Jejak Kedahsyatan Letusan Kelud

Share Article

Letusan gunung api Kelud di Kediri, Jawa Timur, memiliki riwayat suram. Saat meletus pada tahun 1919, Gunung Kelud menewaskan 5.110 orang. Bahkan, tahun 1586, letusan Kelud disebut telah menewaskan tak kurang dari 10.000 jiwa. Berikutnya, Kelud yang meletus pada 1951, 1966, dan 1990 selalu menyebabkan jatuhnya korban jiwa walaupun tak sebanyak tahun 1919 atau 1586.

Sebagian besar korban gunung ini karena tersapu lahar letusan. Kawah Gunung Kelud yang terisi air menyebabkan letusan dari magma memuncratkan air dan menyapu desa-desa di sepanjang aliran sungai yang berhulu di kawah ini.

Pada masa lalu, Gunung Kelud dipercaya menimbulkan banyak masalah. Pemetaan kepurbakalaan di Kediri oleh Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional bersama Universitas Gadjah Mada pada 1987 menyimpulkan, Kerajaan Kadiri (Panjalu) sering terganggu oleh letusan Gunung Kelud. Selain dampak langsung dari letusan, Kerajaan Kadiri juga terdampak dari banjir lahar Kelud yang dibawa oleh Sungai Brantas.

Kesimpulan itu dibuat setelah tim yang didukung Direktorat Perlindungan dan Pembinaan Peninggalan Sejarah dan Kepurbakalaan tersebut menyurvei lima situs di sekitar Kediri. Mereka mengkaji catatan sejarah, kenampakan situs pada foto udara, pengukuran geolistrik, pengeboran tanah, survei arkeologi permukaan dan penggalian, serta informasi penduduk di daerah Kediri. Kelima situs yang disurvei secara lengkap itu mencakup situs Lirboyo, Botolengket, Totok Kerot, Sebanen, dan Semen.

Prof Sutikno yang mengepalai tim gabungan itu menyebutkan, kelima situs itu terpendam material vulkanik dari Gunung Kelud. Sebagai contoh, Situs Totokerot di Desa Bulupasar, Kecamatan Pagu, Kediri. Di situs tersebut, Sutikno menemukan tembikar, keramik, pecahan genteng dan terakota, serta bekas bangunan lama yang terkubur endapan material gunung api berupa abu, pasir, dan kerikil. Keberadaan anak Sungai Harinjing yang berhulu di Gunung Kelud diduga menjadi penyebab terkuburnya situs Totokkerot.

Di Desa Semen, Kecamatan Pagu, ditemukan arca, pecahan bata, kendi, dan batu bata kuno yang juga terkubur material Gunung Kelud. Demikian juga halnya di Dukuh Sebanen, Desa Nambakan, Kecamatan Gampangredjo, juga ditemukan jejak peradaban yang terkubur material Gunung Kelud.

Adapun di Dukuh Jatimulyo, Desa Kepung, Kecamatan Kepung, Kediri, ditemukan candi dari batu bata yang tertimbun material lahar hingga ketebalan 8 meter. Walaupun tertimbun material sedalam itu, candi itu masih dalam kondisi baik. ”Itu membuat para peneliti berkesimpulan bahwa penimbunan terjadi secara perlahan-lahan,” kata Sutikno.

Proses yang sama juga mengubur Candi Dorok di Dusun Ndoro, Desa Manggis, Kecamatan Puncu, Kediri. Candi ini tak sengaja ditemukan oleh Tumidi (56), petani melinjo, yang sedang mencangkul di ladangnya.

Suatu pagi 16 tahun silam, saat ia hendak menggali tanah untuk menanam melinjo, tiba-tiba mata cangkulnya membentur batuan keras. Tidak hanya satu titik, tetapi lebih dari tiga titik yang ia temukan. Ia seolah mendapati sebuah lantai batu di bawah kebunnya itu.

Saya lapor ke RT, terus berlanjut ke kelurahan. Ternyata ada candi di halaman kebun saya,” ceritanya.

Penggalian candi pun dilakukan. Candi Ndorok benar-benar terkubur. Kaki candi berada 3 meter di dalam tanah.

Beberapa bagian candi yang berukuran 7 meter x 7 meter itu tak utuh lagi. Ada bagian candi yang roboh dan menumpuk di salah satu sisi candi. Arkeolog dari Universitas Negeri Malang, Dwi Cahyono, mengatakan, kemungkinan candi itu terempas lahar Kelud sebanyak tiga kali. Itu terlihat dari adanya tiga lapisan tanah berpasir yang mengelilingi candi tersebut. Lapisan atas didominasi material pasir lembut. Lapisan kedua, berkedalaman sekitar 0,5 meter, berupa pasir lembut dan tanah. Lapisan ketiga, berkedalaman sekitar 1,75 meter, diisi oleh batu kerikil dan pasir.

Dwi Cahyono mengatakan, ketiga lapisan itu bisa jadi menunjukkan tiga kali letusan Kelud. Ada kemungkinan lapisan terbawah adalah lahar dari hasil letusan tahun 1919 yang merupakan letusan besar Kelud. Letusan waktu itu memang mengarah ke Kediri. Adapun lapisan di tengah yang lebih tipis merupakan hasil banjir lahar dari erupsi tahun 1951, dan yang paling atas akibat banjir lahar yang disebabkan oleh letusan tahun 1966.

Tubuh candi yang tak utuh dan roboh ke arah Barat diperkirakan terjadi karena empasan lahar yang menghantam kaki candi. Batu-batu itu masih tertumpuk di salah satu sisi candi.

Sumber: KOMPAS Cetak edisi Sabtu, 21 Jan 2012

Leave a Reply