Bahan Mentah Pledoi Hotasi Nababan di Pengadilan Tipikor 22 Jan 2013

Share Article
 PLEDOI Hotasi Nababan “Kami Korban Kejahatan Orang Lain” Sidang Perkara Sewa Pesawat Merpati – 22 Januari 2012

  Majelis Hakim yang saya muliakan; Yang Mulia Bapak Pangeran Napitupulu, Yang Mulia Bapak Hendra Yospin, Yang Mulia Bapak Alexander Marwata Saudara Jaksa Penuntut Umum, Penasehat Hukum, dan hadirin yang saya hormati; Puji dan syukur kita panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Baik sehingga bisa sehat dan hadir di persidangan ini. Pada hari yang sangat khusus bagi hidup saya ini, perkenankanlah saya menyampaikan pikiran dan perasaan saya yang sudah menggulung besar sejak dijadikan “tersangka”. Tidak ada seorangpun yang waras akan ringan hati melalui proses hukum dan berbelit ini, sejak perkara ini diumumkan, dijadikan sebagai tersangka, hingga dibawa ke pengadilan. Saya telah dikaitkan dengan suatu kejahatan luar biasa, yaitu korupsi. Isteri, anak, orangtua, keluarga, dan teman-teman saya sangat sedih karena status “Terdakwa korupsi” terhadap saya. Tidak semua hal baik terjadi dalam hidup kita. Mungkin datang musibah, atau sedang apes. Tetapi jika musibah dibuat oleh manusia, apakah saya hanya pasrah? Membuat Pledoi atas perkara korupsi adalah pekerjaan yang sulit karena kita sendiri dan masyarakat sedang marah kepada korupsi. Tetapi makin lama mempelajari semua bukti dokumen dan mendengar pendapat yang terkait dengan perkara ini, saya menjadi bertanya, mengapa Pidsus Kejaksaan begitu memaksakan perkara ini ke pengadilan? Mengapa ada perbedaan dengan KPK, Bareskrim, BPK, atau Kejaksaan di waktu lalu? Selayaknyalah kita sepakat atas kesimpulan banyak pihak atas perkara ini sejak tahun 2007, bahwa : 1.    Putusan Pengadilan District of Columbia, AS tanggal 8 Juli 2007 telah memenangkan gugatan Merpat atas TALG dan Alan Messner (9 Juli 2007) sebagai bukti tidak terbantahkan. 2.    KPK, lembaga terdepan dalam pemberantasan korupsi, menyimpulkan tidak memenuhi kriteria tindak pidana korupsi (27 Oktober 2009). 3.    Bareskrim Kepolisian RI menyimpulkan tidak ditemukan fakta perbuatan tindak pidana korupsi yang merugikan keuangan negara (27 September 2007). 4.    Badan Pemeriksa Keuangan melalui surat yang ditujukan ke KPK menyimpulkan pemeriksaan belum memenuhi unsur tindak pidana korupsi (10 Mei 2010). 5.    Kejaksaan, melalui JAM Perdata dan Tata Usaha Negara mengutus jaksa membantu Merpati ke pengadilan di AS untuk pengejaran deposit itu (10 Juni 2008). 6.    Kejaksaan telah melakukan pemeriksaan di Pidsus (Mei 2007) dan Intel (Mei 2008) dengan bahan dokumen yang sama sesuai disampaikan pelapor. 7.    Menteri Negara BUMN, selaku Pemegang Saham mayoritas Merpati, dalam suratnya meminta bantuan Kedubes AS di Jakarta pada  menyatakan ini sebuah resiko bisnis 5 Mei 2007. 8.    Rapat Umum Pemegang Saham PT. MNA pada 28 April 2011 telah memberikan pembebasan sepenuhnya atas kepengurusan tahun 2007 yang mencakup persoalan deposit Merpati di TALG. 9.    Kejaksaan Agung AS sedang menggugat pidana berat terhadap Jon Cooper, pemilik TALG yang mengaku mengambil sebagian besar uang deposit Merpati, di Washington DC sejak 7 Mei 2012. Belum lagi bukti dan kesaksian di seputar proses pengambilan keputusan Direksi Merpati sebelum 21 Desember 2006 itu yang makin menunjukkan kami telah berupaya keras agar hati-hati, antara lain: 1.    Keputusan kolegial Direksi bertujuan dalam Circular Direksi untuk pengawasan dan transparan. 2.    Penggunaan jasa Lawrence Siburian untuk memeriksa keberaadaan TALG, pemiliknya Alan Messner dan Jon Cooper dalam waktu singkat 3 hari yang tersisa. 3.    Penggunaan law firm Hume sebagai agent titipan Desposit sesuai aturan ‘safekeeping property’ bagi kantor hukum 4.    Acuan transfer desposit adalah 2 (dua) LASOT/LOI, bukan Lease Agreement yang baru ada 1. Kemudian LASOT adalah dokumen yang menjadi dasar putusan pengadilan di AS itu. 5.    Sesuai kelaziman, Summary of Terms (SOT) sudah mengikat sebagai perjanjian, atau sebagai aircraft purchase agreement sendiri, sehingga tanggal SOT menjadi acuan waktu pembayaran. 6.    Tidak ada indikasi sama sekali adanya kesengajaan atau kami sudah mengetahui adanya resiko itu. Surat tanggal 15 Desember 2006 itu tidak ada kaitan dengan LASOT sama sekali. 7.    Rencana Kerja Anggaran Perusahaan 2006 telah disepakati bersama untuk diundur dan berisi flexibilitas mengganti armada. Masih banyak lagi fakta yang akan diurai di Pledoi ini. Oleh karena itu, terhadap penempatan Security Deposit sewa pesawat dari TALG di Desember 2006 itu, saya dengan segala kerendahan hati, sebagai Direktur Utama PT. Merpati Nusantara Airlines periode 2002-2008 menyampaikan bahwa saya: telah mengambil keputusan dengan prinsip kehati-hatian, secara kolegial bersama Dewan Direksi, atas itikad mengutamakan kepentingan perusahaan, tanpa kepentingan pribadi, telah berupaya mencari informasi terbaik, dengan kehati-hatian, dan tanpa melanggar peraturan yang ada, serta pertanggungjawaban kepengurusan telah diterima Pemegang Saham sesuai amanah yang tertuang di pasal 97 ayat 5 UU no 40/2007 tentang Perusahaan Terbatas. Pengadilan ini bukan tentang diri saya saja, tetapi menyangkut niat bangsa ini untuk memberantas korupsi.  Pledoi ini saya bagi dalam 5 bagian uraian sesuai pesan utama yang saya ingin sampaikan kepada Majelis Hakim, semua yang hadir di sidang ini, dan kepada masyarakat. Ke-lima uraian itu adalah: 1.    Kriminalisasi Kebijakan Direksi BUMN 2.    Kronologi Perkara Merpati 3.    Fakta Persidangan: Tuntutan Tidak Terbukti 4.    Kembalikan Marwah Hakim 5.    Perlindungan Hukum

1  Kriminalisasi Kebijakan Direksi BUMN

Pesan utama dari perkara pidana ini adalah semangat perang melawan korupsi dapat dibelokkan untuk menindas orang yang terkena perkara di wilayah publik, seperti BUMN. Ancaman hukuman korupsi menjadi komoditi yang menarik untuk ditonton, kecuali pesakitan. Opini publik telah menjadi pengadilan jalanan. Sekali seorang menjadi ‘tersangka’, maka dia beruntun bisa menjadi ‘terdakwa’ dan ‘terpidana’. Nama baik akan hilang dan keluarga terbawa malu. Jika tidak bersalah pun, negara tidak akan melakukan rehabilitasi. Tuntutan 4 tahun terhadap saya pada 7 Januari 2013 lalu telah menyentak saya dan sudah mengagetkan banyak kalangan usaha termasuk Direksi BUMN. Perkara ini berakibat setiap keputusan Direksi yang memiliki resiko bisnis di masa lalu dan hari ini dapat dipidanakan, terlepas apakah dia telah bekerja bersih, jujur, tulus untuk BUMN nya.  Hanya karena 1 kata “termasuk” di pasal 2G UU 17/2003 tentang Keuangan Negara, maka setiap rupiah di BUMN dianggap sebagai kekayaan negara. Tidak ada satupun Direksi BUMN sekarang yang akan pensiun tenang. Selalu mungkin datang surat panggilan ber-amplop coklat ‘pemanggilan’ atas keputusan yang dibuat hari ini. Atasan atau kolega belum tentu akan membela, karena sudah “lupa”. Di awal Orde Baru, cap “PKI” sangat ampuh menghilangkan hidup seseorang dan keluarganya. Tidak ada pembelaan, tidak ada banding. Kehidupan dirampas. Saat ini cap “koruptor” sangat manjur untuk menghilangkan kehormatan dan karir seseorang. Tidak ada lembaga yang akan menampung keluhannya. Jeratan perkara korupsi bagi yang tidak bersalah, sungguh sebuah musibah. Atas dakwaan Pidsus, saya telah kehilangan banyak kesempatan, bahkan saya harus melepas pekerjaan saya sebagai satu-satunya sumber hidup keluarga. Saya punya usaha dan tidak punya penghasilan lain. Proses hukum ini, yang tidak dapat dijelaskan penyebabnya, telah menyusahkan kami. Perkara ini sebenarnya sangat sederhana, yaitu sebuah wanprestasi sebuah perusahaan Amerika Serikat (TALG) atas perjanjian sewa-menyewa pesawat dengan Merpati Nusantara Airline. Merpati kemudian memenangkan gugatan di pengadilan Washington DC. TALG harus mengembalikan uang deposit milik Merpati beserta bunganya. Pemilik TALG menghindari pengembalian uang dan berupaya mengulur waktu agar masa kedaluarsa perkara berakhir. Sebuah resiko bisnis. Namun. resiko bisnis dapat dipandang sebagai resiko kerugian negara. Inilah sebuah paradoks antara makna “BU” dan “MN” dari singkatan BUMN. Setiap “badan usaha” bergerak di area yang tidak pasti. Ketidakpastian bisa menjadi peluang tapi juga resiko. Pengelola atau Direksi setiap “badan usaha” akan berusaha keras meminimalkan resiko. Apalagi BUMN yang menjadi “milik negara”. Namun seberapa besar apapun upaya untuk menekan resiko, resiko tetap masih ada. Hanya Tuhan yang bisa membuat resiko bisnis nol. Ketakutan akan membuat Direksi untuk tidak berbuat apa-apa. Perjanjian antara Merpati dan TALG pun adalah hal yang lazim di industri airlines. Tidak ada prosedur atau ketentuan yang dilanggar, baik internal maupun eksternal perusahaan. Telah dilakukan upaya extra untuk memeriksa TALG dan kantor hukumnya Hume. Seluruh Direksi bersama memutuskan sewa operasi dan penempatan dana deposit itu sesuai kewenangannya. Tidak ada pelanggaran Anggaran Dasar. Saya tidak boleh mengambil keputusan sendiri, harus bersama dengan semua Direksi lain. Keputusan kolektif menghindarkan adanya penyalahgunaan wewenang oleh saya atau yang lain. Kerugian negara belum terjadi, karena deposit itu diakui ada di kedua pemilik TALG. Potensi pengembalian masih ada. Selain itu, tidak terbukti adanya unsur kesengajaan dan unsur memperkaya diri sendiri. Selama proses penyidikan hampir satu tahun, semua bukti dan penjelasan itu tidak membuat Pidana Khusus (Pidsus) Kejaksaan bergeming. Pidsus berpegang kepada premis bahwa manajemen Merpati telah mengetahui kemungkinan deposit itu akan disalahgunakan. Namun, semua bukti yang ada di tangan penyidik justru menyatakan sebaliknya, bahwa tidak pernah ada kesengajaan. Sepertinya Pidsus saat ini cenderung ingin segera meningkatkan status penyidikan dan menetapkan Tersangka atas beberapa perkara BUMN demi menunjukkan unjuk kerja. Mungkin cara ini dapat menunjukkan statistik penanganan perkara korupsi. Atau cara ini membuat Direksi BUMN lebih takut kepada para penegak hukum. Modusnya sederhana: jadikan dulu pesakitannya sebagai ‘tersangka’, baru kemudian diproses. Selain ketidakadilan yang terjadi atas pemaksaan ini, saya ingin menggambarkan resiko yang dihadapi Direksi BUMN. Hidup lurus di BUMN tidak cukup. Selalu ada yang akan mencari kesalahan kita. Sebagai pemimpin, kita tidak bisa membuat semua senang. Pasti ada segelintir yang kecewa dan ingin balas dendam. Menjelang pergantian Direksi BUMN, suhu internal akan tinggi termasuk mencuatnya perkara-perkara yang sumir. Dengan data seadanya, segilintir orang akan menyambangi penegak hukum. Pengaduan mereka kemudian di-ekspose ke media massa yang juga haus berita. Seperti dalam perkara yang menimpa saya ini. Dua staf Merpati yang kehilangan jabatannya akibat rasionalisasi  di tahun 2006, terus menuduh bahwa masalah uang deposit itu sebagai korupsi. Mereka rajin mendatangi Kepolisian, Kejaksaan, Komisi Pemberatan Korupsi (KPK), Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), serta expose ke media. Tujuan mereka satu, mendepak jajaran direksi yang akan berakhir pada Mei 2007 dan menggantikannya dengan pilihan mereka. Usaha mereka gagal saat itu. Terhadap pengaduan itu, KPK dan Badan Reskrim Mabes Kepolisian RI telah mengeluarkan surat pemberitahuan bahwa tidak ditemukan unsur pidana. BPK telah memberitahu KPK bahwa tidak ditemukan unsur kesengajaan sehingga tidak memenuhi unsur pidana. Demikian juga dengan Kejaksaan Agung tidak meneruskan penyelidikan baik Pidsus di 2007 dan Intel di 2008. Bahkan, pada Juni 2008 Kejaksaan (Bagian Perdata dan Tata Usaha Negara/Datun) membantu Merpati untuk mengejar deposit itu ke Amerika Serikat sebagai pengacara negara. Semua kesimpulan penegak hukum anti-korupsi itu tidak di-indahkan JAM Pidsus. Dia memerintahkan jajarannya untuk membuka perkara ini kembali di Mei 2011 dan memaksakan saya sebagai Tersangka di Agustus 2011. Selain perkara ini, ada beberapa perkara BUMN lain yang sedang di-proses atau di-endapkan oleh Pidsus Kejaksaan. Ciri perkara itu sama. Ada laporan dari internal yang tidak suka terhadap Direksi. Kebetulan kebijakan itu membuat kerugian di luar kendali management. Tidak ada kesengajaan dan tidak ada indikasi memperkaya diri sendiri. Namun Pidsus terus memproses. Tersangka ditetapkan. Tindakan Pidsus seperti ini dapat menghancurkan wibawa Kejaksaan yang bertekad memberantas korupsi. Dampaknya akan sangat besar bagi pengambilan keputusan di BUMN. Setulus dan selurus apapun seorang Direksi BUMN di manapun, perkara Merpati ini akan mengakibatkan tiga preseden yang buruk bagi BUMN, yaitu: ·      Kebijakan perusahaan dapat di pidanakan, akibatnya Direksi makin lambat untuk memutuskan. Atau jika diambil pemungutan suara, ada direksi yang ‘abstain’, dan play safe.  ·      Setiap keputusan bisa mengandung cacat, akibatnya dibutuhkan proses legal yang panjang untuk men-sterilkan keputusan. BUMN makin sulit bergerak. ·      Segelintir karyawan dapat menyusun fitnah yang sistematis dan menggalang dukungan dari luar perusahaan sampai terjadi direksi diganti atau masuk penjara. Mungkin banyak Direksi BUMN saat ini sangat yakin tidak akan di pidanakan karena lurus dan “berani” mengambil keputusan “karena benar”. Sama seperti yang saya yakini selama enam tahun memimpin Merpati. Akan tetapi, setelah rezim berganti dan beberapa tahun meninggalkan BUMN itu, siapakah yang akan melindungi kejujuran Direksi itu? Masalah apapun di sebuah BUMN dapat diolah menjadi suatu perkara korupsi karena stigma BUMN sebagai sarang korupsi sangatlah kuat. Sebagai contoh dari perkara saya. Salah satu acuan dakwaan Jaksa adalah Keputusan Menteri Keuangan RI no 1169/KMK.01/1991 tentang Kegiatan Sewa Guna Usaha (Leasing). Jaksa mengambil definisi Security Deposit dari KMK itu. Setelah kami pelajari, KMK itu ternyata aturan yang dibuat untuk Direktorat Pajak dalam penghitungan pajak dari Leasing supaya ada kepastian. Sanksi dari KMK itu sesuai aturan perpajakan. KMK ini pun dibuat dalam rezim Menteri Keuangan sebagai Pemegang Saham dari BUMN . Setelah 1998, semua BUMN dialihkan ke Kementrian BUMN. Sangat aneh suatu aturan teknis yang sangat lama dari rezim berbeda digunakan demi mencari salah kami. Apakah seperti ini cara Pidsus memaksakan sebuah perkara dan tentunya telah menggunakan fasilitas negara? Pada saat saya menyerahkan buku saya “Jangan Pidanakan Perdata” kepada bapak Dahlan Iskan, Menteri Negara BUMN, di bulan Juli 2011 lalu, dia bertanya mengapa saya nekat menulis buku yang melawan itu. Saya jawab bahwa ini bukan perjuangan bagi saya sendiri, tapi bagi banyak Direksi BUMN yang tidak akan tenang saat pensiun, termasuk bagi pak Dahlan sendiri selaku mantan Direktur Utama PLN. Pada saat ditanya oleh wartawan Nasional tanggal 27 Juli 2012 tentang diskresi Direksi atas perkara Merpati ini, Prof. Laica Marzuki, Guru Besar Ilmu Administrasi Negara FH-UI mengatakan, “Saya sebagai ahli administrasi tidak bisa membayangkan kalau satu insitusi tidak ada diskresi. Tapi kalau diskresi itu dikriminalisasikan, ya tidak tepat. Saya bingung jika akhirnya pengadaan dua unit pesawat di MNA itu bergulir menjadi tindak pidana korupsi.” Saya berharap Pledoi ini membantu pencerahan bagi sistem hukum kita. Sebagai warga negara, saya sangat menginginkan Kejaksaan RI yang kuat, berwibawa, jujur, dan bijaksana, sesuai dengan falsafah Tri Krama Adhyaksa, sehingga memberi rasa aman dan adil. Semoga apa yang saya alami ini adalah yang terakhir, dan perjuangan kita memberantas korupsi bisa kembali ke relnya.  

