Candu Impor Kedelai dari Amerika Serikat

Share Article

Yessar Rosendar, The Conversation

Melonjaknya harga kedelai pada awal tahun ini telah membuat produsen tempe dan tahu berteriak sampai sempat menghentikan produksinya beberapa waktu lalu.

Kenaikan harga kedelai, bahan baku utama tempe dan tahu, ini terjadi karena mayoritas komoditas ini berasal dari impor dan mengikuti perkembangan harga dunia. Harga kedelai naik sekitar 30% dari kisaran Rp 6.000–7.000-an per kilogram, menjadi Rp 8.000–9.000.

Dampak ikutannya, harga tempe dan tahu di konsumen bisa lebih mahal atau ukurannya lebih kecil. Secara ekonomi, masyarakat menggemari tempe dan tahu karena merupakan sumber protein nabati atau berasal dari tumbuh-tumbuhan yang harganya terjangkau.

Mahalnya harga kedelai terjadi karena pasokan kedelai lokal tidak bisa memenuhi kebutuhan pasar, dan hal ini telah terjadi bertahun-tahun. Indonesia pun telah mengimpor kedelai sejak izin impor dikeluarkan setelah krisis keuangan 1998 atau lebih dari 20 tahun lalu.

Menurut pemerintah, rata-rata kebutuhan kedelai dalam negeri berkisar antara 2 sampai 3 juta ton kedelai per tahun. Karena produksi dalam negeri hanya mampu menyediakan 300.000 ton, impor yang kebanyakan berasal dari Amerika Serikat memenuhi 90% kebutuhan ini.

Kami berbincang dengan dua peneliti untuk mencari tahu penyebab fenomena ini dan mengapa pemerintah harus fokus untuk meningkatkan produktivitas petani kedelai lokal.

adamcohn/flickr, CC BY

Produktivitas kedelai lokal rendah

Menurut Prima Gandhi, peneliti dari Institut Pertanian Bogor, produktivitas petani kedelai lokal rendah karena berbagai macam faktor yang membuatnya cukup rumit untuk dibenahi.

Luas lahan tanam kedelai terus berkurang akibat alih fungsi lahan. Menurut data terbaru tahun 2018, hanya ada sekitar 680.000 hektare yang menanam kedelai, sedangkan yang dibutuhkan untuk memenuhi permintaan dalam negeri dibutuhkan setidaknya 2,5 juta hektare.

Selain itu petani pun menghadapi harga kedelai lokal yang mereka anggap rendah saat panen, ini karena biaya untuk menanam kedelai yang tinggi pun membuat keuntungan petani semakin tipis.

Pemerintah telah mematok harga jual kedelai Rp 8.500 per kilogram di tingkat petani, namun dengan biaya produksi Rp 6.500 per kilogram membuat keuntungan untuk petani cukup tipis.

“Hal ini membuat para petani malas dan tidak mau menanam kedelai lokal. Para petani lebih memilih menanam palawija,” ujar Prima.

Sementara itu menurut Kepala Riset Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Felippa Ann Amanta, produktivitas kedelai lokal yang rendah juga dipengaruhi oleh iklim di Indonesia.

Kedelai adalah tanaman yang sebenarnya merupakan tanaman sub-tropis. Tanaman ini mendapatkan suhu harian dan musiman yang lebih beragam dari daerah tropis, sehingga pertumbuhan di daerah tropis yang hanya memiliki dua musim seperti Indonesia menjadi tidak maksimal. Iklim adalah salah satu faktor yang mempengaruhi tingkat produktivitas.

Usaha produksi kedelai di Indonesia juga harus menyesuaikan dengan pola dan rotasi tanam. Hal ini karena petani belum menilai kedelai sebagai tanaman utama. Kedelai masih diposisikan sebagai tanaman penyelang atau selingan setelah tanaman utama padi, jagung, tebu, tembakau, bawang merah atau tanaman lainnya.

Selain itu, kedelai adalah jenis tanaman yang membutuhkan kelembapan tanah yang cukup dan suhu yang relatif tinggi untuk pertumbuhan yang optimal. Sementara itu di Indonesia, curah hujan yang tinggi pada musim hujan sering berakibat tanah menjadi jenuh atau penuh air.

Selain itu drainase atau pembuangan air yang buruk juga menyebabkan tanah juga menjadi kurang ideal untuk pertumbuhan kedelai. Permasalahan lahan yang terbatas juga perlu diperhatikan.

Menurut Felippa, lahan yang cocok untuk ditanami kacang kedelai harus memiliki kadar keasaman yang netral dengan kedalaman minimal 20 sentimeter. Jenis lahan seperti ini tidak tersedia di semua wilayah Indonesia.

Apa yang harus menjadi prioritas pemerintah

Menurut Felippa, pemerintah sebaiknya fokus pada upaya untuk meningkatkan produktivitas dan kualitas kedelai nasional.

“Impor sebenarnya dibutuhkan karena ada kesenjangan antara kebutuhan dan ketersediaan. Selain itu, kedelai nasional juga sulit terserap karena tidak mampu bersaing dengan kedelai impor yang lebih berkualitas baik dengan harga lebih murah,” ujar Felippa.

Petani kedelai nasional dihadapkan pada berbagai persoalan yang membuat kedelai produksi mereka tidak bisa terserap oleh pasar secara maksimal. Persoalan itu seperti kualitas dan harga yang tidak bisa bersaing dengan kedelai impor.

Maka dari itu Pemerintah harus bisa meningkatkan produktivitas para petani.

“Tentu saja meningkatkan produktivitas bukan hal mudah. Karena itu, pemerintah perlu membina dan mendampingi petani kedelai, serta investasi dalam bentuk modal. Dengan pembinaan yang intensif maka produktivitas yang bisa lebih meningkat,” kata Felippa.

Pembinaan dapat dilakukan, antara lain dengan penggunaan benih, pupuk dan sarana produksi lain yang tepat. Pembinaan juga dapat dilakukan melalui kerja sama dengan pihak swasta.

Peningkatan produktivitas kedelai sangat penting karena Indonesia adalah negara dengan konsumsi kedelai terbesar di dunia setelah Cina.

Baru-baru ini Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo berencana untuk mengejar produksi kedelai lokal dalam waktu 200 hari atau dua kali musim tanam. Menurut Prima, swasembada atau pemenuhan kebutuhan kedelai dari produsen lokal hanya akan terjadi jika permasalahan di atas mampu diselesaikan pemerintah.

“Swasembada kedelai bisa tercapai asalkan ada political will dari pemerintah untuk menambah luas lahan tanaman kedelai, menemukan varietas baru, serta meregulasi tata niaga meliputi regulasi harga dan pengendalian impor, karena selama ini bebas impor dan bahkan bebas bea masuk,” ujar Prima.

Yessar Rosendar, Business + Economy (Indonesian edition), The Conversation

Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber.

Leave a Reply