Demokrasi Digital Masih Terancam

Share Article

Demokrasi Digital Masih Terancam

Indonesia telah mampu memberdayakan sumber daya internet dengan berbagai inovasi gerakan sosial yang terbukti di 2014. Kalangan aktivis demokrasi digital meyakini, kemampuan warga pengguna internet (netizen) semakin bertambah matang. Namun, demokrasi digital di tahun 2015 semakin banyak tantangan.

Deputi Direktur Public Virtue Institute (PVI), John Muhammad, di Jakarta, Sabtu (10/1), mengatakan, ia masih mengkhawatirkan gerakan demokrasi digital yang usianya masih bayi. Kaum muda Indonesia memang sudah memiliki peralatan baru dalam gerakan sosial, namun bentuknya masih belum jelas.

Memang ada kemajuan signifikan, suara dari dunia digital kini diperhitungkan semua pihak. “Demokrasi memang sudah partisipatoris, warga ikut mengambil keputusan, tapi sesungguhnya elit politik terutama partai politik masih menguasai, kita menuju negara partitokrasi,” kata John.

Ancaman demokrasi digital di 2015 adalah partitokrasi, ketika elit partai membuat keputusan atas nama demokrasi tapi sebenarnya menelikung aspirasi publik. Ada pula, kekhawatiran adanya praktik tokenisme, yaitu menganggap kinerja pemerintahan yang baru serba baik dan tak perlu dikritik.

“Jangan cepat berpuas diri, ini jadi catatan kami,” kata John. Masih banyak ang perlu dikritik dari pemerintahan Jokowi, misal kecenderungan posisi penegakan hukum seperti Jaksa Agung dan Kepala Polri yang diberikan kepada orang yang jelas-jelas berafiliasi dengan partai. Karena itu, harus ada kesadaran pegiat demokraasi digital untuk terus mengkritik partitokrasi dan tokenisme.

“Harus ada inisiatif agar kontrol netizen terus berkembang. Tokenisme dan partitokrasi bisa kita lawan,” kata John. Melawan dua hal tadi, di tahun mendatang, tak cukup lagi dengan gerakan kampanye menggunakan tagar (hashtag), tak cukup pula sekadar bermain trending topic di media sosial.

Salah satu perbaikan adalah dengan memanfaatkan sumber data yang tersedia, diolah sebaik mungkin untuk jadi rujukan dan data pembanding. Hanya dengan data, semua ancaman itu bisa dilawan.

Ke depan, gerakan dengan memanfaatkan data ini harus lebih bagus lagi. Misal memberi data pembanding terhadap kebihakan pemerintah. “Saya menantang aktivisme digital, termasuk diri saya sendiri, untuk lebih maju lagi bukan sekadar bermain trending topic dan tagar,” kata John.

Koordinator Regional Safenet, Damar Juniarto, mengatakan, ancaman lain berasal dari UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), terutama Pasal 27 ayat (3). Selain memang ada kecenderungan pemerintah warisan Susilo Bambang Yudhoyono yang makin mengatur konten di internet.
Berbeda kondisinya dengan 1998, ketika pemerintah sibuk menapis media arus utama dan membiarkan internet, kini media arus utama lebih dibiarkan dan penapisan difokuskan pada konten internet. “Kini ada kesadaran pemerintah yang menganggap internet ini harus diatur,” kata Damar.

Pemerintah makin khawatir terhadap internet. Ketika alat perjuangan baru ini lahir, pemerintah telah menapisnya dengan berbagai cara. “Jangan sampai inisiatif demokrasi digital yang masih bayi malah buru-buru dimatikan,” kata Damar.

Karena itu, semua pihak harus menyadari soal hak internet bagi warga. Safenet mencatat, sudah ada 74 netizen yang dijerat dengan UU ITE dan 44 kasus diantaranya atau 59 persen, ada di tahun 2014. “Kalau tak ada kelompok yang sadar dengan ancaman ini dan membiarkannya, maka akan bahaya,” kata Damar.

Dalam Temu Demokrasi Digital Indonesia (TEDI) 2014, yang dihadiri para aktivis demokrasi, kekhawatiran versus peluang pemanfaatan internet ini masih dominan. Aktivis gerakan digital, Ulin Yusron, mengatakan, sekarang ini menggunakan media sosial sebagai lucu-lucuan tidak cukup.

“Menggunakan media sosial untuk perubahan, itu yang paling penting. Di 2014, media sosial sudah membuktikan menjadi pedang untuk kekuasaan. Membuat pemerintah mengoreksi apa yang salah di mata masyarakat,” katanya.

Karena itu, kata Ulin, demokrasi digital harus didorong untuk menyongsong 2019. “Kita harus dorong pemerintah untuk membangun infrastruktur internet yang murah dan bisa diakses semua orang,” kata Ulin.

Shafiq Pontoh, Chief Strategy Officer Provetic, mengatakan, sekarang, politik menjadi pembicaraan paling ramai di dunia digital. “Dulu, suara bisa digelembungkan. Sekarang orang-orang bisa mengawal suaranya dengan kawalpemilu.org. Untuk memperkuat demokrasi digital yang sekarang, perlu ada validasi kebenarannya,” kata Shafiq.

Suwandi Ahmad dari iLab lebih menyoroti masih terbatasnya penetrasi internet. Tantangan di 2015, bagaimana internet harus terjangkau dan aksesibel bagi semua orang, karena akses internet adalah bagian dari hak asasi manusia.

“Di tahun mendatang, tidak terjadi lagi Menteri Komunikasi dan Informasi melaporkan lagi berapa triliun yang ia tarik dari seluruh masyarakat Indonesia, tapi sudah mulai melaporkan berapa persen penetrasi internet di Indonesia,” harap Suwandi.

Apa yang dikatakan Suwandi bukan mengada-ada. Blogger Arumbai Maluku, Almascatie, memberi kesaksian betapa sulitnya akses internet di Indonesia bagian timur. Di satu sisi, internet ternyata telah menjadi alat perjuangan baru yang bisa mengadvokasi kebijakan yang keliru.

“Ketika orang bicara kemajuan internet, kami orang dari timur hanya menonton,” kata Almascatie. Ia memberi contoh perjuangan warga di pelosok Maluku yang harus menitipkan foto kerusakan jalan kepada orang yang akan ke daerah kabupaten. Lama perjalanan ke kabupaten bisa dua hari, hanya untuk menitipkan foto untuk bisa diunggah ke media sosial dan harapannya bisa didengar.

Direktur Kampanye Change.org, Arief Azis, mengatakan, setidaknya ada empat prasyarat untuk berkembangnya demokrasi digital. Keempat itu adalah infrastruktur digital yang merata, masyarakat sipil yang melek atau mengerti digital, kepastian hukum, dan politisi atau pejabat yang mendengar melalui digital kanal digital.

Saya meyakini, arus demokrasi digital ini semakin signifikan dan makin didengar,” kata Arief. (Amir Sodikin)

Leave a Reply