2 Kronologi Perkara Merpati

Bapak Hakim yang saya muliakan; Mengapa perkara ini harus menjadi sebuah sidang pidana? Mengapa saya duduk di sini di depan majelis hakim yang mulia selama 23 kali sidang sejak tanggal 5 Juli 2012? Mengapa ratusan orang termasuk Bapak Hakim dan Jaksa harus menghabiskan ribuan jam untuk mengikuti perkara ini? Apakah layak sebuah keputusan profesional yang saya buat sebagai bagian dari Direksi Merpati, tanpa adanya kepentingan pribadi, di-pidanakan? Apakah layak sebuah dakwaan yang saudara jaksa buat sebagai penuntut umum, tanpa adanya kepentingan pribadi, di-pidanakan? Apakah layak sebuah putusan pengadilan yang Hakim buat sebagai majelis hakim, tanpa adanya kepentingan pribadi, di-pidanakan? Kita bersama, saya, yang terhormat Jaksa, dan Yang Mulia Hakim punya persamaan hakiki. Kita menjalankan tugas dan amanah sesuai kecakapan dan integritas di bidang masing-masing. Saya digaji untuk membuat keputusan bisnis terbaik bagi perusahaan. Saudara Jaksa dibiayai pembayar pajak untuk menyidik suatu perkara atas nama negara. Yang mulia Hakim digaji oleh rakyat untuk menjadi wakil Tuhan dalam memutuskan nasib seseorang. Seorang dokter dibayar untuk membuat pertimbangan bagaimana menyembuhkan pasien. Seorang jenderal dipercaya memimpin prajurit untuk keputusan maju perang atau menyerah. Jika dalam menjalankan amanah itu kita membuat kesalahan, kita siap menerima hukuman yang setimpal dengan amanah itu, yaitu diperingati, diganti, atau diberhentikan. Akan tetapi, jika tugas dan kewenangan kita di bidang profesi masing-masing dapat di-pidanakan dengan hukuman badan, siapakah yang bersedia untuk menjalankan amanah ituSetiap tugas ada resiko nya. Setiap jabatan  ada amanah nya. Namun jika musibah di luar kendali kita tetap terjadi akibat suatu keputusan yang kita telah lakukan sesuai aturan dan itikad baik, apakah kita masih layak di-pidanakan dan keputusan itu di-kriminalkan?   Latar Belakang Peristiwa Coba kita simak kembali perkara Merpati ini secara utuh, karena Jaksa Penuntut Umum (JPU) telah banyak memenggal fakta demi justifikasi sangkaan, dakwaan, dan tuntutannya. Saya akan jelaskan dari hulu permasalahan ini karena kebijakan kami di tahun 2006 itu ada sebabnya. • Sejak diangkat tahun 2002, saya bersama Direksi Merpati membuat 3 prioritas utama untuk perbaikan perusahaan, yaitu perbaikan struktur Modal, pengurangan karyawan, dan peningkatan jumlah armada sebagai alat produksi agar menjadi airlines yang efisien.  Hanya dengan biaya satuan rendah Merpati dapat bertahan. • Program pengurangan karyawan dapat berjalan dengan tenang, dari 4200 orang menjadi 3000 orang. Biaya Tetap banyak berkurang. Komunikasi intensif disampaikan supaya karyawan menerima rasionalisasi ini. Direksi memberi contoh dengan memotong fasilitas. • Merpati dikenal memiliki armada pesawat yang terlalu banyak tipe nya. Akibatnya spare parts dan crew menjadi beragam sehingga memakan biaya yang jauh lebih besar. Tipe pesawat Merpati harus diremajakan agar bahan bakar lebih efisien dan daya angkut lebih besar. • Tipe jet yang ideal adalah B737 Classic Family (“Classic“) yang terdiri dari seri B737-300, -400, 500. Tipe Classic ini memiliki engine, komponen elektronik, dan crew yang sama. Masalahnya tipe ini menjadi rebutan banyak airlines baru ber-biaya rendah di seluruh dunia. Tipe Classic memberi manfaat keuntungan jauh lebih baik dari tipe B737-200 tua yang telah ada di Merpati. Satu unit Tipe 400 dapat memberi Keuntungan Operasional sebesar Rp 2 Milyar/bulan, dan tipe 500 dapat memberi Rp 1.1 Milyar /bulan dibandingkan tipe 200 yang hanya menghasilkan Rp 900 Juta/bulan jika harga bahan bakar sebesar Rp 8000/liter. • Di era 2002-2003 itu Merpati masih unggul di pasar penerbangan domestik. Pangsa pasarnya melampaui 50%. Kepercayaan Lessor dan Bank masih ada ke Merpati, sehingga Merpati berhasil menyewa pesawat tipe Classic ini yaitu 2 unit B737-300 dari STAS dan 2 unit B737-400 di dari GECAS di tahun 2003. • Sejalan dengan itu, Direksi terus mencari injeksi Modal melalui Investor atau privatisasi agar tidak membebani keuangan negara. Melalui proses panjang penjelasan ke banyak pihak, akhirnya di tahun 2004 Pemerintah dan DPR mengijinkan Merpati mencari Investor. Namun di saat akan dilaksanakan, Pemerintah berganti di tahun itu. Pemerintah baru membatalkan semua rencana privatisasi termasuk Merpati, tapi juga tidak memberi alternatif lain untuk membantu Modal Merpati. • Karena program pengurangan karyawan dan pengembangan armada yang mengambil modal kerja perusahaan telah berlangsung, maka pembatalan privatisasi itu membuat Merpati mulai limbung. Di saat bersamaan, airline baru berbiaya rendah bermunculan seperti jamur. Persaingan dari Lion, Adam Air, Batavia makin sengit. Mereka memasuki rute-rute Merpati dan memangkas harga serendah mungkin. ·  Selain itu harga bahan bakar melambung dari Rp 2800-3000/liter di Februari menjadi Rp 6.000/liter di Mei 2006, Ini membuat arus kas perusahaan tertekan karena harus membayar bahan bakar dua kali lipat. Jika konsumsi bahan bakar sekitar 10 juta liter per bulan, maka kenaikan Rp 3000 mengakibatkan kenaikan biaya Rp 30 Miliar, atau Rp 360 Miliar setahun. Akibatnya, modal kerja akhirnya habis. • Di tahun 2005 Merpati mulai hidup tergantung arus kas harian. Pembayaran dijatah sesuai arus kas masuk dari hasil penjualan tiket. Fluktuasi penjualan membuat kas Merpati mulai macet. Merpati terpaksa menunggak gaji dan pembayaran ke pihak ketiga termasuk sewa pesawat. Karena tipe Classic sangat diminati banyak airlines, maka Lessor Gecas dan STAS tidak sabar menunggu pembayaran dan segera menarik dan memindahkan ke-empat pesawat Classic ke airlines domestik lain. Penarikan pesawat ini sangat memukul Merpati karena sumber Pemasukan terbesar telah hilang dan kepercayan Lessor ke Merpati mulai luntur. • Karena kondisi keuangan makin buruk dan privatisasi dilarang, maka satu-satunya jalan penyelamatan adalah suntikan modal Pemerintah. Direksi sempat mengusulkan untuk menutup perusahan seperti dilakukan oleh Mandal dan Star Air, tapi ditolak Pemerintah dan DPR. Di tahun 2005 Merpati mengajukan injeksi modal Pemerintah sebesar Rp 450Milyar. Proses pengajuan ini sangat panjang dan bertele-tele, tapi akhirnya Pemerintah dan DPR hanya dapat memberikan PMN sebesar Rp 75 Milyar di Januari 2006. Jumlah suntikan itu sangat jauh dari keperluan mendesak untuk menutup tunggakan  yang ada. Akibatnya di April 2006 arus kas Merpati kembali macet lagi dan tunggakan makin menumpuk. • Kondisi ini membuat Rencana Kerja Anggaran Perusahaan (RKA) tahun 2006 tidak dapat disusun karena tidak ada kepastian modal kerja dan jumlah armada. Dukungan spareparts yang minim membuat armada makin berkurang. Atas hasil kesepakatan Pemegang Saham, Komisaris, dan Direksi di April 2006 maka RKA 2006 diundurkan hingga datangnya bantuan modal. Tugas Direksi adalah menjaga kelangsungan operasional perusahaan dan harus melaporkan seluruh kegiatan dan arus kas setiap minggu kepada Pemegang Saham dan Komisaris. Monitoring ketat ini berfungsi sebagai alat kontrol terhadap Direksi di saat RKA belum ada. • Karena proses pengajuan tambahan modal Pemerintah memakan waktu, akhirnya Kementrian BUMN membantu Merpati untuk mendapat Kredit Avtur di bulan Mei 2006. Kredit Avtur itu digunakan untuk melunasi tunggakan yang urgent dan menambah armada. • Setelah memperoleh Kredit Avtur maka kondisi operasional sedikit membaik. Merpati meneruskan upaya pencarian pesawat Classic. Namun pencarian Classic selalu kandas karena reputasi keuangan Merpati sudah terlanjur buruk. Sepanjang 2006 saja, Merpati 13 kali gagal memperoleh pesawat tipe Classic tersebut. Semua upaya yang lazim di bisnis sewa pesawat telah dilakukan, antara lain dengan memasukkan informasi pencarian pesawat di internet yaitu website speednews. • Walaupun RKA belum ada, Direksi selalu membahas perkembangan pencarian tipe Classic di Rapat Direksi setiap Senin sejak awal 2006. Cara lain untuk memperoleh Classic adalah penjajakan Kerja Sama Operasi (KSO) dan Kerja Sama Patungan (Joint Venture). Merpati berhasil mendapat kepercayaan Pemda Merauke untuk KSO 1 pesawat tipe B737-300 untuk melayani rute Jakarta-Merauke. Upaya Joint Venture tidak berhasil, karena pihak mitra yang akan investasi membeli pesawat Classic tidak dapat menerima skema Revenue Sharing tanpa mengendalikan operasi. • Upaya mencari skema Sewa Operasi sendiri 13 kali gagal karena kepercayaan telah hilang. Tim Aircraft Procurement mendapat kesempatan melakukan pemeriksaan external atas beberapa pesawat, namun tidak ada kelanjutan. Antara lain saat Merpati diberi kesempatan memeriksa pesawat milik Lehman Brothers tipe B737-500 yang sedang dirawat di Guangzhou di Mei 2006 dan tipe B737-400 yang sedang ber-operasi di Batavia Air di November 206. Beberapa negosiasi hampir berhasil seperti dengan lessor AWAS dan MAS, namun di saat akhir pihak Lessor membatalkan dan mengembalikan security deposit yang telah dikirim ke kedua pihak itu. • Semua informasi pencarian pesawat Classic ini menjadi input penting bagi RKA 2006. Jika ada peluang besar memperolehnya, maka perlu dimasukkan ke RKA. Tapi jika tidak pasti, maka tidak dicantumkan supaya besaran Target RKA harus realistis. Karena sulit memperoleh tipe Classic, maka Merpati terpaksa menambah Tipe B737-200 yang tersedia di Indonesia yang lebih pasti walaupun lebih boros bahan bakar. Hal ini dilakukan agar jumlah alat produksi dapat memenuhi Biaya Tetap Merpati yang sudah tinggi. • Dengan adanya kepastian modal dari Kredit Avtur dan armada B737-200 yang sudah ada, maka Pemegang Saham akhirnya menerima dan menyetujui RKA tahun 2006 di tanggal 11 Oktober 2006. RKA ini hanya sebuah formalisasi kegiatan di tahun 2005 dan memasukkan hal-hal yang sudah pasti karena waktu tinggal 2 bulan lagi. • Karena semua pihak berkeinginan Merpati mendapat tambahan Classic, maka RKA ini masih memberikan flexibilitas untuk merubah jumlah dan armada pesawat karena situasi pasar yang dinamis. Perubahan ini dimungkinkan sejauh memberi keuntungan operasional lebih baik. Semua pihak sepakat RKA cukup memberi ruang bagi Direksi mengupayakan penambahan Classic itu tanpa harus merubah RKA lagi. • Atas arahan Komisaris, Direksi mengganti  dan memberi kewenangan Tim Aircraft Procurement di Agustus 2006 agar upaya pencarian pesawat tipe Classic itu lebih gencar dan cepat. • Prosedur sewa operasi pesawat dilakukan sesuai kelaziman bisnis di dunia dan tidak termasuk prosedur baku barang umum di SOP Merpati. Karena jauh lebih banyak permintaan dari penawaran, maka tidak mungkin dilakukan tender di pihak arlines karena justru airlines yang mendatangi pihak Lessor. Walaupun demikian, demi menjaga transparansi, Merpati tetap mengumumkan kebutuhan pesawat ini secara terbuka melalui website speednews sehingga siapapun tahu kebutuhan Merpati. • Mengetahui Merpati berminat atas 2 pesawat milik Lehman itu, di awal Desember 2006 Merpati mendapat proposal dari Thirdstone Aircraft Leasing Group (TALG) yang menawarkan skema leveraged aircraft lease. Cara bekerja skema itu sebagai berikut, TALG akan membeli pesawat dari Lehmann Brothers melalui trustee nya East Dover. Kemudian TALG akan mencari pendanaan untuk pembelian pesawat. Selanjutnya TALG akan menggunakan arus pembayaran sewa dari Merpati kepada kreditur hingga lunas. Pihak Lehman pun berniat menjual pesawat mereka. • Skema ini hanya berjalan jika ada komitmen bersamaan dari airlines ke Lessor dan dari Lessor ke penjual. Jika Merpati dan TALG memenuhi kewajiban masing-masing dalam pembayaran, maka skema ini akan berjalan baik hingga masa berakhir. TALG hanya akan membeli pesawat itu jika ada kepastian sewa dalam bentuk penempatan deposit. Skema ini lazim digunakan di bisnis sewa pesawat. • Informasi mengenai penawaran TALG ini menjadi salah satu item potensi pencarian pesawat yang dibahas dalam rapat Direksi dan tercantum dalam Laporan Mingguan Direksi ke Pemegang Saham dan Komisaris pada tanggal 11 Desember 2006. • Proses pengambilan keputusan terhadap TALG ini berlangsung dalam 3 tahap (lihat grafik di bawah) yang terpisah satu sama lain sesuai dengan governance yang ada di Merpati dalam membuat keputusan strategis,  yaitu: 1.    Working Level : Tim Aircraft Procurement Pesawat bersama dengan Engineering, Legal, dan Planning melakukan analisa, evaluasi, dan negosiasi dengan pihak TALG. Direksi telah memberikan kuasa kepada GM Aircraft Procurement untuk mempercepat pengikatan dengan me-negosiasikan term Harga Sewa, jangka waktu, dan persyaratan lain termasuk Security Deposit. Di tahap ini Direksi belum terlibat intensif. 2.    Keputusan Strategis : secara kolegial Direksi membahas rencana sewa pesawat ini dan penempatan SD nya hingga semua menandatangani persetujuan dalam Circular BOD. Di tahap ini sepenuhnya ada di kewenangan Direksi berlima. 3.    Eksekusi Pembayaran :  Unit Corporate Finance memproses dokumen pembayaran dan melakukan verifikasi semua dokumen dan minta persetujuan kembali ke Dirut dan DirKeu sebelum  instruksi pembayaran ke Bank Mandiri.   • Di Tahap 1, setelah melalui negosiasi panjang, maka pada tanggal 18 Desember 2006, GM Aircraft Procurement dan TALG sepakat atas Lease of Aircraft Summary of Terms (LASOT). Harga Sewa yang ditawarkan menarik, yaitu $ 150 ribu/bulan untuk B737-400 dan $ 135/bulan untuk B737-500 selama 2 tahun. Padahal Harga Jual kedua pesawat adalah $ 11 Juta dan $ 10 juta. LASOT mewajibkan Merpati menempatkan Security Deposit US$ 500 ribu/pesawat yang bersifat refundable sebagai tanda pengikatan pesawat dan menutup kekurangan pembayaran sewa nantinya. Airlines lazim menaruh deposit setelah LOI/LASOT untuk pengikatan pesawat. Karena hanya dengan pengikatan ini, airlines dapat memeriksa pesawat dengan lebih rinci lagi termasuk membaca dokumen-dokumennya. Setelah mengevaluasi dan sepakat atas kondisi pesawat, maka nanti akan dilanjutkan dengan Final Agreement sebelum penyerahan pesawat (delivery). • Walaupun Merpati selalu menempatkan Security Deposit (SD) dalam bentuk cash seperti yang dilakukan banyak airlines, tetapi Tim Aircraft Procurement masih mencoba menawar agar Security Deposit dalam bentuk Letter of Credit (L/C)  atau escrow account. Karena kredibilitas keuangan Merpati yang rendah, pihak TALG menolak permintaan Merpati dan bersikeras Security Deposit dalam bentuk cash. Untuk mengurangi resiko Merpati masih mencoba meminta adanya pemegang Deposit (custodian) yang independen hingga saat pesawat diserahkan. Akhirnya TALG mengajukan firma hukum Hume & Associates. Opsi ini diterima. • Adapun batas waktu penempatan Security Deposit adalah 1 hari setelah penandatanganan perjanjian jual-beli antara East Dover (Trustee dari Lehman) dan TALG. TALG mengirim salinan pengikatan pembelian pesawat dengan East Dover dalam bentuk Summary of Terms (SOT) tertanggal 19 Desember. Selain itu TALG menunjukkan salinan penawaran pendanaan dari LSQ Fund dengan batas waktu 20 Desember. Oleh karena itu batas waktu penempatan SD bagi Merpati adalah di akhir hari dari tanggal 20 Desember waktu AS. • Di Tahap 2, pada Senin 18 Desember pagi Ketua Tim Tony Sudjiarto menjelaskan hasil negosiasi dan LASOT kepada Direktur Operasi dan Direktur Utama. Kemudian hal ini dibahas secara terpisah dengan Direksi lain di tengah beberapa pertemuan hari itu yang sedang intensif membahas rasionalisasi karyawan berikut dan persiapan Draft RKA 2007. • Atas Nota Dinas yang dikeluarkan oleh Tony, Direktur Utama memberi disposisi setuju untuk diteruskan proses pengadaannya dan disiapkan pengambilan keputusan strategisnya bersama Direksi lain. Selanjutnya Direktur Keuangan memerintahkan GM Corporate Finance untuk menindaklanjuti, yaitu mempersiapkan form Keputusan Direksi berbentuk Circular. Circular Direksi dibuat SETELAH adanya disposisi Nota Dinas Direktur Utama dan Direktur Keuangan itu. Disposisi Direktur Utama Nota Dinas tidak pernah menjadi keputusan strategis yang menyangkut uang dalam jumlah besar. Sistem Keuangan Merpati saat itu dapat menolak disposisi perorangan Direksi. • Circular Direksi wujud pengambilan keputusan bersama semua Direksi atas suatu isu strategis. Sesuai Anggaran Dasar Merpati pasal 12 ayat 8 Circular Direksi memiliki otoritas yang sama dengan Rapat Direksi lengkap, tetapi harus disetujui semua. Jika ada salah satu yang tidak setuju atau abstain, maka Circular itu tidak sah. Walaupun Circular ini diedarkan, setiap Direksi harus memahami substansi dari keputusan yang akan diputuskan karena konsekuensinya besar. Jika butuh informasi, Direksi bersangkutan biasanya memanggil GM terkait untuk menjelaskan atau bertanya ke Direksi lain. • Sebelum Persetujuan Direksi dalam Circular, maka Direksi perlu berupaya memperkecil resiko TALG ini dengan: 1) meminta deposit ditempatkan di kantor hukum (law firm), dan 2) memeriksa keberadaan TALG. Di Amerika Serikat, kantor hukum dapat berfungsi sebagai custodian atas suatu aset. Awalnya TALG menolak penempatan di kantor hukum, tapi akhirnya TALG bersedia jika di Kantor Hukum Hume Associates. Peraturan di AS mewajibkan kantor hukum seperti Hume harus menjaga aset yang dititipkan (safekeeping property) hingga ada ijin kedua pihak untuk dipindahkan. • Tentang keberadaan TALG, Direksi sepakat untuk mencari informasi tambahan mengenai TALG agar lebih meyakinkan Direksi. Beberapa opsi dibahas untuk mendapat informasi sebanyak mungkin dalam waktu singkat, karena batas waktu tinggal 2 hari sebelum tanggal 20 Desember. Opsi mengirim orang ke Washington tidak mungkin karena kesulitan Visa. ·  Akhirnya kami mencari warga Indonesia yang ada di Washington DC yang punya kredibilitas, memahami hukum perusahaan, dan mampu melakukan pemeriksaan intensif. Setelah memperoleh 3 kandidat, akhirnya saya memilih Lawrence Siburian yang memenuhi ketiga syarat itu. Dia lawyer Indonesia yang sedang menjalani program doktor di George Washington University. ·  Di hadapan beberapa Direksi dan GM yang menghadiri rapat pembahasan pra-RUPS tahun 2007 pada Senin 18 Desember 2006 malam di sebuah hotel di Pecenongan, saya segera menelponnya sekitar pk 21, atau sekitar pk 9 pagi waktu Washington. Setelah memperkenalkan diri, saya menjelaskan maksud meminta bantuan untuk memeriksa TALG sebelum Direksi mengambil keputusan. Lawrence bersedia dan segera bekerja hari itu juga.  