Jaksa Dilaporkan Terdakwa Bioremediasi Chevron

Share Article

Kesalahan fatal jaksa penuntut umum pada Kejaksaan Agung yang

menambahi isi pasal dalam sebuah Keputusan Menteri untuk menyeret para

terdakwa pada perkara dugaan korupsi bioremediasi fiktif PT Chevron

Pacific Indonesia akhirnya dilaporkan kepada Komisi Kejaksaan.

Pelapornya awalnya adalah Alumni Institut Teknologi Bandung (ITB)

Angkatan 1994 yang merupakan angkatan salah satu terdakwa yaitu Kukuh

Kertasafari.

Kukuh adalah Koordinator Tim Environmental Issue Settlement Team

Sumatera Light South Minas PT Chevron yang menjadi salah satu terdakwa

kasus tersebut. Selain didakwa dengan isi pasal yang berbeda, ternyata

pekerjaan Kukuh juga tak terkait dengan proses bioremediasi.

"Kami awalnya hanya Alumni ITB angkatan 1994 yang mendukung Kukuh

untuk melaporkan masalah kriminalisasi kegiatan bioremediasi ini ke

Komisi Kejaksaan. Tapi, malam ini sedang berlangsung rapat yang akan

memutuskan semua angkatan di ITB akan mendukung Kukuh," kata Ahmad

Shalahudin Zulfa, Perwakilan Ikatan Alumni ITB Komisariat Angkatan

1994, di Jakarta, Senin (29/4).

Kukuh bersama perwakilan Angkatan ITB 1994 telah menghadap ke Komisi

Kejaksaan dan ditemui dengan pimpinan Komisi Kejaksaan pada Jumat

pekan lalu. "Kami melaporkan jaksa yang telah teledor mengutip pasal

pada Keputusan Menteri Lingkungan Hidup No 128 Tahun 2003. Kesalahan

fatal ini telah membuat kegiatan bioremediasi yang sebenarnya tidak

memyalahi aturan, akhirnya dibuat seolah menyalahi aturan," kata

Ahmad.

Tindakan tidak profesional jaksa yang dipermasalahkan adalah landasan

dakwaan berdasar Kepmen LH No 128 Tahun 2003, dikatakan jaksa

konsentrasi minimal tanah tercemar (TPH/Total Petroleum Hidrocarbon)

yang boleh dibioremediasi adalah +7,5 – 15% dan TPH hasil akhir

bioremediasi adala kurang atau sama dengan 1 persen.

Sementara, kata Ahmad, di dalam Kepmen LH No 128 tahun 2003, ternyata

tidak ada tertulis +7,5 – 15 %, tetapi yang ada adalah bahwa

bioremediasi dilakukan maksimum TPH 15%, dan diturunkan hingga 1%.

"Angka 7,5% tidak ada dalam Kepmen tersebut. Dengan kutipan yang salah

ini, bioremediasi yang dilakukan Chevron yang memproses tanah dengan

TPH 1-7,5% dianggap menyalahi aturan, padahal sebenarnya itu masih

dalam rentang," kata Ahmad.

Jaksa akhirnya menganggap tindakan bioremediasi yang legal dianggap

menjadi tidak legal. Sesuatu yang benar menjadi dianggap sebagai

korupsi. "Bioremediasi yang dilakukan Chevron yang kemudian dananya

akan ditagihkan ke negara akhirnya dianggap korupsi, seseorang yang

seharusnya tudak menjadi terdakwa akhirnya bisa menjadi terdakwa,"

kata Ahmad.

Ahmad berkeyakinan, diseretnya para terdakwa dengan alasan yang

berbeda-beda, misalnya yang kontraktor pelaksana teknis dijerat dengan

perizinan, merupakan upaya kriminalisasi yang mengada-ada dan

menunjukkan lemahnya dakwaan. "Persoalan ini sudah menyebar ke

berbagai mailing list alumni ITB, karena itu kami menganggapnya sudah

serius," kata Ahmad.

Kasus bioremediasi Chevron menyeret 5 terdakwa, tiga orang dari

Chevron dan dua orang dari kontraktor pelaksana teknis bioremediasi.

Jika para terdakwa dari Chevron dijerat dengan salah satu pasal yang

bunyinya berbeda dari aslinya, para terdakwa dari kontraktor dijerat

dengan dakwaan perizinan yang aturannya belum ada. Saksi dari

Kementerian Lingkungan Hidup ternyata menyatakan, berdasarkan

peraturan pemerintah, kontraktor tak perlu mendapat izin karena izin

hanya diwajibkan bagi penghasil limbah yaitu Chevron. (AMR)

Leave a Reply