Djoko Susilo Divonis 10 Tahun, Hartanya Rp 200 M Disita Negara

Share Article

Akhirnya, Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Jakarta, memvonis terdakwa
Irjen (Pol) Djoko Susilo dengan pidana penjara 10 tahun dan denda Rp
500 juta subsider kurungan enam bulan. Majelis hakim juga
memerintahkan agar harta kekayaan yang menjadi barang bukti dengan
total nilai pasarnya Rp 200 miliar, agar disita untuk negara.

Dalam sidang yang dipimpin Ketua Majelis Hakim, Suhartoyo, Selasa
(3/9), majelis hakim berkeyakinan terdakwa perkara korupsi pengadaan
simulator berkendara pada Korps Lalu Lintas Polri dan pencucian uang
ini terbukti bersalah dalam tiga dakwaan.

“Menyatakan terdakwa Irjen (Pol) Djoko Susilo terbukti secara sah dan
meyakinkan menurut hukum bersalah melakukan tindak pidana korupsi
secara bersama-sama dan gabungan beberapa kejahatan, sebagaimana
diatur dan diacam pidana dalam dakwaan kesatu primer, dan tindak
pidana pencucian uang secara bersama-sama dan gabungan beberapa
kejahatan sebagaimana diatur dan diancam dalam dakwaan kedua pertama
dan dakwaan ketiga,” kata Suhartoyo.

Dakwaan kesatu primer adalah Pasal 2 ayat (1) juncto Pasal 18 UU No
31/1999 tentang Pemberantasan Tipikor sebagaimana diubah dengan UU No
20/2001 juncto pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP juncto pasal 65 ayat 1 KUHP.
Dakwan kedua pertama adalah Pasal 3 UU No 8/2010 tentang Pencegahan
dan Pemberantasan (PP) TPPU dan dakwaan ketiga sesuai Pasal 3 Ayat 1
Huruf c, UU No 15/2002 tentang PPTPPU.

Vonis ini lebih ringan dari tuntutan jaksa penuntut umum pada KPK,
yaitu pidana penjara 18 tahun dan denda Rp 1 miliar subsider kurungan
1 tahun, uang pengganti Rp 32 miliar subsider 5 tahun penjara,
ditambah permohonan agar dicabut hak politiknya. Majelis hakim tak
membebani uang pengganti karena beranggapan harta yang disita sudah
mencukupi.

Hakim anggota Anwar mengatakan, terdakwa telah terbukti membeli aset
yang berasal dari tindak pidana, maka majelis akan menyatakan harta
tersebut dirampas untuk negara. “Dengan demikian, tidak adil jika
terdakwa diberi pidana uang pengganti. Oleh karena itu, terdakwa harus
dibebaskan membayar uang pengganti,” kata Anwar.

Majelis hakim juga tak sependapat dengan tuntutan jaksa KPK soal
pencabutan hak politik untuk memilih dan dipilih dalam jabatan publik.
“Dicabutnya hak politik menurut majelis hakim dipandang berlebihan.
Mengingat terdakwa dipidana cukup lama, maka dengan sendirinya akan
terseleksi oleh syarat-syarat yang ada dalam organisasi politik.
Karena itu majelis hakim tak akan menjatuhkan pidana tambahan tentang
hal tersebut,” kata Anwar

Majelis hakim sependapat dengan tuntutan jaksa tentang daftar barang
bukti berupa harta kekayaan yang harus disita untuk negara. Kecuali,
tiga harta yang harus dikembalikan kepada pemiliknya, yaitu sebidang
tanah di Jagakarsa dan dua unit mobil Avanza agar dikembalikan ke
pemiliknya.

Ketiga harta itu yaitu tanah di Cendrawasih, Jagakarsa, Jakarta
Selatan agar dikembalikan ke Suratmi karena dibeli pada 2001 sebelum
UU No 15/2002 tentang TPPU. Mobil Avanza atas nama Sonya Warau agar
dikembalikan, dan mobil Avanza atas nama M Zainal Abidin juga agar
dikembalikan ke yang bersangkutan.

Empat kesalahan

Dalam tindak pidana korupsi, majelis hakim setidaknya menyebutkan
empat kesalahan yang dilakukan terdakwa selaku Kepala Korlantas Polri
dan juga Kuasa Pengguna Anggaran. Terdakwa dianggap terlibat dalam
memberikan verifikasi pengajuan kredit ke Bank BNI untuk modal Rp 100
miliar yang diajukan Budi Susanto, Direktur PT Cipta Mandiri Metalindo
Abadi (CMMA). Kesalahan terjadi karena pagu anggaran saja belum ada
dan proyek belum dibahas.

Terdakwa juga terbukti memerintahkan panitia pengadaan agar
memenangkan PT CMMA. Terdakwa juga memerintahkan pembuatan Harga
Perkiraan Sendiri dengan cara menaikkan harga.

Djoko juga bersalah memerintahkan dan menyetujui pencairan anggaran
sebelum pekerjaan selesai. “Hal ini bertentangan dengan undang-undang
perbendaharaan negara dan Peraturan Presiden tentang pengadaan barang
dan jasa pemerintah,” kata hakim Amin Sutikno.

Dalam TPPU, dalam rentang sejak 2010 hingga 2012, terdakwa banyak
membeli properti berupa tanah, rumah, SPBU, dan kendaraan dengan
mengatasnamakan kerabat atau orang lain. Misalnya, pada 2010 dengan
menggunakan nama Djoko Waskito, ayah Dipta Anindita, istri kedua
Djoko, membeli sebidang tanah dan SPBU di apuk Raya, Penjaringan,
Jakarta Utara, seharga Rp 11,5 miliar.

Selain tak sesuai dengan profil pendapatan sebagai anggota Polri,
dalam rentang tahun itu, terdakwa terbukti telah menerima Rp 32 miliar
dari Budi Susanto, Direktur PT CMMA, pemenang proyek simulator
berkendara. Hakim mengatakan, patut diduga uang yang digunakan untuk
belanja SPBU, tanah, rumah, dan kendaraan pada 2010-2012 terkait
dengan pemberian uang Rp 32 miliar tersebut. Dengan demikian, unsur
dengan tujuan menyembunyikan atau menyamarkan harta telah terpenuhi.

Untuk pencucian uang dalam rentang 2003-2010, hakim menilai seluruh
kekayaan Djoko yang berjumlah Rp 54,6 miliar dan 60.000 dollar AS
patut diduga hasil tindak pidana korupsi karena tidak sesuai dengan
penghasilan Djoko sebagai anggota Polri.

Anwar menjelaskan, kekayaan yang diperoleh terdakwa sebagai anggota
Polri pada 2003-2010 hanya Rp 407,1 juta dan penghasilan di luar gaji
anggota Polri yang dilaporkan sampai Agustus 2010 ke Laporan Harta
Kekayaan Penyelenggara Negara seluruhnya Rp1,2 miliar.

Terdakwa di persidangan diakui Anwar memang sudah berusaha membuktikan
harta yang diperolehnya namun setelah majelis hakim mencermatinya,
ternyata tak ada alasan secara hukum untuk membenarkan pembuktian
tersebut. “Karena terdakwa tak bisa membuktikan bahwa itu bukan hasil
tindak pidana korupsi. Oleh karena itu, harta kekayaan tersebut patut
diduga merupakan hasil tindak pidana, telah terpenuhi dan ada dalam
perbuatan terdakwa,” kata Anwar. (amirsodikin.com)

Leave a Reply