Saya memberitahu tentang telpon itu ke Direksi dan peserta pra-RUPS lainnya. Saat itu Harry Susetyo (Deputi BUMN), Suyitno Affandi (Asisten Deputi), dan Gunawan Koswara, Danang (Komisaris) mengingatkan kembali prioritas pencarian pesawat Classic sesegera mungkin. ·  Kemudian Merpati mengeluarkan Surat Kuasa (Power of Attorney) kepada Lawrence menyusul permintaan saya itu. Sebelumnya disepakati bahwa penugasan ini adalah sebuah Due Diligence terbatas karena waktu yang mendesak sebelum tenggat waktu seperti di LASOT. ·  Setelah 3 hari bekerja, Lawrence menyampaikan kepada kami informasi tentang keberadaan TALG, kantornya, latar belakang pemiliknya, dan Hume. Setelah serangkaian pertemuan dengan pihak TALG dan Hume, maka Lawrence melaporkan sebagai berikut : ·      TALG memiliki keberadaan yang meyakinkan. Kantornya berada di area elite Washington DC, pusat pemerintahan AS. Demikian juga dengan Hume Associates yang merupakan kantor hukum yang meyakinkan. ·      Lawrence berhasil memperoleh Certificate of Incorporation TALG. Perusahaan TALG didirikan di Delaware, sebuah negara bagian yang menjadi domisili bagi banyak perusahaan AS karena insentif pajak. Certificate of Incorporation itu dikeluarkan oleh Sekretaris Negara Bagian Delaware yang mencakup semua dokumen dan persyaratan-persyaratan sebuah perusahaan. ·      Pemilik TALG, Alan Messner, adalah mantan Vice President Investment dari BCI Aircraft Leasing di Chicago, sebuah perusahaan leasing besar yang sangat cepat berkembang setelah peristiwa pemboman 911 di tahun 2001. Melalui kreativitas bankir-bankir muda, BCI berhasil memanfaatkan kredit macet atas pesawat yang terpaksa tidak bisa terbang setelah kejadian 911 itu dengan skema leveraged aircraft lease. Dalam waktu singkat BCI memukau industri penyewaan pesawat waktu itu dengan menyewakan puluhan pesawat. Salah satu exekutifnya, Alan Messner, membuat perusahaan sendiri yaitu TALG bersama Jon Cooper. Alan tinggal di perumahan kalangan atas di Chicago. ·      Jon Cooper memiliki lebih 30 tahun pengalaman sebagai pakar hukum lingkungan, pengacara, akademisi, dan penasehat pemerintah AS dan World Bank. Dia adalah profesor hukum di George Mason University dan menjadi konsultan dari puluhan proyek AS di berbagai negara. Dia mengenal jaringan pendanaan individu (private capital) yang berminat di bisnis pesawat ini. Jon juga tinggal di kalangan kelas menengah atas di Washington DC. ·      Informasi yang berhasil dikumpulkan dalam waktu singkat itu menunjukkan bahwa pihak TALG dan pemiliknya punya kredibilitas. ·      Lawrence juga berhasil memperoleh surat pernyataan dari Messner tanggal 19 Desember 2006 bahwa Security Deposit itu refundable apabila TALG gagal menyediakan pesawat. Selain itu syarat “refundable” juga dimasukkan ke Lease Agreement untuk B737-500 yang siap delivery di Januari. SD itu harus diam di kantor hukum Hume dan sifatnya “refundable” jika perjanjian batal. ·      Pada tanggal 19 Desember malam waktu AS, atau tanggal 20 Desember pagi WIB, dilakukan Conference Call antara Lawrence, Jon Cooper, Marisol dari Hume di Washington, Alan Messner di New York, Naveed Saeed di Los Angeles, Tony Sudjiarto, Kenedy (Manager Corporate  Legal), dan Bagus (Staf Aircraft Procurement) untuk membahas finalisasi Lease Agreement B737-500 karena waktu delivery sudah dekat. Merpati menegosiasi sekali lagi agar Security Deposit dalam bentuk selain cash. TALG tetap menolak karena mereka tidak akan melakukan pembelian pesawat kalau tidak ada jaminan dari Merpati berupa SD. Karena kondisi keuangan Merpati, maka SD itu harus dalam bentuk cash. Sebelumnya, Merpati selalu menempatkan SD secara cash. ·      Atas informasi yang telah dikumpulkan dari tim Aircraft Procurement dan Lawrence dari Senin hingga Rabu, tanggal 18-20 Desember 2006 itu, maka seluruh Direksi akhirnya menandatangani Circular Direksi pada tanggal 20 Desember siang secara bergiliran. Sesuai kebiasaan, saya sebagai penandatangan terakhir, sesuai dengan keterangan “Instruksi Final” di tabel Circular itu. Adapun pertimbangan Direksi menyetujui penempatan Security Deposit adalah: 1.    Kebutuhan mendesak pengadaan pesawat sesuai arahan Pemegang Saham (Surat Menteri Negara BUMN 10 November 2006) dan Komisaris (Surat Komisaris tanggal 1 November 2006). 2.    Adanya laporan keberadaan TALG, pemilik TALG, dan Hume yang meyakinkan. 3.    Adanya laporan inspeksi awal kedua pesawat B737-500 di GuangZhou dan B737-400 di Cengkareng 4.    LASOT telah ditanda-tangani tanggal 18 Desember 2006 sesuai kelaziman proses sewa pesawat, dan LASOT mengikat 5.    Adanya Aircraft Purchase Sales Agreement dalam bentuk Summary of Terms (SOT) antara TALG dan East Dover tertanggal 19 Desember 2006 6.    Security Deposit dapat disimpan di Law Firm Hume Associates sebagai “custodian” sesuai hukum “Safekeeping Property” di AS. 7.    Pernyataan TALG tanggal 19 Desember 2006 bahwa Security Deposit bersifat Refundable dan Security Deposit tidak boleh dipindahkan tanpa ijin Merpati 8.    Adanya arahan RUPS untuk melakukan upaya mencegah eksodus Pilot dengan menambah alat produksi. ·      Setelah seluruh Direksi menandatangani Circular, maka Tahap 3 adalah pelaksanaan eksekusi pembayaran. Pada hari Rabu siang tanggal 20 Desember 2006 itu General Manager Finance, Soeparmo dan Manager Finance Heru Lestario menyiapkan dokumen persetujuan pembayaran dengan mem-validasi kelengkapan Dokumen yang menjadi dasar pengiriman uang, yaitu LASOT. Walaupun sudah ada persetujuan strategis dari Direksi, mereka perlu memeriksa kembali semua persyaratan yang diperlukan sebelum transfer itu. ·      Karena batas waktu SD itu adalah tanggal 20 Desember pk 23 waktu Washington, maka Merpati masih mempunyai waktu hingga tanggal 21 Desember pk 11 pagi karena perbedaan waktu 12 jam. Kesempatan itu digunakan kembali bagi Tim Aircraft Procurement dan Lawrence untuk memeriksa hal yang perlu mendapat perhatian. Pada tanggal 20 Desember sore, Soeparmo menelpon Direktur Keuangan Guntur Aradea yang sedang di luar kantor untuk menanyakan apakah transfer tetap dilaksanakan. Hal ini merupakan hal yang biasa dilakukan sebagai cek akhir jika Direksi berubah pikiran. Setelah Guntur menjawab untuk diteruskan, maka GM Finance menyiapkan dokumen transfer untuk dieksekusi keesokan harinya. ·      Sesuai SOP, kewenangan perintah transfer ke Bank ada di Direktur Utama atau Direktur Keuangan. Kamis pagi tanggal 21 Desember sekitar pk 9, berkas instruksi transfer ada di meja saya dibawa oleh Soeparmo. Karena semua syarat dan dokumen pendukung lengkap maka saya tandatangani perintah transfer itu. ·      Akhirnya uang $ 1 juta berpindah dari rekening Merpati di Bank Mandiri ke rekening Hume Associates di Bank PNC Bank Dupont Circle Washington. ·      Setelah mengirim Deposit, maka Tony Sudjiarto berangkat ke AS dan melakukan inspeksi rinci atas Pesawat B737-500 itu di Victorville Amerika Serikat sebagai persiapan penyerahan pesawat di Januari 2007 sesuai LASOT. Hasil inspeksi menunjukkan pesawat dalam keadaan prima dan siap dikirim. Saat itu kami yakin TALG akan memenuhi komitmen penyerahan. ·      Namun setelah ditunggu 3 minggu dari tanggal penyerahan 5 Januari 2007, TALG tidak dapat menyerahkan pesawat itu. Kemudian mereka mengirim email menjelaskan alasan penundaan itu karena harga sewa harus dinaikkan. Melihat gelagat ini, Merpati segera membatalkan kontrak dan langsung meminta pengembalian Refundable Security Deposit itu sesegara mungkin .   ·      Karena tidak ada kejelasan dan kepastian uang dikembalikan sesuai dengan perjanjian yang tertuang di LASOT, maka pada Maret 2007 Merpati mengajukan gugatan atas TALG dan Alan Messner ke pengadilan melalui kantor hukum Bain Kinney Korman (BKK). Pada 8 Juli 2007 Merpati akhirnya memenangkan gugatan di pengadilan US District Court for District of Columbia. TALG dan Alan Messner wajib mengembalikan Security Deposit dengan membayar $ 1 juta ditambah bunga. ·      Lawyer PT. Merpati di Washington dan Chicago langsung mengejar aset pemilik TALG, baik Alan Messner dan Jon Cooper. Upaya pengejaran dilanjutkan oleh dua periode Direksi selanjutnya. ·      Di Mei 2008 Merpati meminta bantuan Kejaksaan sebagai pengacara negara untuk mengejar uang itu.  Pada 10 Juni Jaksa Agung Muda Perdata & Tata Usaha Negara Kejaksaan (DATUN) menugaskan jaksa senior Yoseph Suardi untuk membantu mediasi Merpati di depan Judge dengan Jon Cooper pada 18 Juli 2008  di Washington. Karena proposal pengembalian Security Deposit terlalu lama, perwakilan DATUN menyarankan agar Merpati menggugat Jon Cooper secara pidana supaya memaksa pengembalian lebih cepat. Pada 30 Juli 2010 ada pengembalian sejumlah uang dari Messner ke Merpati yang menunjukkan ada potensi pengembalian dan perkara ini adalah perdata. Namun  pengejaran tidak dilanjutkan oleh management Merpati tahun 2010 karena alasan biaya. ·      Kemudian atas laporan 2 karyawan Merpati, perkara ini telah diperiksa berulang-kali oleh BPK (April 2007), Bareskrim Polri (“Kesimpulan: belum ditemukan fakta”, Sep. 2007), dan Kejaksaan: JAM Pidsus (Mei 2007) dan JAM Intel (Mei 2008). Bahkan KPK juga telah menerima laporan dan menyimpulkan tidak ditemukan unsur pidana. Awal Juli 2011 JAM Pidsus memeriksa kembali dengan pertanyaan yang sama. Setelah pemeriksaan 1 kali itu, status “penyelidikan” segera menjadi “penyidikan”. Pada 17 Agustus 2011 “tersangka” langsung ditetapkan.   Informasi Setelah Kejadian Sebagai bentuk duty of care atas aset Merpati seperti amanat pasal UU BUMN no 19/2003, saya menganggap keberlangsungan hidup Merpati menyangkut hidup saya juga. Setiap rupiah sangat berharga. Sejak mulai memimpin tahun 2002 saya memberi contoh bahwa penghematan perusahaan dimulai dari diri sendiri. Dalam perjalanan dinas, saya terbang dengan kelas ekonomi, walaupun di pesawat Merpati. Demikian juga dengan tidur di kelas standard di hotel. Selama 6 tahun saya dan direksi lain menolak kenaikan gaji, karena belum saatnya bagi Direksi. Demikian juga dengan fasilitas lain. Tapi kami menaikkan gaji karyawan beberapa kali demi memperpendek kesenjangan gaji. Saya tidak pernah menerima apapun dari mitra usaha. Kepada mitra saya selalu minta mereka menurunkan harga dan jangan memberi apapun kepada orang Merpati. Semua saya lakukan bukan untuk pencitraan tapi karena dorongan dari dalam yang spontan demi menghemat setiap rupiah yang keluar dari perusahaan Merpati yang saya cintai. Sikap ini saya lakukan sejak di perusahaan saya sebelumnya, Garuda dan General Electric. Saya selalu memikirkan setiap pengeluaran Merpati secara mendalam dan hati-hati. Hal sama dilakukan Direksi lain. Kami Direksi saling bekerja sama agar tidak boleh ada ruang sehingga kelalaian datang, apalagi merekayasa untuk mengambil uang perusahaan. Waktu itu kami tidak akan menduga bahwa Alan Messner dan Jon Cooper dapat mempertaruhkan nama baik dan masa depan mereka dengan menyalahgunakan uang deposit Merpati. Hasil investigasi laywer yang ditunjuk Merpati, Bean Kinney Korman (BKK) atas aliran dana bank sepanjang 2007 menunjukkan bahwa beberapa hari setelah menerima transfer dari Merpati, Jon Cooper telah memindahkan deposit Merpati dan mentransfer security deposit Merpati ke rekening pribadinya sebesar $ 810 ribu dan membagi $ 210 ribu ke Alan Messner. Kemudian Cooper menghabiskan uang itu untuk keperluan yang tidak jelas. Seluruh fakta itu berhasil dikumpulkan oleh BKK melalui pemeriksaan langsung kepada mereka, saksi lain, dan aliran uang antar rekeing. Mereka menganggap bahwa Merpati tidak dapat berbuat apa-apa di Amerika Serikat. Belakangan, mereka tidak menduga bahwa Merpati serius membawa perkara ini ke jalur hukum dan bahkan memenangkan gugatan di Washington DC. Bahkan lawyer Merpati berhasil menghentikan pengalihan aset Alan Messner setelah TALG dipailitkan. Kedua orang ini punya aset tapi berusaha mengalihkan atau menyembunyikan asetnya. Mereka menyewa lawyer untuk bertahan atas serangan lawyer Merpati. Strategi mereka adalah mengulur waktu hingga perkara ini kedaluarsa (masa kedaluarsa perdata tujuh tahun). Jaksa Yoseph Suardi yang menghadiri sidang mediasi di pengadilan Washington DC pada Juli 2008 memberi kesaksian yang sama dalam persidangan ini. Sayangnya, sejak September 2010, Direksi Merpati menghentikan pengejaran uang itu dengan alasan biaya. Padahal masih ada alternatif lain dengan menggunakan “debt collector” yang dapat dibayarkan dengan biaya jasa yang kecil dengan insentif persentase penagihan. Secara legal, Merpati memiliki hak atas uang $ 1 juta terhadap Alan Messner dan $ 980 ribu kepada Jon Cooper. Berapa pun yang masih dapat tertagih masih bernilai bagi Merpati. Selain itu, Kedutaan Besar RI di Washington selalu membantu proses pengejaran ini. Terakhir menurut surat Duta Besar RI di AS pada Desember 2012, Jon Cooper sedang menjalani sidang pidana berat di pengadilan Washington DC yang telah dimulai sejak Mei 2012. KBRI selalu berkoordinasi dengan pihak Department of Justice (Departemen Kehakiman) AS untuk memonitor perkembangan sidang. Tugas Pengejaran Jika deposit Merpati itu dianggap uang negara, Kejaksaan RI sebagai pengacara negara seharusnya wajib berupaya keras mengejar pengembalian uang dari kedua orang itu. Pengajuan gugatan pidana tidak membutuhkan biaya sebesar perkara perdata. Kejaksaan dapat bekerja sama dengan Interpol dan KBRI. Namun tampaknya Kejaksaan lebih mudah mem-pidanakan saya dan Pak Tony sebagai sumber masalah yang terjadi daripada bekerja keras mengejar uang itu. Jika Kejaksaan tidak berbuat apa-apa, dan keputusan pengadilan AS melepaskan Jon Cooper, maka di saat itulah kerugian negara telah terjadi. Pihak pembela Jon Cooper di AS pasti juga mengikuti persidangan kami di Tipikor ini. Jika kami diputuskan bersalah akibat kelalaian yang disengaja, maka mereka dapat menggunakan “pidana korupsi” itu sebagai hal yang meringankan Jon Cooper: ·      bahwa perbuatan Jon Cooper yang mentransfer uang itu telah sesuai dan “di-amini” oleh asumsi yang ada di Dakwaan dan Tuntutan JPU di Indonesia; ·      bahwa kami telah mengetahui adanya kewenangan TALG untuk  memerintahkan Hume sebagai ‘custodian’ atau pihak yang dititipkan, untuk memindahkan deposit; ·      bahwa kesimpulan ‘kehilangan’ telah menjadi sesuatu yang dihapus secara perdata. Saya sangat kecewa dan sakit hati atas perbuatan kedua Warga Negara AS itu, Jon Cooper dan Alan Messner, yang telah mengambil uang deposit Merpati sebesar $ 1 juta yang telah kami siapkan dengan susah payah. Sayangnya sistem hukum AS tidak dapat memaksa mereka untuk membayar dengan cepat. Pengembalian ini bisa lebih lancar jika Kejaksaan, Interpol, dan KBRI mau membantu Merpati. Kedua orang ini punya aset dan alamatnya jelas. Jika lawyer dianggap mahal, masih ada debt collector. Akan tetapi, saya menjadi jauh lebih kecewa dan prihatin di saat perkara ini dipaksakan menjadi pidana terhadap saya. Semua kesaksian di arahkan untuk men-justifikasi kesalahan ada di pihak kami, bukan di pihak TALG, dengan sangkaan kami telah melakukan “kelalaian dan sengaja”. Para jaksa penyidik berupaya keras menggali hal-hal teknis detil yang tidak relevan dengan transaksi ini untuk membuktikan “kami sudah tahu akan ditipu”. Tuduhan, Dakwaan, dan Tuntutan yang telah dipaksakan oleh penyidik sangat tidak logis Sebuah ironi yang menyakitkan. Kami, yang telah menjadi korban kejahatan kedua warga negara AS itu, dijadikan pesakitan oleh Kejaksaan kami sendiri, sementara itu Kejaksaan AS mem-pidanakan kedua orang itu. Kami, yang telah  susah payah menyisihkan dana sebesar $ 1 juta di saat krisis di tahun 2006 demi dapat menyewa pesawat dengan pengorbanan diri, sudah mengikuti prosedur dan sesuai kewenangan yang ada, kemudian dipermalukan sebagai ‘Terdakwa Korupsi’, sedang kedua warga negara AS itu berpeluang dapat melenggang bebas dengan uang itu. Kami, saya, Tony Sudjiarto, rekan mantan Direksi Merpati lain, dan Merpati sendiri adalah korban kejahatan orang lain. Sangat sederhana. Yang Mulia; mohon keadilannya.  

