Berbohong itu Pembelaan Sia-sia

Share Article

Bisa jadi, sendi-sendi Djoko Susilo terasa luluh lantak ketika mendengar satu per satu dakwaan jaksa penuntut umum Komisi Pemberantasan Korupsi terbukti. Pembelaan yang telah ia lakukan semua sia-sia karena majelis hakim menyatakan pembelaannya tak bisa digunakan.

“Sudah dibuktikan namun setelah majelis hakim mencermati ternyata tak ada alasan secara hukum untuk pembuktian. Karena terdakwa tak bisa membuktikan bahwa itu bukan hasil tindak pidana korupsi, oleh karena itu harta kekayaan tersebut patut diduga merupakan hasil tindak pidana korupsi telah terpenuhi dan ada dalam perbuatan terdakwa,” kata hakim Anwar.

Dua perkara korupsi akhir-akhir ini telah menggetarkan lantai Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, sekaligus mendominasi pemberitaan di Tanah Air. Pertama, kasus dugaan korupsi pengadaan simulator berkendara Korps Lalu Lintas Polri dengan terdakwa Irjen (Pol) Djoko Susilo yang telah vonis, dan dugaan korupsi pengurusan kuota impor daging sapi dengan terdakwa Luthfi Hasan Ishaaq, Ahmad Fathanah, dan dua bos PT Indoguna (sudah divonis).

Pada kasus korupsi pengadaan simulator berkendara, dari dakwaan pertama, kedua, hingga ketiga, semua dinyatakan terbukti. Padahal, dalam nota pembelaannya terakhir, Djoko yakin bahwa tak ada bukti yang meyakinkan ia menyetujui kredit dari BNI, memerintahkan pemenangan PT Citra Mandiri Metalindo Abadi, juga ia bersikukuh tak menerima uang dari proyek pengadaan simulator simulator.

Keyakinan Djoko dipupuk dari keterangan beberapa saksi yang membantah dakwaan jaksa. Namun, kebanyakan saksi adalah mantan anak buah Djoko sehingga memunculkan berbagai spekulasi. Hanya dua saksi yang juga bekas anak buah Djoko yang secara gamblang memberi kesaksian yang melawan atasannya, dia adalah Komisaris Legimo dan AKBP Teddy Rusmawan.

Walau demikian, Djoko sebenarnya punya kartu truf dari pengakuan Legimo, yaitu dia mengakui pernah memalsukan tanda tangan dokumen pencairan dana proyek, namun Legimo menambahi jika perintah itu dari Djoko. Akan tetapi, kartu truf itu akhirnya terbukti tak berguna karena hakim ternyata tak silau dengan pembuktian yang sekadar mendengar keterangan saksi.

Hakim mementingkan substansi dan merasa curiga dengan cara menghindar Djoko yang mengatakan tanda tangannya dipalsu. Ketua Majelis Hakim yang menyidangkan Djoko, Suhartoyo, jelas sejak awal menyatakan kecurigaannya terhadap perkara tanda tangan palsu itu. “Motifnya Legimo memalsukan tanda tangan apa?” tanya Suhartoyo.

Hakim anggota I Made Hendra Kusuma juga berpendapat janggal terhadap cara ngeles Djoko. Ketika kasus pemalsuan tanda tangan itu diproses Bareskrim Polri, lalu apa kata Bareskrim? Begitu Made Hendra mencecar Djoko. Padahal, kasus ini sudah menjadi kasus besar yang bergulir di Pengadilan Tipikor. Djoko pun tak bisa membeberkan apa sebenarnya hasil temuan Bareskrim soal tanda tangan palsu.

Penasihat hukum terdakwa Juniver Girsang juga aktif menggali pengakuan Legimo soal tanda tangan palsu. Pada akhirnya, usaha itu tetap sia-sia mengungkap apa sebenarnya yang terjadi. Hakim tampak tak ingin pembelaan itu hanya sekadar membantah, namun harus bisa menjadi penjelas atas perkara yang ada.

Memang, dalam hukum acara pidana, yang dicari adalah kebenaran materiil. Hakim tidak sekadar percaya dan bergantung kepada apa yang dikatakan oleh terdakwa atau saksi. Hakim harus aktif mencari kebenaran sesuai fakta yang sebenarnya, bukan sekadar apa yang dikatakan para pihak.

Dari kasus Djoko, kita percaya bahwa pembelaan yang mendayu-dayu di Pengadilan Tipikor, yang membodohi hakim dan pengunjung sidang, serta tak logis dalam membangun skenario kasus, akan berakhir sia-sia. Djoko memang dalam beberapa pembelaan terkesan seadanya, misalnya dalam membeberkan sumber kekayaannya yang katanya berasal dari bisnis keris dan perhiasan.

Dalam kasus Luthfi Hasan Ishaaq dan Ahmad Fathanah, kita juga sama-sama mendengarkan nota keberatan dari dua terdakwa ini. Berbeda dengan dua bos PT Indoguna Utama yang telah divonis, dua terdakwa ini lebih tertutup terhadap kasusnya.

Banyak keberatan dari para terdakwa yang tak logis, bahkan nyata-nyata bertentangan dengan hasil rekaman sadapan percakapan para terdakwa dan saksi-saksi. Fathanah, misalnya, dalam rekaman percakapan nyata-nyata menawarkan uang komisi pengurusan kuota impor daging Rp 5.000 per kilogram kepada Luthfi.

Namun, cara menghindar Fathanah sudah kelewat tidak logis, yaitu dia hanya mengatakan itu sebagai candaan. Beberapa kali mengomentari keterlibatannya, Fathanah selalu mengatakan jika konteks pembicaraan itu hanya bercanda.

Luthfi juga mengelak dengan mengatakan ia sempat merespons percakapan Fathanah soal komisi Rp 5.000 per kilogram itu karena alasan sudah capek melayani Fathanah. Fathanah dianggap sudah terlalu sering menggangunya jika terkait uang. Luthfi juga sering mengatakan apa yang ia katakan hanyalah bluffing atau gertakan.

Penjelasan tak logis juga diterima majelis hakim ketika menghadirkan saksi Ridwan Hakim untuk terdakwa Fathanah. Ridwan adalah pengusaha yang juga putra dari Ketua Majelis Syuro Partai Keadilan Sejahtera, Hilmi Aminudin.

Ketika diputarkan rekaman percakapan antara Ridwan dengan Fathanah, juga percakapan Ridwan dengan Bunda Putri dan Luthfi, Ridwan sering mengatakan tidak paham dengan apa yang dipercakapkan. Padahal, nyata-nyata Ridwan merespons percakapan.

Terhadap model menghindar ala Ridwan, tampaknya Ketua Majelis Hakim yang menyidangkan Fathanah yaitu Nawawi Pomolango, telah memiliki sikap sejak awal. “Kita semua sebenarnya sudah tahu tentang isi percakapan ini. Jika kami tanyakan kepada Saudara, itu hanya mengkonfirmasi saja kejujuran Saudara,” kata Nawawi.

Vonis Djoko jelas telah mengirimkan sinyal bahwa pengadilan pidana hanyalah menggali kebenaran materiil, bukan sekadar kebenaran formil. Pada sidang suap kuota impor daging, kita juga tetap berharap para hakim konsisten menggali kebenaran sesuai fakta sebenarnya, jangan silau dengan cara ngeles para politikus. (Amir Sodikin)

Leave a Reply