Hukuman Pencabutan Hak Politik Koruptor Didukung

Share Article

Di luar kebiasaan jaksa penuntut umum pada Komisi Pemberantasan Korupsi mengajukan hukuman tambahan untuk terdakwa Irjen (Pol) Djoko Susilo berupa pencabutan hak politik terutama untuk memilih dan dipilih dalam jabatan publik. Banyak kalangan yang memberikan apresiasi terhadap hukuman tambahan ini.

Ahli hukum pidana korupsi Universitas Indonesia Akhiar Salmi dan peneliti Indonesia Corruption Watch Abdullah Dahlan di Jakarta, Rabu (21/8), menyatakan hukuman tambahan ini memang sudah diatur dalam KUHPidana dan perlu didukung. “Dalam Pasal 10 huruf b angka 1, disebutkan adanya pidana tambahan berupa pencabutan hak-hak tertentu.

Sebagaimana diberitakan di Kompas sebelumnya, jaksa pada KPK menuntut Djoko Susilo dengan pidana penjara 18 tahun dan denda Rp 1 miliar subsider satu tahun kurungan. Djoko juga dibebani kewajiban membayar uang pengganti kerugian negara sebesar Rp 32 miliar subsider kurungan lima tahun.

Tak hanya itu, jaksa KPK juga memohon kepada majelis hakim agar menjatuhkan hukuman tambahan yaitu tak boleh memilih dan dipilih dalam jabatan publik. “Dalam ketentuan Pasal 10 huruf b KUHPidana juncto Pasal 35 ayat (1) angka 3 KUHPidana mengatur bahwa pidana yang dijatuhkan dapat ditambah dengan pidana tambahan berupa pencabutan hak-hak tertentu yaitu hak memilih dan dipilih dalam pemilihan yang diadakan berdasarkan aturan-aturan umum,” begitu salah satu pertimbangan jaksa KPK.

Usai sidang tuntutan pada Selasa lalu, jaksa KPK seperti biasa tak mau memberikan keterangan kepada media massa terkait alasan spesifik mengapa baru kali ini KPK mengajukan tuntutan pencabutan hak politik. Hanya saja, dalam surat tuntutan jaksa, tersirat bahwa langkah ini diduga terkait karakter terdakwa yang dianggap sangat berkuasa.

Akhiar menilai, langkah jaksa KPK untuk mengajukan permohonan pencabutan hak politik ini sebagai terobosan untuk membuat koruptor jera. Selama ini, praktik politik di Indonesia masih memberikan tempat pada mantan narapidana korupsi, bahkan diantara mereka dipromosikan dengan jabatan baru.

“Secara prinsip, mereka yang pernah terlibat korupsi tak layak lagi duduk di jabatan politik, karena mereka nantinya bisa mempengaruhi dalam kebijakan politik atau kebijakan anggaran,” kata Akhiar.

Setelah jaksa KPK sudah menunjukkan keberaniannya untuk mengajukan penghapusan hak politik, maka kini bola di tangan para anggota majelis hakim. “Kita berharap hakim berani memutuskan. Kalau hakim berani, maka akan jadi yurisprudensi,” kata Akhiar.

Koruptor yang telah mendapatkan keputusan tetap, menurut Akhiar, telah melanggar hak azasi hidup fakir-miskin yang membutuhkan hak-hak dasar untuk hidup, seperti sandang, pangan, papan, pendidikan ,dan kesehatan yang layak. Karena itu, menurut Akhiar, pencabutan hak politik bagi koruptor yang telah memiliki keputusan hukum tetap tak akan melanggar hak azasi manusia.

Peneliti Indonesia Corruption Watch, Abdullah Dahlan, mengatakan sudah saatnya juga pelaku korupsi selain diberi sanksi hukum juga diberi sanksi politik. “Koruptor itu telah berkhianat membawa mandat publik dalam jabatan publiknya, sehingga wajar jika ada hukuman tambahan bagi koruptor agar tak lagi menduduki jabatan publik,” kata Abdullah.

Selain itu, sudah menjadi kewajaran jika seorang pejabat publik itu harus memiliki rekam jejak yang baik, termasuk tidak pernah terkait dengan kasus-kasus korupsi. Jika langkah jaksa KPK ini bisa diterapkan pada semua kasus korupsi dan hakim juga mengabulkannya, maka di kemudian hari tak akan ada perdebatan jika seorang mantan terpidana korupsi akan mengajukan diri dalam jabatan publik.

“Sanksi pencabutan hak politik ini patut diapresiasi dan didukung semua pihak agar negeri ini segera bersih dari korupsi,” kata Abdullah. Partai politik diharapkan juga tak menawar lagi ketika berhadapan dengan tawaran dari koruptor untuk menjadi kader atau ikut dalam rekrutmen politik. (AMR)

Leave a Reply