3 Tuntutan Tidak Terbukti

Salah satu pertimbangan JPU dalam Tuntutan adalah saya tidak menunjukkan penyesalan. Saya memang menyesal membuat banyak orang repot, keluarga, teman-teman, perusahaan tempat saya bekerja, Merpati, Kementrian BUMN, dan tentunya Majelis Hakim yang mulia. Tetapi dimana pelanggaran yang saya lakukan di saat keputusan sewa pesawat dengan TALG itu? Apakah saya harus menyesal atas kewajiban saya sebagai pemimpin Merpati untuk mengambil keputusan saat itu? Apakah saya harus menyesal atas itikad buruk Alan Messner dan Jon Cooper yang saya tidak bisa duga? Yang Mulia telah berpengalaman lama menegakkan hukum, sangat lama puluhan tahun. Pengetahuan hukum saya tidak banyak. Akan tetapi saya sangat yakin bahwa Yang Mulia tahu mana perkara korupsi, mana yang bukan. Yang Mulia tahu mana pencuri, mana yang bukan. Sejak awal persidangan pun saya yakin, Yang Mulia sudah punya kesimpulan, apakah saya yang duduk di kursi Terdakwa ini telah melakukan korupsi, atau mencuri uang negara, atau membuat dengan sengaja sehingga uang negara hilang. Sejatinya, sepeserpun saya dan Tony tidak mengambil dan tidak memperoleh apa pun dari transaksi sewa pesawat ini. Bagaimana mungkin sistem hukum kita yang terdiri dari jaringan rumit bisa membuat kesimpulan berbeda, baik antar instansi dan antar waktu? Mengapa Kejaksaan saat ini tidak mengindahkan kesimpulan yang diberikan oleh KPK dan Bareskrim Polri (disparitas antar lembaga)? Di mana kepastian hukum itu sendiri, jika masing-masing penegak hukum dapat mengulang penyelidikan dan penyidikan dengan kacamata berbeda? Bukankah dengan tidak mengindahkan hasil pekerjaan institusi lain berarti menjatuhkan wibawa sendiri? Mengapa juga rezim Pidsus Kejaksaan saat ini tidak mau memperhatikan hasil kerja dari rezim Pidsus di masa sebelumnya yang menghentikan penyelidikan (disparitas antar waktu)? Apakah pimpinan Pidsus ingin membuktikan bahwa kali ini KPK, Bareskrim, dan pendahulunya telah salah dalam mengambil kesimpulan penyelidikan? Jika demikian, dimana kepastian hukum bagi kami, orang awam hukum? Berbaha sekali jika perkara korupsi dijadikan alat pencitraan bukan persoalan kebenaran atau keadilan. Jaksa Penuntut Umum (JPU) telah melakukan banyak penggalan-penggalan fakta demi membenarkan sangkaan, dakwaan, dan tuntutannya yang dirangkai dalam satu gambaran yang tidak benar. Kami berharap bukti persidangan dapat menggugurkan tuntutan JPU it, karena bukti berbicara apa adanya. Kita sudah melihat dan mendengar kesaksian dari saksi fakta (jaksa), saksi meringankan Terdakwa, dan keterangan ahli. Saya mencoba meringkasnya fakta itu berdasarkan urutan tuntutan dengan sederhana. Penjelasan fakta hukum yang sistematis akan disampaikan oleh Penasehat Hukum. Mengikuti persidangan ini, maka jawaban pembuktian adalah sebagai berikut:

1.    Di dalam tuntutan “saya telah mengadakan pesawat B737-500 dan B737-400  itu tanpa sepengatuhan dan persetujuan management lain” adalah TIDAK BENAR, karena sudah diketahui semua pihak, dengan fakta sebagai berikut:

a)    Keputusan Direksi dalam Circular tanggal 20 Desember 2006 yang ditandatangani seluruh Direksi menunjukkan penempatan Security Deposit itu telah diputuskan oleh pengambil keputusan tertinggi management seperti di pasal 12 ayat 8 Anggaran Dasar Perusahaan. Setiap Direksi sangat memahami bahwa Circular wajib diperlukan untuk keputusan strategis apalagi menyangkut dana besar. Setiap Direksi memahami kewajiban untuk berhati-hati sebelum menandatanganinya, sehingga meminta informasi tambahan ke Tony Sudjiarto (saksi Guntur Areadea, Hari Pardjaman, Nursatyo, Nyoman Suwinadja). Lihat BT-35 b)    Keputusan  penempatan Security Deposit itu dilakukan berjenjang dalam 3 tahap sesuai dengan tupoksi masing-masing, tanpa ada pihak yang dilalui. Ketiga tahap itu adalah di working level, keputusan strategis, dan eksekusi pembayaran. Tidak ada 1 orang termasuk saya sebagai Direktur Utama yang selalu ada dan mengendalikan ke-tiga tahap itu. (saksi Guntur Areadea, Hari Pardjaman, Nursatyo, Nyoman Suwinadja, Kenedy, Soeparmo, Heru) c)    Sepanjang tahun 2006, Rapat Direksi yang dihadiri kelima direksi membahas keinginan untuk pengadaan pesawat tipe Classic paling sedikit 20 kali. Tipe ini sangat diinginkan bersama karena bahan bakar lebih efisien dan kapasitas kursinya lebih banyak (saksi Guntur Areadea, Hari Pardjaman, Nursatyo, Nyoman Suwinadja). Lihat BT-3 d)    Agar keinginan Merpati ini diketahui oleh seluruh Lessor, maka unit Aircraft Procurement sejak akhir 2005 memasukkan iklan pencarian pesawat sebanyak beberapa kali di Speednews.com. Situs Speednews ini diikuti oleh seluruh Lessor, Bank, airlines, dan bank yang punya kaitan dengan leasing. Cara ini adalah paling transparan dan murah karena tidak perlu lagi calo yang datang ke Lessor atau Merpati (saksi Guntur Aradea, Harry Pardjaman, Nyoman Suwinadja, Nursatyo, Avianto, Bagus) Lihat BT-1 e)    Pengadaan pesawat di Merpati menganut asas transparansi dan asas akuntabilitas. Transparansi: Merpati memberikan pengumuman kepada siapapun, tidak membatasi siapapun untuk masuk memberikan penawaran. Merpati banyak menerima penawaran-penawaran, baik serius atau tidak, yang semua di-evaluasi. Akuntabilitas:  proses pengadaan melibatkan beberapa unit terkait yang dikoordinasi unit Aircraft Procurement. Pembuatan agreement pasti meminta bantuan Divisi Legal untuk memberikan evaluasi. Untuk pengurusan asuransi pasti melibatkan Divisi Keuangan. Untuk penentuan owner estimate pasti menyertakan Engineering Support (saksi Nyoman Suwinadja, Nursatyo, Avianto, Bagus). f)      Komunikasi email  di antara staf dari berbagai Unit di bulan Desember 2006 menunjukkan pembahasan rencana sewa dengan TALG ini diketahui meluas. (saksi Guntur Aradea, Nyoman Pering, Kenedy, Avianto, Bagus, Soeparmo).  

