Inspektur Jenderal (Pol) Djoko Susilo akhirnya menjalani sidang
perdana di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Jakarta. Jaksa penuntut
umum pada Komisi Pemberantasan Korupsi menjerat Djoko dengan pasal
berlapis dengan Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi dan UU Tindak
Pidana Pencucian uang.
Sidang yang dipimpin Ketua Majelis Hakim Suhartoyo digelar di
Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Jakarta, pada Selasa (23/4), dengan
disesaki pengunjung dari berbagai kalangan, termasuk petugas
kepolisian. Djoko didampingi para pengacara senior diantaranya Juniver
Girsang dan Hotma Sitompoel.
Jaksa penuntut umum Kemas Abdul Roni dalam surat dakwaannya
memaparkan, terdakwa selaku Kepala Korps Lintas Polri yang saat itu
menjadi Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) Pengadaan Driving Simulator Uji
Klinik Pengemudi Roda Dua (R2) dan Pengadaan Driving Simulator Uji
Klinik Pengemudi Roda Empat (R4) telah melakukan perbuatan yang
bertentangan dengan UU No 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara
dan Peraturan Presiden No 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa
Pemerintah.
Proyek pengadaan simulator berkendara tersebut bersumber pada APBN
tahun anggaran 2011 dan telah memperkaya Djoko hingga Rp 32 miliar
dengan total kerugian negara Rp 144,9 miliar. Terdakwa dianggap telah
menggunakan kewenangannya untuk memperlancar proyek pengadaan
tersebut.
Salah satu perintah terdakwa adalah agar menjadikan PT Cintra Mandiri
Metalindo Abadi (CMMA) milik Budi Susanto dimenangkan dalam lelang.
Untuk memuluskan PT CMMA, Budi Susanto atas sepengetahuan Teddy
Rusmawan (Ketua Panitia Pengadaan) dan Sukotjo Sastronegoro Bambang,
pada Januari 2011 menyiapkan perusahaan-perusahaan pendamping dalam
proses pelelangan agar kemenangan PT CMMA tidak mencurigakan.
Dalam jeratan pasal tindak pidana korupsi, Djoko didakwa bersama-sama
dengan Didik Purnomo, Teddy Rusmawan, Budi Susanto, dan Sukotjo
Sastronegoro Bambang yang dakwaannya akan dilakukan terpisah. Proyek
pengadaan simulator berkendara yang bersumber pada APBN tahun anggaran
2011 tersebut juga memperkaya orang lain atau korporasi.
Mereka yang diuntungkan yaitu Didik Purnomo sebesar Rp 50 juta, Budi
Susanto selaku Direktur PT Citra Mandiri Metalindo Abadi (PT CMMA)
sebesar Rp 93 miliar, Sukotjo Sastronegoro Bambang selaku Direktur PT
Inovasi Teknologi Indonesia sebesar Rp 3,9 miliar, serta memperkaya
pihak-pihak lain seperti Primkoppol Mabes Polri Rp 15 miliar, Wahyu
Indra Rp 500 juta, Gusti Ketut Gunawa Rp 50 juta, Darsian Rp 50 juta,
Warsono Sugantoro Rp 20 juta.
"Perbuatan terdakwa diancam pidana dalam Pasal 2 Ayat (1) juncto Pasal
18 Undang-Undang No 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU No 20 tahun 2001 tentang
Perubahan Atas UU No 31 Tahun 1999 juncto Pasal 55 Ayat (1) ke-1
juncto Pasal 65 Ayat (1) KUHPidana," kata jaksa Roni membacakan
dakwaan primer. Djoko juga dijerat dengan dakwaan subsider yaitu Pasal
3 dengan UU yang sama.
Selain tindak pidana korupsi, Djoko sudah dihadang dengan UU Tindak
Pidana Pencucian Uang (TPPU). Ia didakwa bersama-sama dengan Erick
Maliangkay, Lam Anton Ramli, Mudjiharjo, Sudiyono, Djoko Waskito, Hari
Ichlas, dan Eddy Budi Susanto, pada sekitar tahun 2010 sampai 2012
telah dianggap terlibat dalam perbuatan pencucian uang.
Pasal yang didakwakan yaitu dakwaan kedua berdasar Pasal 3 ATAU Pasal
4 UU Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak
Pidana Pencucian Uang juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 juncto Pasal 65
Ayat (1) KUHPidana. Dakwaan itu dilapisi dengan dakwaan ketiga
berdasar Pasal 3 Ayat (1) huruf c, UU No 15 tahun 2002 tentang TPPU
sebagaimana telah diubah dengan UU No 25 Tahun 2003 tentang Perubahan
Atas UU No 15 Tahun 2002 juncto Pasal 55 Ayat (1) ke-1 juncto Pasal 65
Ayat (1) KUHPidana.
Penggunaan dua UU TPPU tersebut dilakukan terutama untuk mengejar
pencucian uang yang dilakukan terdakwa pada tahun 2010 ke bawah.
"Berupa perbuatan yang menempatkan, mentransfer, mengalihkan,
membelanjakan, membayarkan, menghibahkan, menitipkan, membawa ke luar
negeri, mengubah bentuk, menukarkan dengan mata uang atau surat
berharga atau perbuatan lain atas harta kekayaan," kata jaksa Roni.
Pencucian uang yang didakwakan berdasar atas kepemilikan beberapa
bidang tanah di Jakarta, Yogyakarta, Bali, Surakarta, dan juga
berbagai merk kendaraan.
Berdasarkan Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) atas
nama terdakwa per pelaporan 20 Juli 2010, terdakwa seharusnya tak
memiliki kekayaan sebanyak itu. Ia hanya memiliki penghasilan di luar
gaji berupa dari profesi/keahlian Rp 240 juta, penghasilan dari usaha
jual beli perhiasan dan properti Rp 960 juta.
"Dari gaji, dari Januari 2010 – Desember 2010 Rp 93,5 juta. Jan 2011 –
Desember 2011 Rp 113,3 juta, Januari 2012 – Maret 2012 Rp 28,9 juta,"
kata Roni.
Dalam menyembunyikan atau menyamarkan harganya, Djoko memanfaatkan
ketiga istri dan anggota keluarganya dalam akta kepemilikan berbagai
harga. Mereka adalah istri pertama Suratmi, yang dinikahi 26 Juni
1985, kemudian istri kedua Mahdiana yang dinikahi 27 Mei 2001, serta
istri ketiga Dipta Anindita yang dinikahi 1 Desember 2008.
(amr)