Bagaimana Bank Syariah Indonesia Bisa Mendorong Industri Keuangan Islam Lokal ke Tingkat Global

Share Article

Ai Nur Bayinah, Sekolah Tinggi Ekonomi Islam SEBI

Indonesia, negara dengan penduduk Muslim terbesar di dunia, baru saja meresmikan Bank Syariah Indonesia (BSI) yang merupakan gabungan dari tiga bank syariah terbesar milik pemerintah – Bank Syariah Mandiri, BNI Syariah dan BRI Syariah.

Bank syariah adalah bank yang menjalankan kegiatan usahanya berdasarkan hukum Islam.

Dengan penggabungan ketiga bank ini melalui proses merger, BSI menjadi bank syariah terbesar di Indonesia yang mengelola aset hampir Rp 240 triliun dan memiliki jangkauan 1.200 cabang.

Tentunya ini sebuah potensi yang besar bagi Indonesia untuk mengembangkan industri keuangan syariah.

Perbankan syariah secara global adalah sebuah industri yang masih bertumbuh secara pesat, secara global industri ini tumbuh 14% ke US$2.44 triliun atau Rp 20.174 triliun pada tahun 2019 dan diperkirakan akan tumbuh ke US$3.69 triliun Rp 51.700 triliun pada tahun 2024.

Potensi perbankan syariah sangat besar

Peran perbankan syariah dalam industri keuangan syariah sangatlah penting.

Laporan dari badan internasional yang menerbitkan standar bagi perbankan syariah, Dewan Lembaga Jasa Keuangan Islam Internasional atau Islamic Financial Services Board mencatat kontribusi perbankan syariah mencapai 72,4% dari pangsa pasar keuangan syariah global.

Oleh sebab itu, merger BSI ini menjadi harapan baru bagi percepatan dan penetrasi pasar yang lebih besar bagi Indonesia.

Saat ini ironisnya walaupun memiliki populasi muslim terbesar di dunia, Bank Syariah di Indonesia belum memiliki skala yang besar.

Di ranking global, bank syariah terbesar saat ini adalah Al Rajhi Bank dari Arab Saudi yang mengelola aset sebesar US$111 miliar atau Rp 1.553,9 triliun.

Di kawasan Asia Tenggara, BSI masih kalah dibanding CIMB Islamic Bank asal Malaysia yang mengelola aset sebesar US$26 miliar atau Rp 363 triliun.

Meskipun BSI berkontribusi hampir 69% dari total aset perbankan syariah indonesia, perannya di sektor perbankan nasional juga belum signifikan.

Saat ini perbankan syariah di Indonesia belum juga berhasil mencapai 10% dari total pangsa pasar perbankan yang mencapai Rp 8.793,2 triliun dari total 110 bank di seluruh Indonesia per Maret tahun lalu.

Negara-negara lain di Asia seperti Brunei Darussalam, Bangladesh, dan Malaysia memiliki industri perbankan syariah yang memegang setidaknya 15% pangsa pasar perbankan.

Pemerintah pun telah menargetkan BSI untuk bisa masuk jajaran 10 besar bank syariah dunia dalam waktu empat tahun.

Untuk mencapai dana atau aset kelola yang lebih besar lagi, maka BSI harus mengembangkan jumlah nasabah.

Ini bisa dilakukan dengan menetapkan fokus pembiayaan BSI kepada sektor rumah tangga, sebagai konsumen terbesar perbankan Indonesia saat ini yakni mencapai lebih dari 40%.

Tiga aspek untuk mengembangkan jumlah nasabah syariah

Setidaknya ada tiga hal yang harus diperhatikan oleh pemerintah agar BSI bisa sukses berkembang dan berekspansi.

1. Memperkuat aspek kesyariahan

Pertama, BSI perlu memberikan keyakinan yang kuat kepada masyarakat sebagai bank yang terpercaya dari aspek kesyariahannya.

Bank Syariah dalam kegiatan usahanya harus tegas berdasarkan prinsip syariah, atau prinsip hukum islam yang diatur dalam fatwa Majelis Ulama Indonesia, seperti prinsip keadilan dan keseimbangan (‘adl wa tawazun), kemaslahatan (maslahah), universalisme (alamiyah), serta tidak mengandung penipuan (gharar), perjudian (maysir), tidak memberikan bunga pinjaman (riba), tidak adil (zalim) dan tidak melibatkan obyek yang haram.

Prinsip-prinsip ini juga menjadi amanah utama Wakil Presiden Ma’ruf Amin pada bank syariah, dan menjadi penting terlebih karena data menunjukkan bahwa 76% masyarakat Muslim sebagai target pasar utama BSI menganggap prinsip ini sebagai unsur vital.

BSI juga harus tegas dan transparan dalam kegiatan usahanya.

Ini untuk menghindari BSI terseret dalam praktik yang tidak jujur, seperti skandal pinjaman fiktif yang terjadi pada bank lain.

Dengan kepercayaan yang tinggi terhadap BSI dan produk perbankan yang kompetitif maka jumlah nasabah akan bertambah.

2. Optimalisasi layanan digital

Kedua, optimalisasi layanan digital sebagai prioritas untuk memberikan kemudahan seluasnya dalam rangka mengembangkan jumlah nasabah, apalagi mengingat bahwa Negara Muslim (OKI) merepresentasikan 15 dari 50 negara dengan penetrasi teknologi ponsel pintar yang cukup tinggi.

Apalagi Presiden Jokowi juga telah menginstruksikan agar BSI menjadi bank yang universal dan bisa menyasar pangsa pasar nasabah non-muslim juga.

Presiden Jokowi juga telah berpesan agar BSI bisa menarik minat generasi milenial yang gemar menggunakan layanan digital.

Dalam hal ini BSI perlu ekstra perhatian terkait dengan kendala layanan digital yang mungkin terjadi saat perpindahan layanan digital ke platform baru milik BSI terjadi, agar tidak membuat khawatir para pengguna.

3. Memperkuat interkoneksi sosial-komersial

Ketiga, BSI perlu memperkuat interkoneksi sosial-komersial dalam sistem operasionalnya.

Interkoneksi disini adalah keterkaitan antara aspek sosial dan komersial dalam kegiatan perbankan.

Aspek sosial di sini, sesuai dengan Undang-undang Perbankan Syariah, berkaitan dengan fungsi bank syariah sebagai lembaga baitul mal, yaitu menerima dana yang berasal dari zakat, infak, sedekah, hibah, atau dana sosial lainnya seperti wakaf.

BSI perlu memperkuat aspek sosialnya sebab hal tersebut merupakan harapan 66% nasabah pada bank syariah.

Peran dana-dana sosial ini juga penting untuk memperkuat peran dan fungsi perantara keuangan yang dijalankan perbankan syariah dalam layanannya.

Ai Nur Bayinah, Lecturer in Islamic Accounting & Finance, Sekolah Tinggi Ekonomi Islam SEBI

Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber.

Leave a Reply