2.    Di dalam tuntutan “saya telah merekayasa mengadakan pesawat B737-500 dan B737-400  itu sebelum adanya proses persetujuan RKA 2006″ adalah TIDAK BENAR, karena keinginan memperoleh tipe B737 Classic sudah lama dengan fakta sebagai berikut:

a)      Semua pihak, Pemegang Saham, Komisaris, dan Direksi sepakat untuk menunda pembuatan RKA 2006 karena kondisi kritis keuangan perusahaan, hingga terlambat 10 bulan. Perusahaan hidup dari arus kas harian yang mulai macet. Tidak mungkin membuat rencana dan anggaran perusahaan sebelum adanya kejelasan bantuan Pemerintah dan tambahan armada. (saksi Guntur Aradea, Harry Pardjaman, Nyoman Suwinadja, Nursatyo, Soeparmo, Gunawan Koswara, Suyitno Affandi, Said Didu). Lihat BT-4 b)      Untuk perbaikan produktivitas, Merpati harus menambah jumlah armada, walaupun tidak tercantum dalam tabel armada yang ada di RKA 2006, apalagi jika tipe pesawat yang lebih efisien seperti tipe Classic, yang terdiri dari B737 seri 300, seri 400, dan seri 500. Tipe ini memiliki kesamaan (commonality) dalam hampir semua komponen dan rating Crew. Seluruh Merpati dan banyak airlines lain menginginkan tipe Classic waktu itu (saksi Harry Pardjaman, Nyoman Suwinadja, Nursatyo, Bagus, Pering, Avianto, Gunawan Koswara, Albert Burhan). c)      Tipe Classic bukanlah tipe baru di Merpati. Merpati pernah menggunakan tipe B737-400 dan B737-300 di tahun 2003-2005, tapi kemudian pesawat tipe itu ditarik oleh Lessor GECAS dan STAS karena Merpati menunggak pembayaran Sewa Bulanan. Di tahun 2006 itu Merpati masih memiliki semua sumber daya yang diperlukan seperti crew, spare parts, dan sistem untuk meng-operasikan tipe Classic itu (saksi Harry Pardjaman, Nyoman Suwinadja, Nursatyo, Bagus, Pering, Avianto). d)      Merpati terus menyisir pesawat-pesawat tipe Classic yang masih mungkin di-sewa dengan melihat data-data yang disediakan FAA. Salah satu yang dijajaki adalah pesawat B737-500 milik Lehman Brothers yang ditawarkan oleh Bristol sebagai unit bisnisnya. Pada Mei 2005, Bristol mengijinkan Merpati melihat kondisi pesawat yang baru selesai sewa nya di China. Karena Sdr. Yunus Dzulisnain, ketua Unit Aicrcraft Procurement, sedang memeriksa pesawat B737-300 yang akan dibeli-sewa dengan Pemda Merauke di Amerika Serikat, maka Rapat Direksi meminta Sdr. Tony Sudjiarto yang sedang menjabat sebagai GM Perencanaan untuk memeriksanya karena keahliannya (saksi Nyoman Suwinadja, Nursatyo, Avianto, Bagus). Lihat BT-3 e)      Setiap pesawat memiliki nomor seri (serial number) yang unik. Di saat TALG menawarkan kedua pesawat dengan serial number 24898 dan 23869, Merpati mengetahui keberadaan dan kondisi pesawatnya, karena secara umum FAA (regulator penerbangan di AS) memonitor setiap nomor seri pesawat di dunia. Hal ini menunjukkan transparansi atas pesawat mana yang akan disewa, sukar untuk me-rekayasa hal ini (saksi Nyoman Suwinadja, Pering, Avianto, Bagus). Lihat BT-6  

3.    Di dalam tuntutan “saya telah mengadakan pesawat B737-500 dan B737-400 di luar rencana seperti di RKA 2006 dan tidak mengajukan perubahan RKA 2006″ adalah TIDAK BENAR karena  adanya flexbilitas diberikan di dalam RKA itu sendiri, dengan fakta sebagai berikut:

a)    Pasal 4.4.1.4 di RKA 2006 memberi keleluasaan bagi perusahaan untuk merubah tipe dan jumlah armada pesawat. Seperti dijelaskan di kronologi, klausul ini dimaksudkan untuk memberi ruang bagi upaya pencarian tipe Classic yang sudah lama diinginkan oleh seluruh perusahaan. (saksi Guntur Aradea, Harry Pardjaman, Nyoman Suwinadja, Nursatyo, Soeparmo, Gunawan Koswara, Suyitno Affandi). Lihat BT-10 b)    Sofyan Djalil dan Said Didu khusus menekankan pentingnya flexibilitas RKA BUMN karena bisnis sangat dinamis, bukan seperti lembaga pemerintah. Pemegang Saham berpendirian setiap RKA BUMN harus memberi flexibilitas pada Direksi untuk mengambil opsi yang lebih baik dari yang tercantum di RKA karena itulah hakekat tanggungjawab kepengurusan diberikan untuk bertindak lebih baik daripada yang direncanakan, c)    Said Didu, sebagai mantan Sekretaris Kementrian Negara BUMN, menegaskan bahwa Kep. Men. BUMN no 101/MBU/202 tentang Penyusunan RKA BUMN adalah sebagai pedoman umum bagi setiap BUMN untuk menyusun RKA masing-masing. Akan tetapi, setelah RKA itu disahkan oleh RUPS, maka Keputusan RUPS itu adalah pedoman tertinggi dan mengikat bagi BUMN itu sesuai UU no. 40/2007 Perusahaan Terbatas dan UU no. 19/2003BUMN. Artinya, jika RUPS telah memberikan ijin bagi Direksi untuk merubah armada seperti di RKA 2006 itu, maka dengan sendirinya tidak perlu lagi RUPS untuk perubahan armada. d)    Direksi tidak memerlukan ijin dari Komisaris dan Pemegang Saham untuk memutuskan Sewa Operasi karena Sewa Operasi bukan hal-hal yang harus mendapat persetujuan keduanya seperti di Pasal 11 ayat 7 dan 10 Anggaran Dasar PT. MNA (saksi Guntur Aradea, Harry Pardjaman, Nyoman Suwinadja, Nursatyo, Gunawan Koswara, Suyitno Affandi, dan ahli Sofyan Djalil, Said Didu)  Lihat BT-83 e)    Upaya mencari tipe pesawat itu kandas sebanyak 13 kali sepanjang tahun 2006. Pihak Lessor tidak menanggapi atau menghentikan proses permintaan lease dari Merpati, karena reputasi dan kondisi keuangan Merpati yang buruk (saksi Avianto, Nursatyo, Nyoman Suwinadja, Gunawan Koswara, Suyitno Affandi). f)      Sumber dana untuk SD bagi TALG itu berasal dari cash operasional yang disisihkan dan diawasi bersama oleh semua Direksi dalam Cash Plan. Laporan Cash Plan disampaikan setiap hari Senin ke Deputi BUMN sebagai Wakil Pemegang Saham dengan tembusan ke seluruh Komisaris dan Direksi. Pada awal Desember 2006 tercatat Rp 18.6 Milyar telah disisihkan sebagai pos Deposit Pesawat  Cash Plan, sebagai hasil penerimaan dari operasional armada B737-200 dan yang lain seperti tercantum dalam RKA 2006 (saksi Guntur Aradea, Harry Pardjaman, Nyoman Suwinadja, Nursatyo, Soeparmo, Heru Lestario, Gunawan Koswara, Suyitno Affandi). g)    Bagi Merpati, solusi keluar dari kesulitan keuangan yang sudah sangat membelit itu adalah menambah armada pesawat yang lebih memberi pemasukan lebih besar dan biaya lebih hemat. Program restrukturisasi lain seperti pengurangan karyawan dan pengurangan hutang akan tidak berarti apa-apa tanpa penambahan armada yang lebih baik seperti Classic (saksi Gunawan Koswara, Suyitno, Said Didu). h)    Dalam sejarah Merpati, Direksi tidak pernah merubah RKA dan minta persetujuan RUPS jika ada penyesuaian pengadaan sewa pesawat sepanjang penyesuaian itu dapat dibuktikan memberi hasil lebih baik dan dilaporkan kepada Pemegang Saham (saksi Guntur Aradea, Harry Pardjaman, Nyoman Suwinadja, Nursatyo, Soeparmo, Gunawan Koswara, Suyitno Affandi). i)      Adanya Surat Komisaris Utama tentang Tanggapan atas Business Plan tahun 2007 kepada Meneg BUMN selaku Pemegang Saham pada 1 November 2006 yang menekankan pentingnya penambahan armada sebagai prioritas utama penyelamatan Merpati dan menyebut tipe B733 Family Classic sebagai tujuan perbaikan armada Merpati (saksi Guntur Aradea, Nursatyo, Gunawan Koswara, Suyitno Affandi). Lihat BT-12 j)      Kemudian Menteri Negara BUMN menyetujui Business Plan Merpati tahun 2007 pada tanggal 10 November 2006 dengan menyebut keperluan 10 unit tipe B733 Family Classic tersebut. Surat ini 1 bulan sebelum adanya Proposal TALG ke Merpati yang menanggapi pengumuman Merpati di Website (saksi Guntur Aradea, Nursatyo, Gunawan Koswara, Suyitno Affandi). Lihat BT-14  

4.    Di dalam  tuntutan “saya telah membayarkan Security Deposit (SD) sejumlah $ 1 juta untuk 2 pesawat padahal baru ada hanya 1 Lease Agreement yang ada” adalah TIDAK BENAR, karena acuan utama transaksi adalah hanya LASOT dengan fakta sebagai berikut:

a)      Putusan Pengadilan District of Columbia yang memenangkan gugatan Merpati terhadap TALG pada 9 Juli 2007 mencantumkan “Pembayaran ($ 1 juta) dilakukan sesuai dengan kesepakatan bagi penggugat untuk menyewa dua pesawat terbang komersial dari tergugat yang harus dikirim masing-masing tanggal 4 Februari 2007 dan 20 Maret 2007″ (sesuai penerjemah Fatchurozak – BT 55). Artinya hakim pengadilan itu, Richard Leon, hanya menggunakan kesepakatan yang memuat kewajiban untuk 2 pesawat, yaitu pada LASOT untuk 2 pesawat. Lihat BT-55 b)      Mengikuti logika hakim Richard Leon, maka penjelasannya di putusan itu: “Messner belum mengembalikan dana-dana tersebut kepada Merpati sesuai dengan ketentuan-ketentuan dalam perjanjian sewa“, menegaskan bahwa LASOT itulah adalah perjanjian sewa yang sah dan mengikat. c)      Dasar dari penempatan SD adalah pengikatan antara Merpati dan TALG di dalam LASOT atau LOI. Sesuai kelaziman di bisnis sewa pesawat, SD harus ditempatkan setelah adanya LOI, untuk mengikat pesawat kepada airlines yang menaruh SD itu. Jumlah dan bentuk SD ditentukan sesuai dengan kesepakatan kedua pihak (saksi Guntur, Harry, Nyoman, Kenedy, Nursatyo, Gunawan Koswara, Avianto, Bagus). Bt-23, 24 d)      LASOT sudah mengikat kedua pihak karena berisi kewajiban masing-masing pihak dan ditandatangani secara sadar oleh pihak yang memiliki kewenangan (saksi Erman Radjagukguk, Supancana). e)      Jika LASOT tidak diakui, dan hanya mengacu pada Lease Agreement, seperti yang di-tuduhkan oleh JPU, maka TALG hanya harus mengembalikan $ 500,000, atau jika mengikuti logika JPU maka Merpati yang malah akan dirugikan (saksi Supancana, Lawrence Siburian, Yoseph Suardi). Sangkaan, tuduhan, tuntutan JPU bahwa “Lease Agreement hanya 1” seperti ini lah yang dapat berpotensi membuat kerugian negara, jika mengikuti dalil JPU sendiri.  

5.    Di dalam  tuntutan “saya telah membayarkan Security Deposit (SD) sejumlah $ 1 juta tanpa menunggu Aircraft Purchase Agreement antara East Dover dan TALG” adalah TIDAK BENAR, dengan fakta sebagai berikut:

a)      Merpati dan TALG telah sepakat bahwa Summary of Term (SOT) antara TALG dan East Dover sudah merupakan perjanjian yang mengikat karena ada kewajiban masing-masing pihak dan ditandatangani oleh pihak yang sah dan adanya imbalan yang seimbang. SOT adalah penawaran yang ditandatangani lebih dulu oleh East Dover kepada TALG, yang jika setelah dibahas dan disetujui dan ditandatangani kembali oleh TALG, menjadi mengikat seperti sebuah perjanjian (saksi Erman Radjagukguk, Supancana, Lawrence Siburian). b)      Email Alan Messner tanggal 19 Desember menegaskan bahwa SOT adalah sebuah aircraft purchase agreement. Jika salah satu wanprestasi sehingga pesawat tidak jadi dibeli TALG, maka bagi Merpati, TALG wajib mengembalikan SD itu sesuai LASOT (saksi Lawrence Siburian). Lihat BT-30 c)      LASOT merupakan kesepakatan kedua belah pihak yang mengikat bagi Merpati dan TALG. Penawaran TALG untuk membeli dan menyewakan ke Merpati adalah peluang bagus bagi Merpati di saat pesawat Classic ini susah diperoleh.  Di tengah permintaan yang banyak, tidak mudah bagi TALG memperoleh komitmen dari East Dover dalam SOT. Bagi TALG, kepastian sewa dari Merpati menjadi syarat sebelum investasi membeli pesawat itu. Jadi ini merupakan kewajiban yang seimbang yang harus dilakukan hampir bersamaan. (saksi Erman Radjagukguk, Supancana, Lawrence Siburian, Nursatyo). d)      Sesuai kelaziman di dunia airlines, sebuah SOT atau LOI adalah mengikat para pihak, sehingga wajib dilaksanakan dan punya kekuatan hukum jika ada sengketa di waktu mendatang. Sebagai contoh,  penempatan Security Deposit oleh Batavia Air ke lessor CIT dengan dasar LOI menunjukkan bahwa LOI adalah suatu yang mengikat bagi Batavia untuk membayar Security Deposit sebelum CIT menyediakan pesawat (lihat BT- 93).  

6.    Di dalam  tuntutan “saya telah mengetahui Security Deposit (SD) akan digunakan untuk keperluan lain atas dasar surat tanggal 15 Desember 2006″, adalah TIDAK BENAR, karena surat itu sama sekali tidak ada hubungan dengan LASOT, dengan fakta berikut:

a)      Surat itu dibuat dari Alan Messner ke Hume Associates tanpa tembusan apa-apa ke Merpati, sehingga tidak jelas peruntukannya. Tim Aircraft Procurement tidak memberi tanggapan sama sekali atas surat itu karena tidak melihat ada kaitan sama sekali dengan skema LASOT yang sedang dibahas dan kemudian ditandatangani pada 18 Desember. b)      Surat itu adalah salah satu dari beberapa komunikasi email antara TALG dan Tim Aircraft Procurement yang tidak sama dengan skema akhir seperti di LASOT. Isi surat itu menyebut tanggal transfer, pihak tujuan , dan maksud deposit yang sangat berbeda dengan LASOT. c)      Email Alan Messner ke Merpati tanggal 19 Desember 2006 menegaskan skema penempatan Security Deposit seperti yang tercantum di LASOT, yaitu Security Deposit akan diam disimpan di kantor hukum Hume Associates dan tidak akan dipindahkan. Ini sama sekali berbeda dengan surat tertanggal 15 Desember itu. Pegangan perjanjian kita adalah LASOT, bukan dokumen lain di luar itu. Yang Mulia, apakah cukup dengan adanya surat itu kami mengetahui bahwa TALG akan “menyelewengkan” uang Merpati? Tim Aircraft Procurement Merpati tidak menanggapi surat itu karena tidak ada relevansi sama sekali. Jika sekiranya isi surat itu benar dan diasumsikan semua pihak memenuhi kewajibannya, bahwa uang itu diserahkan TALG ke Bristol, yang merupakan unit penyewaan dari Lehman Brothers juga, kemudian Bristol menyewakan pesawat ke TALG, kemudian dari TALG ke kami, apakah akan ada kerugian Merpati? Persoalan utama dari perkara ini adalah Jon Cooper dan Alan Messner mengalihkan uang itu untuk kepentingan pribadinya. Walaupun kita mengulur waktu hingga jam-jam terakhir sebelum dead-line tanggal 20 Desember pk 23 waktu AS sebelum pengiriman transfer uang itu, kami tidak akan memperoleh indikasi adanya itikad buruk mereka, tidak juga dari isi surat itu.  

