitnya pembuktian, menurut dia, hal itu sudah lazim dan memang harus dibuktikan. Ahli hukum pidana korupsi Universitas Indonesia, Akhiar Salmi, mengatakan, kasus di Singapura bisa jadi model. “Dulu almarhum Hakim Agung Bismar Siregar pernah menyatakan, kategori barang ini termasuk pemberian seks. Secara sosiologis, gratifikasi ini sering dipersepsikan sebagai ‘barang’ walaupun istilah ini tak tepat,” ujarnya. Seks bisa masuk gratifikasi jika diberikan berhubungan dengan jabatan seseorang dan bertujuan untuk memengaruhi kebijakan. “Jika misal gratifikasi diberikan agar proyeknya gol, itu bisa masuk kategori dalam hal ini,” kata Akhiar. Pembuktiannya memang susah karena gratifikasi itu tindak pidana bersyarat. Kita akan terbentur pada ketentuan gratifikasi akan dikenai pidana jika dilaporkan ke KPK dalam jangka 30 hari. “Biasanya pemberian berupa seks ini juga tak akan dilaporkan,” lanjut Akhiar. Ahli hukum pidana dari Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta, Mudzakir, tak sependapat jika hadiah seks ini masuk gratifikasi. “Gratifikasi itu harus berupa perbuatan bernilai yang sah. Jika seks masuk dalam gratifikasi, ini seperti melegalkan pemberian hadiah berupa seks. Hal ini justru akan merusak konstruksi hukum yang ada,” kata Mudzakir. Sebagai pidana tambahan, pemberian hadiah berupa seks ini bisa diberikan untuk memperberat pidana.Akhiar menekankan, harus dipahami kapan sebuah hadiah seks itu masuk persoalan pribadi yang tunduk pada delik asusila dan kapan jadi perkara publik yang bisa dijerat UU Tipikor. “Jika tak terkait dengan jabatannya, bolehlah dijerat dengan tindak pidana asusila berdasarkan KUHP,” ungkapnya. Ia menganggap gratifikasi seks ini penting dipertimbangkan diusut karena banyak yang tak mempan dengan uang, tetapi luluh dengan layanan seks.Sependapat dengan Akhiar, aktivis dari Indonesia Corruption Watch, Emerson Yuntho, mengatakan, gratifikasi seks ini sudah akut di kalangan pejabat dan pengusaha busuk. Hal seperti ini juga terjadi dalam praktik hitam penegakan hukum. Pengacara hitam bisa mengumpankan layanan seks demi tujuannya. Wacana ini, menurut Emerson, akan sukses jika didukung jaminan perlindungan serius terhadap para saksi. Semangat wacana ini adalah menangani maraknya perilaku buruk pengambilan keputusan dan penyalahgunaan wewenang yang merugikan rakyat. (AMIR SODIKIN) tags: kasus korupsi, korupsi, gratifikasi seks, suap seks, icw, tey tsun hung, darinne ko wen, profesor singapura, nusArsip tulisan ini pernah dimuat di Kompas, 19 Januari 2013Visit: http://www.amirsodikin.com

Leave a Reply