Penasehat hukum Jacob Purwono, Bhakti Dewanto, dalam pledoi atau
pembelaan yang dibacakan pada Rabu (30/1) memprotes kebijakan Komisi
Pemberantasan Korupsi yang menetapkan terdakwa Kosasih sebagai justice
collaborator karena status Kosasih yang juga sebagai pelaku utama. Di
luar persoalan pledoi kliennya, ia mengusulkan, perlu dibuat aturan
baku soal justice collaborator di Indonesia sehingga penerapannya
tidak menimbulkan kontroversi.
Dihubungi di Jakarta, Jumat (1/2), ahli hukum pidana korupsi
Universitas Indonesia, Akhiar Salmi, mengatakan dari azas kepatutan,
maka tidak salah pelaku utama jadi justice collaborator. Setidaknya,
sampai kita memiliki aturan baku soal definisi dan kriteria justice
collaborator.
Bhakti keberatan karena Kosasih bukanlah peniup peluit pertama dalam
upaya membongkar kasus korupsi ini. Kosasih dianggap menjadi pelaku
utama bersama Jacob Purwono dalam dugaan korupsi pengadaan dan
pemasangan Solar Home System di Departemen Energi dan Sumber Daya
Mineral.
Pengertian justice collaborator dapat ditemukan pada Surat Edaran
Mahkamah Agung No 4 Tahun 2011 tentang Perlakuan bagi Whistleblower
dan Justice Collaborator. Dalan surat edaran tersebut, kata Bhakti,
justice collaborator dimaknai sebagai seorang pelaku tindak pidana
tertentu, tetapi bukan pelaku utama yang mengakui perbuatannya dan
bersedia menjadi saksi dalam proses peradilan.
Pengertian lain juga bisa ditemukan dalam surat keputusan bersama
antara Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban, Kejaksaan Agung,
Kepolisian, KPK, dan Mahkamah Agung. Justice collaborator diartikan
sebagai seorang saksi yang juga merupakan pelaku namun mau bekerjasama
dengan penegak hukum dalam rangka membongkar suatu perkara, bahkan
mengembalikan aset hasil kejahatan korupsi apabila aset itu ada pada
dirinya.
Akhiar mengatakan, ditinjau dari aspek perundang-undangan, surat
edaran MA tidak mengikat karena tidak ada dalam hirarki
perundang-undangan. "Untuk kepastian hukum ke depan, maka perlu diatur
dalam Kitab Undang-Undang Huku Acara Pidana," kata Akhiar.
Dari azas kemanfaatan, maka manfaat diungkapnya kasus secara terang
benderang oleh Kosasih sangat bermanfaat untuk membongkar korupsi.
"Jadi, sudah pantas jika Kosasih nanti diberi reward berupa keringanan
hukuman," kata Akhiar.
Penasehat hukum Kosasih, Hudy Jusuf, tak terpengaruh dengan protes
soak definisi justice collaborator tersebut. KPK dan LPSK, papar Hudy,
secara resmi telah menetapkan kliennya sebagai justice collaborator
sesuai dengan Surat Keputusan KPK No 756/01-55/12/2012 dan Surat
Keputusan Rapat Paripurna LPSK No A.011/KEP/RP-LPSK/1/2013.
Karena itu, Hudy yang dalam pembelaannya mendukung upaya kliennya
dalam menjadi jusrice collaborator. Ia lebih mengedepankan pengakuan
kliennya soal kesalahannya dalam korupsi pengadaan dan pemasangan
solar home system di Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral
2007-2008.
Atas jalan yang ditempuh kliennya itu, Hudy menyebutnya sebagai
"Bekerjasama mengungkap fakta, suatu pilihan mulia.". Karena itu,
sudah sepantasnya majelis hakim memberi keringanan atas hukuman
kliennya.
Ahli hukum pidana korupsi dari Universitas Indonesia, Akhiar Salmi,
mengatakan memang harus ada insentif bagi orang-orang seperti Kosasih
yang telah memilih jalur mau bekerja sama dengan penegak hukum.
Kosasih telah menunjukkan keseriusannya untuk bersedia mengakui
perbuatannya, kemudian mengungkapkan kasus tersebut ke pengadilan.
Bahkan, bukan masalah sepele bagi Kosasih untuk menjadi justice
collaborator.
Kosasih mengaku telah mempertaruhkan nyawanya karena mengungkapkan
sederet nama-nama besar yang diduga terlibat dalam permainan proyek
SHS ini. "Orang yang telah mau bekerjasama dengan penegak hukum layak
mendapatkan hukuman yang lebih ringan," kata Akhiar.
Namun, memang harus diakui bahwa persoalan justice collaborator ini
belum dibakukan oleh Indonesia sebagai salah satu jalan memperlancar
pembongkaran kasus korupsi. Ke depannya, perlu segera dibuatkan aturan
baku soal definisi dan kriteria menjadi justice collaborator. Majelis
hakim pun, kata Akhiar, belum menggunakan perspektif justice
collaborator dalam memutus perkara. (Amir Sodikin)