7.    Di dalam  tuntutan “saya tidak mengindahkan Legal Opinion (LO) dari Divisi Legal Merpati tentang resiko penempatan SD itu” adalah TIDAK BENAR, karena maksud LO dibuat belakangan setelah transfer dilakukan, dengan fakta sebagai berikut:

a)      Legal Opinion itu dibuat pada tanggal 22 Desember 2006, dalam 3 versi surat berbeda, setelah pengambilan keputusan Direksi untuk penempatan SD pada tanggal 21 Desember 2006. Saat itu Kenedy mengikuti perkembangan semua upaya pencarian pesawat termasuk TALG secara intensif, termasuk permintaan Tim Aircraft Procurement kepada Kenedy untuk memeriksa draft LASOT pada tanggal 18 Desember 2006 (yang dikirimkan saksi Bagus Panuntun melalui email kepadanya), menghadiri dan mengikuti teleconference (Amerika-Indonesia) dalam pembahasan Lease Agreement, klarifikasi terhadap isi surat dan email Alan Messner tertanggal 19 dan 20 Desember 2006 tentang keamanan Security Deposit, Aircraft Purchase Agreementpada tanggal 20 Desember 2006, sekaligus yang bersangkutan menyelesaikan final Lease Agreement untuk B737-500 beberapa saat kemudian. Bagaimana bisa suatu pendapat baru diberikan setelah ada keputusan dibuat padahal sudah mengetahui akan adanya dead-line SD itu? (saksi Guntur Aradea, Kenedy, Wina, Bagus, Soeparmo). b)       Legal Opinion itu dibuat tanpa alamat tujuan, atas inisiatif sendiri, tanpa ada permintaan dari Direksi atau pejabat yang lain, sehingga tidak jelas siapa yang harus bertanggungjawab untuk tindak lanjut (saksi Guntur Aradea, Nursatyo, Kenedy, Wina, Soeparmo, Tony). c)      Saat itu tidak ada SOP Merpati yang mengatur tentang Legal Opinion baik proses dan persyaratannya, sehingga Legal Opinion bukan sesuatu yang mutlak dan tidak wajib untuk diikuti. Tidak ada parameter pasti untuk mengukur derajat kehati-hatian dalam pengambilan keputusan. (saksi Kenedy, Wina, Guntur, Nursatyo). d)      Jika Kenedy dan tim Legal sangat kuatir akan resiko dengan TALG, tidak ada satupun saksi atau bukti yang menunjukkan ada upaya pemberitahuan secara verbal atau email sebelum Legal Opinion itu kepada Direksi dan Tim Aircraft Procurement pada hari-hari antara 18 hingga 21 Desember 2006. e)      Substansi dari Legal Opinion ini sebenarnya sudah dilakukan oleh Tony dan Tim Aircraft Procurement secara maximal. Mereka telah berupaya menegosiasi Kontra Jaminan atau bentuk SD selain cash. Akan tetapi karena posisi tawar Merpati lebih lemah, dan sesuai kelaziman seperti airlines lain, Merpati menyetujui SD dalam bentuk cash. Selain itu untuk mengurangi resiko, Merpati menyetujui penunjukan kantor hukum Hume sebagai custodian selaku safekeeping property sesuai peraturan di AS. Merpati pernah melakukan hal yang sama sebelumnya, menggunakan jasa pihak ketiga untuk penitipan deposit termasuk kantor hukum (saksi Guntur, Nyoman Suwinadja, Nursatyo, Soeparmo, Kenedy, Avianto, Bagus, Lawrence Siburian). Yang Mulia, jika saya membawa mobil, tidak mungkin saya mematikan speedo meter karena akan ber-resiko kecelakaan. Sebagai pengambil keputusan, Direksi tentu memperhatikan semua informasi dan pendapat yang ada agar resiko kegagalan ditekan. Bagaimana logikanya jika pendapat diberikan setelah keputusan? Atau penunjuk speedo meter baru memberitahu kecepatan sudah melampaui 140 km/jam beberapa menit setelah saya injak gas?  

8.    Di dalam  tuntutan “saya tidak melalakukan Due Diligence yang lebih lama dan lebih detil terhadap TALG dan Kantor Hukum HUME”,  adalah TIDAK BENAR, karena upaya sudah maximal dalam keterbatasan waktu:

a)      Mengacu pada LASOT, batas waktu penempatan SD adalah hanya 3 hari karena adanya tenggat waktu dari tanggal penandatanganan SOT antara TALG dan East Dover. Di negara maju seperti AS, informasi utama dapat diperoleh dalam waktu singkat, tanpa birokrasi. Jadi Direksi berhak punya pertimbangan/judgement antara jumlah informasi utama yang dimiliki dengan waktu tersedia (saksi Supancana, Sofyan Djalil)   b)      Direksi Merpati dapat saja meminta uji tuntas (due diligence) lebih dalam yang  berarti perlu waktu lebih lama lagi, tapi berarti transaksi akan batal karena TALG tidak bisa memperpanjang komitmen dengan East Dover lagi. Merpati telah gagal 13 kali memperoleh pesawat Classic sepanjang tahun 2006, maka Direksi menginginkan kali ini jangan gagal lagi, sehingga berupaya keras mengumpulkan informasi penting selama 3 hari (saksi Nursatyo, Supancana, Sofyan Djalil). c)      Sebelum dengan TALG, Merpati tidak pernah melakukan pemeriksaan calon Lessor seperti ke TALG, apalagi uji tuntas (due diligence), termasuk Lessor kecil yang baru berdiri seperti AERGO, AFA, Aventura, dan tidak ada masalah. Namun di saat dengan TALG ini, justru Merpati melakukan upaya extra dibanding kebiasaan dengan mencoba menggali informasi lebih banyak, melalui jasa Lawrence dan pencrian informasi di antara airlines (saksi Avianto, Bagus,Tony) d)      Tidak ada uji tuntas yang dapat mengungkapkan niat seseorang. Jika niat Cooper tetap jahat, seberapa pun bonafide TALG dan Hume, dia akan tetap melakukan pelanggaran hukum demi menguasai uang Merpati. Tidak ada indikasi yang kami peroleh sebelum keputusan penempatan Security Deposit bahwa Jon Cooper akan membeli saham Hume Associates sehingga dapat mengambil uang Merpati itu. Banyak kejadian di dunia bisnis sehari-hari bahwa mitra yang bonafide, yang sudah dikenal sejak lama, ternyata mempunyai niat melakukan kejahatan/menipu mitra bisnisnya.   Yang Mulia, inilah sebuah kenyataan adanya “assymetric information” atau “informasi tidak sebangun” dalam keputusan bisnis. Bahwa dalam suatu transaksi tetap akan ada informasi yang tidak sama di antara kedua pihak. Apalagi jika informasi itu didorong oleh niat dan keingingan “jahat”. Berapapun waktu yang tersedia pada waktu itu untuk melakukan uji tuntas (due diligence), tetapi jika pihak TALG menyimpan niat untuk mengambil uang Merpati, maka kejadian itu tidak bisa dihindarkan, kecuali sistem dapat menghukum mereka hingga uang kembali atau penjara badan. Informasi penting yang kami tuju adalah “siapa” TALG itu, karena “siapa” lebih penting dari “apa”. Dengan latar belakang yang meyakinkan dari seorang profesional di bisnis sewa pesawat dan profesor hukum sebuah universitas terkemuka AS, di tambah keberadaan di lingkungan elit Washington DC, ibukota AS, kecil kemungkinan mereka dapat menjadi “penipu”.     Definisi Korupsi menurut Saya Apapun definisi korupsi yang banyak diperdebatkan, termasuk delik formil maupun material, kita semua sepakat, perbuatan korupsi harus ada motif dan kepentingan yang terwujud dalam sebuah kesengajaan. Dalam bahasa sederhana yang dipahami anak-anak saya adalah: korupsi = mencuri. Mencuri selalu datang dengan sengaja. Seperti yang disampaikan ahli pidana Prof. Eddy Hiariej di persidangan, rumusan kalimat “perbuatan melawan hukum” di Pasal 2 UU Tipikor mengandung arti “barangsiapa yang dengan sengaja …”. Harus ada kesengajaan sehinga suatu perbuatan dianggap sebuah pidana. Di manakah bukti bahwa kami lalai dan sengaja menghilangkan deposit itu?  Di manakah bukti bahwa kami memiliki motif pribadi dari transaksi ini? JPU dalam tuntutannya mengatakan berkali-kali kami “berdalih”. “Dalih” apa yang kami siapkan untuk pembenaran? Karena semua yang kami jelaskan adalah apa adanya sebagai dasar pertimbangan dan keputusan kami sebagai Direksi yang diberi kewenangan untuk mengelola perusahaan sebaik mungkin sesuai prinsip dengan bukti-bukti: ·      Profesionalisme: menggunakan tenaga ahli dalam evaluasi pesawat, perjanjian, hingga pemeriksaan TALG ·      Efisiensi: menggunakan jasa Lawrence yang sudah ada di Washington, mengirim 1 orang saja ke AS untuk meng-inspeksi pesawat ·      Transpransi: memberitahu berkali-kali di website pencarian pesawat secara global, seluruh perkembangan pencarian pesawat dibahas di Rapat Direksi dan dilaporkan ke Pemegang Saham setiap minggu ·      Kemandirian: tidak ada hubungan kepentingan antara orang Merpati dengan para pihak, TALG, Hume, Lawrence, dan lawyer Merpati di Washington ·      Akuntabilitas: transaksi dengan TALG dan setiap perkembangan upaya pengejaran uang dilaporkan ke Pemegang Saham ·      Pertanggungjawaban: perkara TALG telah dilaporkan dan di-eximinasi semua pihak baik Komisaris, Pemegang Saham, BPK, Bareskrim, KPK, dan Kejaksaan sendiri. Pemegang Saham mengeluarkan ‘equit de charge’ atas Laporan Perusahaan tahun 2007 yang mencakup perkara TALG. ·      Kewajaran: semua proses internal dan external dilakukan dalam batas wajar, tidak ada indikasi dominasi pengambilan keputusan, harga dan syarat di LASOT wajar. Saya sampaikan ringkasan keterangan Ahli Sofyan Djalil, mantan Menneg BUMN atasan saya langsung  saat itu, untuk menilai apakah saya telah mengikuti prinsip GCG seperti Pasal 5 Ayat (3) UU No. 19 Tahun 2003 tentang BUMN sebelum mengambil keputusan. Penasehat Hukum akan mengupas lebih jauh. 1.    Adanya itikad baik (good faith): Pada saat itu, MERPATI memang memerlukan pesawat untuk meningkatkan pelayanan dan pendapatan, maka Direksi memutuskan untuk menyewa pesawat yang lebih efisien yaitu Boeing 737-400 dan Boeing 737-500 dari yang sudah dioperasikan MERPATI sebelumnya, yaitu Boeing 737-200. Keputusan itu semata-mata for the best interest of company atau “keputusan yang terbaik untuk perusahaan”. Secara praktek, good faith dapat dibuktikan sebaliknya: apakah terdapat konflik kepentingan atau tidak, jika terdapat konflik kepentingan tidak ada good faith. Dalam persidangan, TERDAKWA jelas tidak mendapatkan keuntungan finansial, atau tidak ada aliran dana yang didapat dari penyewaan pesawat dari TALG. 2.    Keputusan dibuat dengan “care” atau prinsip kehati-hatian: Apakah Terdakwa sudah mengelola seperti harta pribadinya sendiri, di mana jika dikelola seperti harta pribadinya sendiri maka dia akan hati-hati sekali, tidak serampangan. Pilihannya saat itu menaruh dalam bentuk cash atau escrow account. Merpati sendiri sudah meminta untuk menempatkan security deposit tidak dalam bentuk cash atau tunai. Namun saat itu bargaining position atau posisi tawar MERPATI sangat lemah dihadapan lessor, sehingga ketika lessor menolak menggunakan escrow account dan tetap menginginkan cash (tunai), maka TERDAKWA bersama Direksi tinggal memilih: take it or leave it; TERDAKWA dihadapkan pada dua pilihan: mengikuti keinginan lessor atau tidak melakukan apa-apa. ” Pada saat itu, TERDAKWA sempat mencari informasi pengecekan tentang keberadaan TALG dalam waktu yang sempit. Informasi yang didapat memang tidak sepenuhnya dikuasai, tetapi secara optimum judgement-nya dianggap sudah memadai. Namun, ternyata pihak lessor wanprestasi. MERPATI lalu menggugat lessor (TALG) ke Pengadilan Amerika Serikat, dan MERPATI memenangkan gugatan. Itu artinya, TERDAKWA sebagai direktur utama, MERPATI sebagai Corporate telah melakukan tindakan yang sudah memadai, sehingga TERDAKWA dianggap sudah menjalankan prinsip kehati-hatian. 3.    Dilakukan secara seksama (diligence): artinya, di dalam mengambil keputusan sudah memperhatikan ketentuan peraturan-peraturan yang ada, mengikuti praktek-praktek dan kebiasan yang berlaku dalam dunia bisnis. TERDAKWA telah mengikuti procurement sewa pesawat sesuai standar industri dan kelaziman yang ada dan secara transparan. Seperti dalam mencari pesawat, MERPATI memasang iklan terbuka di website www.speednews.com sehingga rencana penyewaan pesawat dengan TALG dilakukan terbuka dan diputuskan oleh seluruh Direksi; dalam mengikat perjanjian melalui LASOT, SOT menempatkan security deposit, semuanya sesuai dengan hukum kebiasaan internasional dalam hal sewa menyewa pesawat.  4.    Diambil secara independen: artinya Direksi membuat perjanjian tanpa paksaan dari pihak lain. Pengertian lain dari independen ini, adalah tidak ada suap. TERDAKWA tidak pernah terbukti menerima apapun terkait penyewaan pesawat dari TALG. 5.    Tanpa benturan kepentingan (no conflict of interest) : adanya putusan Pengadilan District of Columbia, Amerika Serikat, yang memenangkan MERPATI itu menunjukkan bahwa perjanjian tersebut (dengan TALG) telah dilakukan sesuai dengan persyaratan yang seharusnya, sehingga menunjukkan tidak ada benturan kepentingan dengan Terdakwa. Memang, jika ada kepentingan kami, mengapa kami menggugat TALG ke pengadilan AS hingga menang pada Juli 2007? Jika ada aliran uang ke salah satu dari kami, mengapa Jon Cooper dan Alan Messner di sidang  mediasi Juli 2008 mengaku mereka menerima uang $ 1 juta itu dan membagi di antara mereka? Bukankah saksi dari kejaksaan sendiri, Yoseph Suardi, berpendapat uang itu berada di kedua orang itu dan tidak mungkin ada aliran uang ke orang Merpati? Jon Cooper bisa saja menyatakan telah memberikan sebagian uang atau meng-entertain salah satu kami supaya pengadilan AS menganggap penggunaan uang itu adalah sebuah kesepakatan sehingga mengurangi konsekuensi hukum kepada mereka. Tetapi rupanya sebagai profesor hukum, Jon Cooper tidak melakukannya, karena berbohong di depan hakim akan jauh memberatkan dia, sehingga dia mengaku apa adanya atas penggunaan uang itu. Jika saya me-rekayasa pengadaan pesawat ini dan memaksakan pembayaran Security Deposit itu dan tidak mendapatkan apa-apa, bahkan mendapat resiko pidana seperti sekarang, bukankah saya pantas menjadi orang paling tidak waras? Saya tidak mengerti bagaimana tuntutan Jaksa mengatakan adanya kesengajaan tanpa pembuktian motif. Prof. Eddy Hiariej memberi ilustrasi sebuah mobil Bank Indonesia berisi uang dirampok. Kemudian supirnya dituduh korupsi karena dianggap lalai sehingga uang negara hilang. “Hanya orang gila yang menganggap ini sebuah perkara korupsi”, ketusnya. Suatu perbuatan dan adanya pelaku terjadi dalam rangkaian peristiwa dan tindakan yang logis dan runtut. Jika logika sederhana saja tidak dapat menemukan motif dari pelaku, bagaimana suatu dakwaan pidana korupsi bisa ada? Kalau begitu, apakah ada kekuatan di atas jaksa penyidik dan jaksa penuntut yang memaksakan perkara ini harus sebagai pidana korupsi? Saya coba memberi ilustrasi sederhana. Saya kehilangan mobil, lalu panggil polisi. Kami pun sepakat untuk mengejar maling itu dan ketemu. Maling itu mengaku. Namun, dia ada di seberang sungai. Untuk menyeberang sungai perlu peralatan, jadi kami balik ke rumah dulu. Begitu sampai di rumah saya ditahan polisi karena lalai. Alasan polisi, gerbang rumah saya grendel nya kurang kuat sehingga maling mencuri mobil saya. Saya menjelaskan bahwa grendel itu sudah lama dipakai dan tetangga lain menggunakan grendel yang sama. Polisi itu tidak peduli. Dia mengatakan masih ada grendel yang berkualitas lebih baik sehingga jika saya gunakan grendel kuat itu maka tidak akan terjadi pencurian. Jadi, objek masalah dalam perkara ini beralih. Peristiwa pencurian beralih menjadi persoalan tetek-bengek tentang grendel. Ilustrasi lain seperti ini. Ini isu peka hari ini. Ada seorang gadis berjalan melalui sebuah gang di malam hari. Setiap hari dia melewati gang itu dengan lampu seadanya dan selalu ada beberapa pemuda yang nongkrong. Kali ini dia apes. Pemuda itu menyerang dan memperkosa dia. Setelah berhasil kabur dia minta bantuan hansip. Bukannya mengejar pemuda itu, hansip malah bertanya mengusut dia: apakah sudah memeriksa situasi dengan cermat sebelumnya? apakah kenal dengan para pemuda itu? Kesimpulan hansip, gadis itu lalai. Seharusnya sebelum masuk gang, gadis itu harus sudah tahu yang nongkrong saat itu adalah pemuda berbeda dan sedang mabuk. Masalah beralih. Hansip itu tidak melihat sesuatu sangat berarti dari korban telah hilang, tapi hanya fokus pada hal teknis untuk menjelaskan mengapa gadis itu apes. Ilustrasi lain lagi. Saya naik motor di jalur yang benar. Ada mobil yang keluar jalur menyerempet saya sampai jatuh. Mobil itu berhenti dan mengaku pada polisi. Melihat pemilik mobil itu orang asing yang susah diajak bicara dan damai, maka polisi itu mengalihkan pemeriksaan ke diri saya, dimulai dari SIM, STNK, tanda KIR, kondisi motor saya, dan seterusnya Tentu saja itu semua ilustrasi yang tidak akan dilakukan oleh penegak hukum yang profesional. Tapi dalam perkara saya, justru JPU telah melakukan hal seperti ilustrasi itu. Pidsus telah memaksakan dalil bahwa musibah, apes, penipuan, penggelapan, dan kejahatan orang lain itu bersumber dari kesalahan hakiki saya sebagai seorang Direktur Utama BUMN, yaitu LALAI….dianggap “tidak prudent”. Pidsus tidak perduli pada fakta bahwa saya telah menjadi korban kejahatan 2 warga negara AS itu. Pidsus kurang tanggap untuk mengejar uang itu ke AS. Padahal sebagai pengacara negara, Kejaksaan wajib membantu BUMN seperti Merpati memperoleh kembali piutang yang dikuasai oleh pihak lain, dalam hal ini oleh kedua warga negara AS itu. Sumber masalah dari perkara ini adalah perbuatan jahat kedua orang itu. Solusi masalah ini seharusnya adalah mengupayakan pengejaran piutang Merpati itu dengan kerjasama di antara Kejaksaan, Interpol, Kedutaan Besar RI, dan Merpati sendiri dengan biaya se-efisien mungkin, sehingga tidak perlu membuang sumber daya sampai di persidangan saat  ini.    

