Hindari Bom Waktu 22 Juli, Kerahkan Saksi Kredibel

Share Article

Para pemantau pemilu dan Komisi Pemilihan Umum mengingatkan agar para pihak, terutama peserta pemilu, menghindari bom waktu pada 22 Juli saat rekapitulasi tingkat nasional dan pengumuman hasil Pemilu. Kedua pasangan calon harus serius mengerahkan para saksi di jenjang rekapitulasi tingkat Panitia Pemungutan Suara dan Panitia Pemilihan Kecamatan yang berlangsung empat hari ke depan.

Jangan sampai, saksi yang diturunkan saksi abal-abal yang tak tahu soal prosedur rekapitulasi dan tak bisa menyampaikan keberatan jika ada masalah. Election Spesialist dan Penasehat Pemantauan Kemitraan, Wahidah Suaib, saat menggelar konferensi pers laporan pemantauan di KPU, Jakarta, Jumat (11/7), mengatakan persoalan klasik ini memang terjadi pada Pemilu Legislatif yang disebabkan tak adanya saksi yang kredibel.

“Saksi kurang memahami aturan dan prosedur sehingga secara substansi keberadaanny antara ada dan tiada dalam mengawal suara partainya,” kata Wahidah. Problem lain dengan saksi adalah dirasa kurang gigih dalam mengajukan keberatan terhadap proses dan hasil penghitungan suara atau rekapitulasi yang tidak sesuai aturan sehingga tidak bisa berbuat maksimal saat partainya dirugikan.

Padahal, proses mengajukan keberatan, kemudian dicatat dalam berita acara, merupakan salah satu yang akan dilihat oleh Mahkamah Konstitusi jika ada sengketa. Jika sampai ada masalah di tingkat PPS/PPK tapi tak ada catatan keberatan dari saksi, maka dianggap tak ada masalah di tingkatan tersebut.

“Ada pula saksi yang sangat gigih membela partainya tapi tidak dibarengi dengan pemahaman aturan yang kuat sehingga mengganggu kelancaran proses rekapitulasi dengan keberatan yang tidak berdasar aturan dan atau fakta,” kata Agung Wasono, Program Manager & Koordinator Pemantau Kemitraan. Kondisi saksi yang tak optimal itu kemudian didukung oleh penyelenggara tingkat bawah yang cenderung menunda-nunda menyelesaikan persoalan.

“Penyelenggara di bawah cenderung tidak menuntaskan keberatan saksi atau pengawas pemilu sesuai tingkatan, biasanya disertai dengan kalimat pamungkas ‘Silahkan ajukan keberatan ke MK’,” kata Agung. Situasi seperti inilahyang akhirnya menimbulkan gunung masalah yang menjadi bom waktu pada rekapitulasi Propinsi dan Pusat.

Wahidah menyerukan kepada kedua pasangan calon, jika ingin tanding data, silakan segera diselesaikan di tingkat PPS/PPK dengan menghadirkan saksi-saksi yang kredibel, bukan saksi abal-abal yang keberadaannya antara ada dan tiada. “Saksi harus mampu menjadi ‘korektor’ yang handal atas kesalahan atau pelanggaran, dan saksi tidak menjadi bagian dari politik transaksional yang mencederai hak pemilih dan pasangan calon lainnya,” kata Wahidah.

Penyelenggara pemilu (KPU dan Bawaslu) juga diimbau agar menjaga netralitas dan bekerja secara transparan dalam proses rekapitulasi. Masyarakat pemilih dan organisasi masyarakat sipil, juga diharapkan agar menjadi pemilih yang kritis dengan berperan aktif mengawal proses dan hasil pemilu.
Komisioner KPU, Ida Budhiati, juga berharap persoalan di TPS, PPS, dan PPK dapat diselesaikan penyelenggara pemilu di tingkatan masing-masing. “Hanya dengan cara seperti itu, kita tidak lagi menumpuk masalah yang nantinya akan menjadi bom waktu di pusat,” kata Ida.

Karena itu, KPU menekankan, kontrol terhadap proses rekapitulasi di tingkat penyelenggara ad-hoc yaitu PPS dan PPK ini menjadi sangat penting oleh peserta, pengawas pemilu, dan pemangku kepentingan lainnya. “KPU membuka akses seluas-luasnya kepada pemangku kepentingan untuk berperan dalam mengawasi proses rekapitulasi ini, silakan diawasi dan jika ada persoalan harus diselesaikan di tingkatan tersebut,” kata Ida.

Pematangan modus
Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR) juga menggelar laporan pemantauan di KPU. Koordinator Nasional JPPR, M Afifudin, mengakui pada Pemilu Presiden kali ini lebih sedikit temuan yang didapat dibanding Pemilu Legislatif. “Kami sendiri memiliki pemantau yang tersebar sampai pelosok, tapi temuan yang signifikan kali ini tak ada, yang ada paling persoalan administratif dan beberapa intimidasi ringan,” kata Afifudin.

Afifudin menduga, fokus atau usaha pencurangan tak akan masif terjadi di TPS setelah mereka belajar pada Pemilu Legislatif lalu. Karena itu, pihaknya akan terus memantau pada saat rekapitulasi di PPS dan PPK, sambil nantinya mencocokkan C1 yang diunggah di website KPU dengan rekapitulasi di PPS dan PPK.

Wahidah Suaib menengarai gejala ini sebagai pematangan modus yang disiapkan lebih rapi dan canggih pada Pemilu Presiden kali ini. Tingginya keyakinan masing-masing pendukung atas kemenangan yang telah diperoleh menjadi potensi kerawanan tersendiri dalam proses rekapitulasi yang berlangsung di PPS menuju PPK saat ini.

“Perlu diwaspadai politik transaksional dengan beragam modus manipulasi suara dengan disertai politik uang, yang besar kemungkinan akan terulang kembali dengan pola-pola yang lebih matang dan terorganisir dibanding Pileg lalu,” kata Wahidah yang juga mantan anggota Bawaslu ini. Karena itu perlu pengawalan bersama proses rekapitulasi oleh semua elemen. (AMR)

PELANGGARAN REKAPITULASI YANG POTENSIAL MENIMBULKAN MANIPULASI
1. Kotak suara dari TPS ke PPS tidak tergembok dan tidak tersegel
2. PPS tidak merespon keberatan dari Saksi
3. PPS tidak merespon keberatan dari Pengawas Pemilu
4. Saksi tidak menerima Salinan Berita Acara dan Sertifikat Hasil Rekapitulasi di PPS
5. Pengawas Pemilu Lapangan tidak menerima Salinan Berita Acara dan Sertifikat Hasil Rekapitulasi di PPS
6. PPS tidak menggembok dan menyegel kotak suara yang berisi Berita Acara dan Sertifikat Hasil Rekapitulasi sebelum dibawa ke PPK
Sumber: Temuan Kemitraan (Partnership for Governance Reform) pada Pemilu Legislatif 2014.

Leave a Reply