4   Kembalikan Marwah Hakim

Majelis            Hakim yang mulia; Bolehkan saya mengulas semua pikiran dan perasaan saya selama 6 bulan ini mengenai Hakim dan Pengadilan. Saya bersyukur kepada Tuhan mendapat pencerahan sangat besar apa artinya hukum dan keadilan. Luput dari perhatian saya selama usia 47 tahun, bahwa Tuhan menekankan pentingnya hukum yang adil karena Tuhan sendiri adalah persona keadilan itu. Saya mungkin sebelumnya tahu, tapi sekarang baru paham setelah duduk di kursi ini.   Arti Hakim bagi Saya Selama 23 kali pertemuan kita dalam persidangan ini, saya makin belajar banyak tentang Hakim dan pekerjaannya, mungkin lebih daripada pengenalan Hakim terhadap saya. Saya sangat kagum. Setiap hari Yang Mulia harus menangani banyak perkara dari berbagai bidang ilmu selama lebih dari 12 jam dan tetap menjaga konsentrasi dan mengikuti substansi perkara. Setiap perkara membutuhkan pengetahuan teknis yang mendalam atas bidang-bidang itu. Pertanyaan-pertanyaan Yang Mulia sangat tajam dan menghunjam ke jantung perkara. Stamina fisik yang luar biasa. Pun Yang Mulia tetap diharapkan untuk memutuskan dengan pikiran dan hati yang jernih. Suatu tekanan besar bagi pikiran, perasaan, dan tubuh Yang Mulia. Setelah saya duduk di kursi Terdakwa ini selama 6 bulan, saya sekarang memahami mengapa Hakim adalah satu-satunya profesi di bumi ini yang menjadi “wakil Tuhan“. Mungkin bagi umat Katolik, masih ada Paus merupakan ‘wakil Tuhan’ dalam hal spiritual. Namun dalam keputusan duniawi, Yang Mulia ini sungguh mendapat kewenangan luar biasa dari Tuhan dan Negara. Palu Yang Mulia dapat membuat hidup seseorang dapat menjelajah ribuan kilometer wilayah bumi ini, atau hanya mondar-mandir di ruang 15 meter persegi. Palu Yang Mulia dapat membuat banyak anak ketawa gembira bermain dan bercanda dengan ayahnya, atau membuat banyak anak sedih dan malu terhadap tatapan mata guru dan teman-temannya. Palu Yang Mulia dapat membuat rejeki seseorang makin besar dan melimpah, atau membuat seseorang jatuh miskin penuh hutang dan kehilangan keluarga. Palu Yang Mulia dapat mendatangkan tawa dan tangis gembira, tapi juga dapat membuat duka yang sangat pahit. Palu Yang Mulia dapat membuat perkawinan makin bahagia, tapi dapat juga membuat perkawinan berakhir pahit karena perpisahan. Palu yang ada di tangan mulia sungguh menentukan kehidupan atau kematian, kebebasan atau kungkungan. Sesuai dengan iman kepercayaan saya, kuasa hakim mungkin muncul sejak tertulis kitab Keluaran 18 di saat Jetro, mertua Musa, menasehati Musa untuk men-delegasikan kewenangan Tuhan yang ada padanya dalam memutuskan hukum bagi bani Israel. Kemudian Musa memilih orang-orang tertentu yang selanjutnya disebut “hakim” supaya dia tidak lelah sendirian mengadili orang. Dengan demikian perkara-perkara tidak menumpuk dan keadilan tetap terjaga. Pendelegasian ini menjadi suatu profesi, yang memiliki nilai spiritual, yang kemudian ber-metamorfosis selama ribuan tahun, sama seperti terjadi di bagian bumi lain. Saya percaya “pendelegasian” kewenangan Tuhan itu ada di tangan Yang Mulia. Saya yakin, menjadi Hakim adalah bukan hanya karena opsi pilihan Yang Mulia, tetapi karena Tuhan telah memilih Yang Mulia. Di saat sekolah hukum atau di pekerjaan sebelumnya, Yang Mulia terpanggil untuk mengambil jalan menjadi Hakim. Jika mencari uang, mungkin Yang Mulia sudah menjadi pengacara kondang. Jika mencari kekuasaan, mungkin Yang Mulia sudah menjadi jaksa atau politisi. Tetapi Yang Mulia pasti punya mimpi besar tentang hidup dan manusia. Yang Mulia terpanggil untuk memimpin, untuk memberi arah, untuk merubah hidup banyak orang. Sejak masih kecil Yang Mulia pasti tidak bisa menerima ketidakadilan, baik yang dilakukan tetangga atau saudara sendiri. Ada suara keras di dalam diri Yang Mulia untuk membela yang tertindas atau menangis. Diam-diam Yang Mulia mengagumi figur orangtua yang sangat berwibawa di tengah masyarakat, bagaimana beliau berbicara, mendengar keluhan, mempertimbangkan pendapat, menengahi pertengkaran dan memutuskan. Yang Mulia menyimpan mimpi suatu saat akan menjadi seorang hakim. Di awal sidang saya heran, mengapa semua orang termasuk saya harus berdiri untuk menghormati kedatangan Yang Mulia. Tapi kemudian setelah berproses di persidangan yang menegangkan bagi saya setiap minggu selama 6 bulan ini, saya makin merasakan keberadaan Yang Mulia. Kebenaran sedang diolah di dalam persidangan ini. Saya tidak sedang mencari muka, tapi hanya ingin menyampaikan kesimpulan pemahaman saya atas kedahsyatan kekuasaan yang Tuhan berikan kepada tangan Yang Mulia.   Membawa Mimpi Yang Mulia telah melalui perjalanan sangat panjang dan berat untuk suatu mimpi. Mimpi yang melebihi status atau materi. Mimpi yang dapat diceritakan banyak orang. Mimpi yang melalui masalah defisit hidup setiap bulan. Mimpi menjadi pemutus akhir dari rantai keadilan di Republik ini. Anak-anak Yang Mulia terikut dengan keterbatasan ganjaran negara yang sangat kurang dari cukup. Anak-anak juga terikut berpindah, terbiasa berganti kawan sekolah di berbagai kota. Anak-anak sering bertanya ‘mengapa ayah selalu berpindah’. Anak-anak sering bertanya ‘mengapa ayah belum punya mobil’. Dan anak-anak pun ikut cemas di kala tekanan luar biasa datang. Tapi anak-anak Yang Mulia membawa kehormatan di sekolah mereka. Yang Mulia sudah persembahkan hidup untuk duduk di ruang sepi, menunggu satu sidang ke sidang berikut, dengan setumpuk buku perkara berjilid. Di kala melepas toga hitam, tidak ada orang yang memalingkan muka ke Yang Mulia. Wartawan tidak kenal. Polisi di jalan tidak kenal.  Tidak ada undangan istimewa di hari Sabtu. Yang Mulia tidak pernah dipersilakan di jalur khusus. Tapi palu Yang Mulia menentukan nasib banyak orang di jalan, di mall, di pesta kawin, di gereja, di mesjid, dan di manapun Tuhan menghendaki takdir seseorang di hadapan sidang. Yang Mulia pernah bekerja menilik catatan uang di banyak buku pemerintah dan perusahaan negara. Puluhan tahun menjadi penilik, Yang Mulia tahu dengan cepat mana manipulasi, mana rekayasa, mana angka yang dimasak (cooking). Sering pendapat Yang Mulia diremehkan. Sering melihat rekan kerja lain di-promosi lebih cepat tanpa alasan jelas. Sering ditempatkan di tugas yang kurang layak. Tapi Yang Mulia terus belajar, mengambil ilmu yang orang lain cibirkan….demi cita-cita suatu saat dapat meng-koreksi sistem yang sewenang-wenang. Yang Mulia pernah bekerja di perusahaan negara, memberi pertimbangan agar perusahaan dan Direksi tidak terjerembab. Sering pendapat Yang Mulia tidak didengar. Sering melihat banyak proyek direkayasa. Sering melihat angka uang dinaikkan. Sering melihat ketidakadilan  tanggung jawab, ada yang menikmati tanpa hukuman, ada kena hukuman tapi tidak menikmati. Tapi Yang Mulia memegang cita-cita ….suatu saat dapat merubah semua itu. Bahwa perusahaan negara dapat jujur. Mimpi itu masih ada, makin membara. Mimpi itu perlu membakar hati bangsa ini, bahwa Hakim adalah hakim. Bukan pegawai, bukan politisi, bukan celebrity, bukan pengamat. Hakim membawa bangsa ini lebih terhormat. ….agar Hukum dan Keadilan tetap tegak.   Hukum yang Membingungkan Sayangnya dunia nyata kita berbeda. Saya warga negara awam yang tadinya masih percaya pada hukum, karena dengan hukum setiap orang tidak bisa sesukanya berbuat yang mengambil hak orang lain, karena dengan hukum setiap tindakan ada batasannya. Di rumah pun, saya dan istri saya membuat aturan agar anak-anak mengikutinya. Misalnya jika di meja makan jangan menggunakan handphone. Pada suatu saat dimana ada telpon urgent dan saya menjawabnya, anak-anak saya mulai meragukan apakah kami serius dengan aturan itu. Berikutnya anak-anak saya memaksa untuk bermain i-pad selagi makan. Larangan kami dilawan dengan mengatakan “aturan sudah berubah”. Akibat terjerat perkara ini, saya mulai mempelajari perjalanan penanganan perkara korupsi yang memang menjadi amanah besar reformasi. Saya heran mengapa lembaga penegak hukum sendiri tidak menghormati dan mengikuti Undang-Undang dan peraturan yang ada. Salah satu contoh, saya baru mengetahui menurut KUHAP bahwa jika suatu putusan bebas di pengadilan Negeri sudah final tidak bisa dibanding lagi. Tapi ternyata Kejaksaan membuat preseden di tahun 80an untuk mengajukan kasasi atas perkara Natalegawa, yang kemudian menjadi prosedur Kejaksaan hingga saat ini. Jika Kejaksaan tidak mengindahkan dan merendahkan UU demi diskresi atau ‘terobosan’ masa lalu, bagaimana saya sebagai warga negara dapat menghormati Kejaksaan yang dibiayai oleh uang rakyat termasuk uang pajak kita? Contoh lain adalah Fatwa MA  tanggal 16 Agustus 2006 yang menyatakan bahwa modal BUMN berasal dari kekayaan negara yang telah dipisahkan dari APBN. Fatwa ini tidak diindahkan oleh para penegak hukum, karena status ‘fatwa’ itu di bawah UU no 17/2003 tentang Keuangan Negara. Jika `fatwa` MA itu dianggap tidak memiliki otoritas apa-apa, mengapa dikeluarkan? Demikian juga dengan perdebatan hukum atas putusan Mahkamah Konstitusi No. 003/PUU-IV/2006 tanggal 25 Juli 2006 tentang Delik Formil dalam pidana korupsi, dan putusan Mahkamah Konstitusi No. 77/PUU-IX/2011 tentang piutang Bank milik negara bukan piutang negara. Sebagai orang awam hukum, putusan dari garda terakhir yang menata aturan perundangan di negeri ini, Mahkamah Konstitusi seharusnya menjadi acuan hukum tanpa perlu diinstruksikan atau dibuat juklaknya. Seperti yang ditegaskan oleh Prof. Eddy Hiariej bahwa jika putusan MK tidak diikuti, kepada siapa lagi sistem peradilan kita dapat bersandar. Apabila praktek sistem hukum kita tidak menghormati produk MA dan MK sebagai benteng terakhir keadilan dan kepastian hukum, bagaimana lagi saya sebagai warga negara biasa percaya untuk patuh pada suatu putusan dan ketentuan hukum? Kita semua tahu bahwa jauh lebih banyak Undang-Undang dan peraturan yang saling tumpang tindih dan bertentangan satu sama lain. Oknum penegak hukum sering menggunakan konflik peraturan itu untuk mencari kesalahan dan memaksakan hukuman atas seseorang, karena di saat ada kebingungan di situlah ada kekuasaan tidak terbatas untuk meng-artikan menjadi “sabda” hukum. Atau kita kenal sebagai “abuse of power“. Bukankah sekolah hukum mengajarkan prinsip sederhana bahwa jika ada hukum yang bertentangan, maka yang diambil adalah hukum yang lebih meringankan bagi Terdakwa? Faktanya hal ini berbeda. Tuntutan terhadap saya sepertinya mengambil hal-hal yang memberatkan dan mengenyampingkan bukti-bukti yang meringankan dengan dalih bahwa korupsi adalah kejahatan extra-ordinary. Jika terjadi terus, apakah saya sebagai warga negara masih perlu percaya pada wibawa hukum dan mentaatinya?   Membuat Sejarah Persidangan ini adalah sebuah “history in the making“, atau sejarah sedang dibuat. Data statistik dari gedung pengadilan Tipikor Jakarta Pusat ini seolah berkata bahwa siapapun yang duduk di kursi  ini tidak akan ada yang lolos dari jerat hukuman. Seolah ada kesan rantai proses penyelidikan, penyidikan, hingga persidangan ke gedung ini sudah melalui proses seksama untuk menghukum. Ada juga yang mengatakan persidangan di tempat ini diawasi oleh seluruh pelosok negeri dibanding sidang Tipikor di tempat lain. Rakyat di negeri ini sedang mengamuk kepada korupsi. Dan setiap hari saat membuka koran atau menyetel TV, mereka mencari berita sidang korupsi dari gedung ini. Di jaman Romawi, “teater” adalah gelanggang pertarungan hidup-mati yang harus diakhiri oleh penyembelihan demi memuaskan ribuan penonton yang datang. Penonton perlu dipuaskan supaya membantu menyalurkan himpitan hidup mereka sebagai katarsis. Pertunjukan harus ada klimaks, dan klimaks itu ada di teriakan sakit korban penyembelihan. Memang rakyat kita sudah muak dengan korupsi yang ada di mana-mana. Mereka sudah tidak percaya pada sistem. Setiap pagi masyarakat seperti ingin membaca penghukuman dari sidang korupsi di pengadilan ini. Mereka tidak paham akan substansi perkara. Halaman berita sangat terbatas untuk menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi. Mereka berpikir sederhana, jika seseorang dijadikan Terdakwa pasti ada kesalahan besar yang telah dilakukan, yaitu merampok uang negara. Fakta yang meringankan hanya dilihat sebagai pembenaran. Kecurigaan ini hanya bisa hilang jika mereka melihat ada hukuman, apalagi jika hukuman itu berat. Apakah kita akan membiarkan pengadilan Tipikor Jakarta Pusat ini menjadi sebuah”teater Romawi”? Perhatian masyarakat yang sangat besar ke gedung Tipikor ini, termasuk persidangan kami, semoga tidak menjadi beban berat bagi Yang Mulia. Di bawah sorotan jutaan mata seperti ini, sukar sekali untuk mengambil peran antagonis. Kita cenderung ingin memuaskan hasrat penonton yang sedang marah kepada korupsi di negeri ini. Amarah itu mungkin membuat penonton buta. Mereka tidak sabar. Mata mereka ingin sebuah penyembelihan. Kebenaran makin susah dipertahankan. Di saat saksi ahli Dr. Sofyan Jalil menyampaikan perasaannya yang nelangsa bahwa saya diadili di gedung Tipikor yang angker ini dan akan sulit bebas, Yang Mulia Hakim Hendra Yospin mengaggetkan saya dengan jawaban tegas: “Percayalah Pak …..kami hakim di sini hanya bertanggungjawab dan takut kepada Tuhan, tidak kepada yang lain!Saya tersengat. Apa yang keluar diucapkan oleh Yang Mulia bukan sebuah pencitraan, tapi keluar dari hati nurani yang spontan. Saya makin yakin bahwa memang Yang Mulia adalah Wakil Tuhan. Ketegasan dan keberanian itu hanya datang dari Roh Tuhan. Semua teriakan penonton dan tekanan dari atas itu seperti pasir. Hanya hubungan Yang Mulia dan Tuhan laksana batu karang. Di tengah dunia yang sedang galau ini, Yang Mulia lah batu karang Tuhan. Persidangan ini menjadi bagian dari “history in the making“. Yang Mulia mempunyai pilihan untuk menunjukkan batu karang keyakinan atas sebuah kebenaran, bahwa saya dan Tony Sudjiarto tidak melakukan tindak pidana korupsi!  

5  Perlindungan Hukum

Di suatu siang, 3 tahun setelah saya mundur dari Merpati, sebuah telpon masuk dari nomor tidak dikenal. “Pak, saya X, karyawan Mepati, ada surat penting. Bisa minta nomor fax nya?“. Beberapa menit kemudian suara fax berbunyi mengeluarkan secarik kertas istimewa. Kop surat KPK, tertanggal 27 Oktober 2009, ditandatangani Handojo Sudradjat, ditujukan ke Y, nama pelapor pertama perkara Sewa Pesawat ini. Surat itu diambil dengan diam-diam oleh X dari meja Y karena X kasihan kepada saya. Saat itu September 2011, tepat 1 bulan sejak JAM Pidsus menjadikan saya Tersangka Korupsi. Cepat saya baca ketiga paragraf dan mata saya tertumbuk ke frasa “tidak memenuhi kriteria tindak pidana korupsi“. Saya ingin meloncat dan berteriak gembira. Segera saya telpon banyak orang. Dengan semangat, saya membawa surat KPK itu ke pemeriksaan ketiga di gedung bundar. Didampingi Guntur, Harry, dan Tony, saya tersenyum lebar menyodorkan surat itu ke ketiga jaksa Pidsus di hadapan kami, Zainul Arifin, Victor AnTonyus, dan Damha. Bersama surat itu, kami juga melampirkan hasil pemeriksaan Bareskrim Kepolisian tertanggal 27 September 2007 yang sudah kami ketahui, yang menyebut “belum diketemukan fakta perbuatan tindak pidana korupsi”. Ketiga jaksa itu bergantian membaca kedua surat itu dan melihat satu sama lain, kemudian Victor memandang kami “Pak, setiap pihak punya cara pemeriksaan sendiri-sendiri. Di sini berbeda dengan KPK dan Mabes (artinya Bareskrim). Maaf pemeriksaan harus jalan terus.” Dia segera memasukkan kedua surat dalam amplop dan menutup dengan map. Kami terus bertanya-tanya. “Mengapa kami diperiksa lagi…. padahal Pidsus pernah memeriksa di 2008 …..padahal Kejaksaan ikut mengejar ke AS …. padahal …padahal …?”  Mereka pun menjawab pendek-pendek. “Ini beda”. “Sudah dijadwalkan”. “Ini tugas”. “Supaya beres”. “Silakan ikuti”.  Kami lunglai. Tidak berdaya. Tidak bisa berkata-kata. Kami belum punya penasehat hukum. Apa adanya kami datang. Kami selalu kooperatif, karena percaya jaksa penyidik akan adil, paham hukum, dan punya keyakinan kuat mana yang korupsi, mana yang tidak, karena pengalaman puluhan tahun di perkara pidana. Tidak ada yang bisa menjawab mengapa penyidikan dan penuntutan ini tidak mengindahkan penegak hukum lain dan pendahulu mereka sendiri. Selama proses penyidikan di Pidsus, para penyidik telah konsisten merangkai sangkaan dalam sebuah cerita sebagai berikut: Saya secara sendirian telah merekayasa rencana pengadaan pesawat Boeing B737-400 dan B737-500 sejak jauh hari, sengaja tidak memasukkan dalam RKA, sengaja tidak memberitahu Pemegang Saham akan tipe ini, sengaja tidak memberitahu Direksi lain tentang TALG, sengaja memaksa pembayaran Security Deposit, sengaja mengatur Lawrence yang memeriksa TALG dst.   Cerita itu terus menerus muncul dalam pertanyaan di BAP kepada saya dan rekan-rekan saya. Setiap kami menyampaikan bukti-bukti yang mematahkan sangkaan itu, para penyidik menjawab singkat: “silakan bukti-bukti itu disampaikan ke persidangan nanti!” Kami terkesima, padahal kami sudah membawa bukti-bukti keras bahwa: 1.    Tidak mungkin satu Direksi memutuskan dan meng-eksekusi keputusan itu sendiri. Kami tunjukkan contoh-contoh Circular Direksi, Rapat Direksi, dan Anggaran Dasar. 2.    Semua Direksi dan management menginginkan tipe B737 Classic Family termasuk B737-400 dan B737-500 (BT-3) 3.    Ada pasal 4.4.1.4 RKA 2006 tentang flexibilitas armada. Juga ada pasal 6.4.1 butir 3 dari RKA 2006 mempercepat pengikatan pesawat yang berarti penempatan Security Deposit sesuai kelaziman (BT-10). 4.    Ada Circular Direksi untuk penempatan Security Deposit itu yang berisi tandatangan dan komentar yang menunjukkan ada informasi yang disampaikan dan ada pertimbangan (BT-35). 5.    Selain itu ada email dari Alan Messner ke Tony Sudjiarto tanggal 19 Desember dengan tembusan direksi hanya ke Guntur Aradea yang menunjukkan Direksi lain mengikuti perkembangan TALG (BT-27).   Wajar kami bertanya-tanga “mengapa”? Menarik  mengamati Surat Perintah Direktur Penyidikan JAM Pidsus no. 95/F.2/Fd.1/5/2011 tanggal 12 Mei 2011, yang hanya terpaut 5 hari sejak kecelakaan pesawat Merpati di Kaimana Papua tanggal 7 Mei 2012, dan hanya 1 hari sejak hari sejak pemanggilan Direksi Merpati saat itu ke Pidsus Kejaksaan terkait kecelakaan di Kaimana itu. Apakah ini suatu kebetulan atau ada motif tertentu? Beberapa media media menyebut pernyataan dari Kejaksaan antara lain “Itu kan sewa-menyewa. Duit sudah dibayar, tapi mana pesawatnya? Nggak ada kan? Yang jelas, itu ada unsur memperkaya diri sendiri. Pengadilan yang akan membuktikan itu.” Bagi JPU, pangkal masalah adalah “pesawat tidak datang”, bukan “deposit belum kembali”. Kesan dibuat ke arah “memperkaya diri sendiri” agar masyarakat tidak percaya kepada kami lagi karena ada indikasi ‘mencuri’. Terakhir, “pengadilan” disebutkan sebagai pihak yang ‘terbeban’ membuktikan bahwa saya ‘pencuri’. Apakah ini adil, Yang Mulia? Sejak perlakuan kami seperti itu di penyidikan, kami tentu saja mencari tahu, mencari bantuan, mencari jalur untuk bertanya dan menjelaskan bahwa kami tidak salah. Saya, Guntur, Tony, dan rekan lain yang dipanggil dan diperiksa punya tanggungan keluarga. Kami bersusah payah mencari kerja setelah keluar dari Merpati. Kami sangat takut kehilangan nama, kehilangan pekerjaan, kehilangan hidup. Kami ingin sebuah SP3, karena masyarakat tahu beberapa kasus dapat di-SP3 kan. Kami sudah sangat kooperatif, tapi proses tetap dilanjutkan, bahkan perkara ini diumumkan Kejaksaan sebagai salah 1 dari 9 kasus yang menarik perhatian publik. Kami tidak tahu mau berbuat apa lagi. Saya setuju dengan pernyataan Yang Mulia dalam persidangan kami agar JPU jangan melempar bola panas ke persidangan ini, yang memaksa para hakim untuk menendangnya. Sudah saatnya menghentikan kecenderungan ini. Jika Pidsus ingin membuat kami susah, maka akan dicari kesalahan sekecil apapun seperti hal-hal administratif. Namun perlu kami kritik terhadap administrasi yang terjadi di Kejaksaan. Apakah administrasi Kejaksaan sendiri telah rapi tanpa cacat administrasi?  Faktanya, Surat Perintah Penyidikan terhadap saya tanggal 12 Mei 2011 (95/F.2/Fd.1/5/2011) dan 7 Juli 2011 (95/F.2/Fd.1/07/2011) memiliki nomor yang sama kecuali bulan. Demikian juga, saya bisa mempermasalahkan surat penempatan jaksa penyidik fungsional Pidsus di Kejaksaan Agung. Apakah sudah lengkap? Contoh lain justru dari isi Tuntutan JPU sendiri. JPU membuat kesalahan dengan menyebut peraturan Menteri Keuangan yang digunakan sebagai definisi dari Security Deposit, yaitu Kep.116/KMK.01/1991, padahal seharusnya 1169/KMK.01/1991 yang terkait dengan perpajakan. Selain salah menyebut nomor peraturan, substansi peraturan itu yang digunakan juga tidak ada hubungan  dengan tuntutan penyalahgunaan wewenang saya terhadap penggunaan Security Deposit, atau hubungan dengan Down Payment. Hal ini bermasalah. Sebagai “tersangka”, saya juga bisa mempermasalahkan semua kesalahan adminstratif Kejaksaan atau typo error, karena hal ini menyangkut nasih hidup saya. Tujuan yang baik harus dicapai  dengan cara yang baik pula. Namun jika JPU dibiarkan membuat kesalahan seperti di atas, padahal semua yang tertulis di dokumen persidangan ini menjadi dasar nasib saya, apakah ini adil, Yang Mulia?  Saya mendengar dari media bahwa Kejaksaan menerapkan sistem pengukuran kinerja untuk jumlah kasus pidana korupsi dari bawah ke atas. Ada target jumlah perkara tiap bulan dan tiap tahun. Jika demi pengukuran kinerja ini membuat jaksa penyidik cenderung untuk buru-buru menetapkan ‘tersangka’, bagaimana dengan kami yang menjadi korban seperti ini? Sangat ironis, di satu sisi ada kejar target demi karir, tapi di sisi lain nasib hidup seorang dan keluarganya dipertaruhkan. Kita semua benci korupsi karena telah merusak dan mewabah. Kita ingin korupsi hilang. Tapi kita juga jangan membiarkan penyalahgunaan kepercayaan dan kekuasaan yang sangat besar di bidang hukum (abuse of power) oleh siapapun.  Saya sangat kaget dan sedih mendengar tuntutan 4 tahun itu. Apa dasar tuntutan sebanyak itu untuk dakwaan subsidair “penyalahgunaan wewenang”? Kewenangan apa yang saya salah gunakan? Bukankah sebagai Direktur Utama dan bersama Direksi lain, kami wajib membuat keputusan sesuai dengan kewenangan kami? Mengapa profesionalisme dan itikad kami tidak dipertimbangkan?  Saya juga heran mengapa sesuatu yang sangat berharga untuk nasib hidup saya ditulis tangan beberapa menit sebelum sidang tanggal 7 Januari dimulai. Apakah tidak ada gelar perkara lagi di antara JPU dan pimpinannya? Apakah pimpinan Pidsus mencurigai tim JPU akan membocorkan hukuman? Apakah tidak ada pertimbangan dari semua kesaksian dan dokumen yang disampaikan di persidangan selama lebih dari 6 bulan? Korupsi bersumber dari kekuasaan yang tidak berbatas. Kejaksaan memiliki kekuasaan subyektif yang besar. Kejaksaan dapat memaksakan suatu perkara, seperti perkara saya, dengan implikasi yang sangat besar. Banyak sumber daya negara yang habis, puluhan ribuan kertas dan fotocopy terbuang, ribuan jam orang yang dipaksa bekerja larut malam, dan tentunya ikut membebani kesehatan Yang Mulia. Indonesia dan dunia usaha sedang menyaksikan persidangan ini. Ketidakpastian hukum yang terjadi pada saya akan membuka ruang bagi penyalahgunaan kekuasaan untuk meng-kriminalkan lebih banyak lagi kebijakan/diskresi. Indonesia masih di urutan 118 dari 174 negara berdasarkan Transparansi Internasional untuk upaya memberantas korupsi. Interpretasi luas atas korupsi yang bersumber pada kekuasaan akan membuat ketidakpastian hukum yang lebih parah, dan posisi Indonesia dalam index korupsi justru akan melorot. Perlindungan hukum bagi yang tidak bersalah juga ada tempatnya. Dan tempat itu adalah di pengadilan yang terhormat ini. Jika perlindungan tidak ada, maka kepercayaan kepada hukum akan luntur. Kini, sejarah hukum kita ada di tangan Yang Mulia. Hukum tetap tegak, walau langit runtuh. Ratusan sidang akan menjadikan putusan Yang Mulia atas perkara ini sebagai yurisprudensi. Buku sejarah Hukum akan mencatat nama Yang Mulia dengan tebal. Ribuan sarjana hukum nantinya akan membaca ….makna sesungguhnya dari Hukum yang Adil. Dan putra-putri Yang Mulia akan bangga, bahwa bangsa besar ini telah maju setapak oleh hati nurani dan keberanian Yang Mulia.  

PENUTUP

Yang Mulia, saya mohon maaf berbicara terlalu panjang. Tidak ada niat memaksa atau menggiring. Saya hanya bersuara sejujurnya tanpa sensor. Perkenankan saya memohon pertimbangan Yang Mulia atas saya apa adanya. Saya telah bekerja keras untuk belajar sebaik mungkin di sekolah terbaik dunia (ITB, MIT) demi menggali ilmu yang akan berguna bagi orang banyak. Saya telah bekerja keras di perusahaan terbaik (Garuda, GE) demi mengumpulkan pengalaman terbaik. Saya memilih memimpin Merpati sebuah BUMN yang sedang susah demi banyak orang. Semua saya lakukan tanpa kecurangan, tanpa mencuri, tanpa merekayasa, demi membuktikan bahwa Indonesia bisa maju. Kemudian datang musibah perkara ini. Kiranya Yang Mulia tidak menghentikan cita-cita saya untuk bangsa ini.  Saya mengucapkan Terima Kasih atas doa dan dukungan luar biasa, tapi juga meminta maaf karena merepotkan banyak orang, terutama kepada ayah-ibu saya yang sudah lanjut usia, istri dan anak-anak saya, adik-adik saya, rekan pekerjaan, kawan-kawan setia, media yang simpati, dan tentunya tim Pengacara Hukum kami Juniver Girsang, Tumbur Simanjuntak, Gora, Wawan, Anggi yang telah bekerja luar biasa extra dan memahami keterbatasan saya. Terima Kasih banyak atas kesabaran luar biasa dari Yang Mulia memberi kami kesempatan ikut bertanya kepada 22 saksi dalam 23 kali sidang. Persidangan ini telah memeras tenaga dan pikiran Yang Mulia. Akhirnya, saya haturkan Terima Kasih kepada Yang Mulia atas status ‘tahanan kota’ selama persidangan ini sehingga saya bisa berada bersama istri dan kedua putra saya. Tidak terbayang perasaan saya nantinya, jika saya dihukum tahanan, tidak bisa bekerja, tanpa penghasilan, dengan istri yang masih menjaga putra saya berusia 12 dan 4 tahun. Sementara itu, dua warga negara Amerika, yang telah  terbukti mengambil uang $ 1 juta milik Merpati itu, terus menikmati hidup dengan keluarganya di kalangan atas di Chicago dan Washington, dan tidak terjangkau oleh hukum kita. Di manakah sistem hukum kita yang adil? Di manakah perlindungan negara atas kami sekeluarga?   Oleh karena itu, dengan segala kerendahan hati, saya memohon Yang Mulia kembali, bahwa “saya tidak bersalah.” Sebagai pemimpin, saya, dan Direksi lain harus mengambil keputusan dengan hati-hati, sesuai kewenangan kami, atas informasi terbaik yang ada saat itu, dengan niat tulus menyelamatkan Merpati, tanpa melanggar aturan yang ada, dan tanpa motif kepentingan pribadi. Kami hanyalah korban kejahatan kedua orang Amerika itu.   Semoga Pledoi ini berbicara jelas dan berkenan di hati Yang Mulia. Sebagai penutup, bolehkan saya membaca petikan beberapa ayat Mazmur 121 yang saya selalu ingat di saat rasa takut datang. Aku melayangkan mataku ke gunung-gunung; dari manakah akan datang pertolonganku? Pertolongaku ialah dari Tuhan,             yang menjadikan langit dan bumi. Ia takkan membiarkan kakimu goyah,             Penjagamu tidak akan terlelap. Tuhanlah Penjagamu,             Tuhanlah naunganmu             Di sebelah tangan kananmu. Tuhan akan menjaga keluar masukmu,             dari sekarang sampai selama-lamanya.   Tuhan memberkati Yang Mulia. Terima Kasih,   Hotasi Nababan di tengah ancaman banjir, Selasa siang, 22 Januari 2013, @Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat

Leave a Reply